lembaran pesawat-pesawat kertas.. di rentang waktu yang tak terukur dalam ruang.. tanpa nama.. tanpa irama.. |pss
Kamis, 27 Februari 2014
Belajar dengan Kamera #7 (HUT 3th TFK)
Puspytha Ratna Sari
MUA : Tudi Joe Joy Salon
Acara peringatan HUT ke-3 Tukang Foto Keliling (TFK) di desa Penglipuran, Bangli, Bali.
Minggu, 02 Februari 2014
untittle
Hidup
nyatanya memang bagian dari teka teki. Ikatan-ikatan dalam tiap lingkaran tak
pernah bisa dijadikan pasti. Sepertinya memang Tuhan membuat makhluknya untuk
tetap belajar, lalu berusaha menjadikan mereka sadar. Terkadang membuatkan
segala bentuk ikatan yang tak tertebak. Kaitan yang memang harus dijalankan.
Seperti halnya ikatan abadi yang mengikat dua makhluk Tuhan. Sekali waktu, tak
pernah ada yang akan tahu, bahwa pertemuan hanya titik dalam lingkaran abadi
yang mengikat tiap karma dari manusia. Pertemuan hanya jalinan untuk saling
menemukan bentuk. Lalu, pertemuan ibaratkan sebuah gerbang untuk menemukan
pintu.
Pagi itu,
serasa matahari bersinar lebih terang. Meski langit masih berselimut muram. Dan
ini musim hujan. Gadis mungil ini tak pernah menyangka dunia yang selama ini
lurus kini mulai beradu riak. Ia baru saja menemukan tangga-tangganya. Ia baru
saja merasa menemukan lompatan dalam hidupnya. Betapa tidak, ia telah bertemu
dengan yang ia anggap bagian dari dirinya. Mulai menjalankan riak-riak dalam
hatinya. Dia jatuh cinta. Rangkaian senyum mulai ia bayangkan, menjalankan
hari-hari menyenangkan. Sekalipun ia tak pernah berpikir bahwa akan begitu
menyenangkan. Mengingat betapa lurus perjalanannya dulu. Rangkaian yang
benar-benar 'biasa'. Ia memang hanya gadis biasa.
Menjalankan
pendidikan pada tiap jenjang dengan hampir sempurna, sedari taman kanak-kanak
hingga sekolah menengah pertama. Lalu melanjutkan pendidikan di sekolah favorit
menjadi pelengkap kesempurnaan alur rencana dia dan orang tuanya. Lulus dengan
predikat terbaik menjadikan dia kebanggaan bagi keluarganya. Namun, lagi-lagi
Tuhan selalu mengingatkan bahwa ada ikatan abadi yang tak bisa ditebak siapapun
tentang pertemuan dan siapa yang akan ditemui dalam waktu kapan.
Kini, ia ada
di hari ini. Gadis mungil yang sama. Dengan perjalanan yang sama. Sekalipun
riak yang mungkin jadi telah berbeda. Riak yang dibuatkan oleh lelaki yang
berbeda. Paras tampan mungkin telah membuatnya terpesona. Tapi pribadi dan
lakunya menjadikan ia terpenjara karenanya. Ia berbeda. Seperti arus air yang
entah datang dari mana, gadis itu sungguh-sungguh tenggelam bersamanya. Lelaki
yang hidup dan berasal dari dunia yang berbeda.
Tak ada satu
haripun yang terlepas dari matanya. Tak pernah satu kalipun yang ia lewatkan
untuk bersamanya. Daun-daun bertebaran seperti seringai gemuruh dalam hatinya.
Berjalan bersama, saling menautkan tangan lalu bercengkrama. Langit mungkin
masih sama abunya ketika mereka tak pernah menerka.
Satu per satu
malam mulai datang. Dihadapkanlah ia kini pada pertemuan. Pada sosok maya yang
dibawa oleh lelakinya. Sosok yang sesungguhnya ingin disembunyikan. Tapi apa
mau dikata, jika tautan menjadikan ini harus berjalan pada alurnya. Dan mereka
pun sama.
"Dia itu siapa?"
Tanyanya suatu hari pada lelaki itu.
"Bukan siapa-siapa. Hanya
teman begitu saja."
Jawaban
sederhana yang membuat pemikirannyapun sederhana. Sosok ini menyenangkan. Sosok
yang mulai menyusun satu demi satu cerita tentang maya. Sosok yang membangun
dunia-dunia dengan kata. Ia pujangga. Malam mulai mengamati mereka. Percakapan
mulai tersusun dalam kata. Bisa dibayangkan betapa terkejut dunianya. Semenjak
pertemuan itu. Satu persatu perkenalan ia mulai. Perkenalan tentang
ketidakteraturan. Perkenalan tentang ketidakpastian. Perkenalan tentang
persinggahan.
"Aku sungguh jadi bahagia,
karena dia bisa bersamamu. Kamu orang yang sangat baik."
Tak tertebak
apa yang ia maksudkan. Tapi dia seorang pujangga yang begitu pintar
merangkaikan kata-kata. Hati gadis mungil bergemuruh. Dunia dari matanya telah
berubah. Ada banyak hal yang mulai ia kenali berbeda. Dan bagaimana bisa? Sang
pujangga tak ubahnya maya, namun bukan berarti tak ada. Satu persatu malam
mulai melengkapi mereka, gadis mungil bersama pujangga. Satu persatu pula alam
memberitahu mereka. Waktu ternyata telah melesat jauh melampaui mereka. Tak
pernah akan ia terka sebelumnya, bahwa akan ada kelabu membawakan sendu pada
dunianya.
**
Lelaki itu
merajuk. Menunduk pada gelisah yang bersamanya. Mengulum tiap gurat-gurat pada
jenuh yang ia bawa. Entah apa namanya. Ia ingin lari, atau mungkin bersembunyi.
Ia benar-benar ingin menepi. Meja kerja ia hempaskan. Gulungan-gulungan kertas
ia lemparkan. Ia jadikan sama teracaknya kamar yang ia tempati dan hati yang
sedang ia singgahi. Tangannya masih bergetar, tiap kali dia ingat betapa ia
butuhkan dan entah apa yang ia butuhkan.
Ia jalankan seadanya. Bersama
gadis mungilnya, tetap ia bagikan gairah bahagia. Mimpi-mimpi yang ia harap
akan membuang gelisah yang menghantuinya. Sesekali ponselnya berbunyi, beberapa
pesan ditampilkan dalam layar. Tanpa ia perlihatkan, ternyata rindu menyembul
keluar. Betapa lepas dahaganya. Ibarat lama terpenjara dalam gersang gurun,
dihimpit oleh gelisah, dikejar oleh akar-akar zaman. Ia sepertinya jenuh dengan
dunia. Melompat dari satu tempat ke tempat lainnya, menyinggahi satu taman ke
taman lainnya. Masih saja sama. Tak ada yang terasa menggenapinya. Masih saja,
gelisah memburunya.
Lelaki itu
mulai membenahi diri, memilah-milah apa yang sesungguhnya ia ingini. Seorang
pujangga yang setia menungguinya dibalik batas maya. Adalah ia yang sekiranya
diharapkan dapat membagi dahaganya. Mereka ada pada ruang yang sama. Dalam
ketidakpastian yang sama. Lelaki dan pujangga. Adalah sekawan yang ada dan
bernaung dalam sebuah cawan. Pagi adalah wangi bagi mereka untuk bercerita.
Resah yang selama ini menoreh punggungnya, serasa hilang dalam riak sang
pujangga. Kata-kata yang ia kirimkan p ibarat mesiu yang sekiranya dapat
meledakkan hasrat pada dunia.
Bersamanya,
ia jalankan roda kehidupan. Bercerita tentang gadis mungilnya, membagikan
gelisah terhadapnya. Lelaki itu tahu, sang pujangga akan segera memahaminya.
Mengerti betapa tak mengertinya dia tentang apa yang diinginkannya. Dunia
memang seperti sedang menghimpitnya. Ia mulai bercerita tentang dunia. Mulai
membagi lagi dunia yang ada di matanya, dari sudut yang ia lihat. Ia
benar-benar sedang berjuang menemukan bahagianya. Dulu sekali, saat ia masih
berhasrat dengan dunia yang baru saja ia masuki ia pernah digenapi. Melangkahkan
mantap tanpa mampu dibendung apapun atau siapapun. Lalu, kali ini pun sama.
Sang pujangga membawanya. Adalah dia yang berlari di dunia yang sama. Adalah
dia yang akan membangun dunianya. Seketika itu juga ia mulai menepikan diri.
Menjadikan dirinya, sepi.
Seketika itu
juga resah memuncak. Saat gadis mungilnya merasakan resah yang sama. Gelisah
yang bahkan mungkin lebih darinya. Sepi yang ia bawakan membuatkan selubung
rindu pada gadis itu. Ia tahu. Ia benar-benar tahu akan ada air mata yang tak
akan sanggup ia lihat dari matanya.
“Aku tahu, aku makhluk yang tak
layak bersamanya. Ini menyakitkan. Tapi bersama aku yang sekarang akan lebih
membuatkan sakit padanya.”
Sang pujangga tak lagi mampu
membawakan apa-apa padanya. Bahkan kata-kata yang biasanya dengan ringan ia
tiupkan, seketika itu juga jadi diam. Betapa ia paham apa yang akan ia temui
beberapa saat nanti. Saat ia mengirimkan kabar pada si gadis mungil. Ia sangat
paham, betapa banyak gelisah yang telah ditampung gadis itu. Tapi ia juga tak
bisa tinggal dan hanya memandangi lelaki itu memaki diri dan dunianya.
Tengah
malam yang telah jadi sepi. Mungkin itu yang menguatkan hati sang lelaki.
Dengan makian dalam hati, ia kabarkan dengan segera. Bersumpah atas apapun yang
akan ia dapatkan setelahnya adalah yang layak ia terima. Lalu gemuruh pun
memuncak. Cawan pecah. Gairah tentang mimpi harus padam.
***
Bunyi
detak jam masih terdengar jelas. Berlomba dengan suara keyboard ditekan. Wajah itu
nampak serius memandangi komputer dihadapannya. Dicermatinya tiap kalimat yang
muncul di layar. Wajahnya seketika jadi muram.
“Ini tidak mungkin! Seharusnya tak jadi seperti
ini.”
Ada banyak kertas berserakan. Gelas
masih tergeletak diatas meja. Tak lagi ada kata-kata. Ada yang seketika
mengunci mulutnya. Ada yang seketika membenamkan wajahnya. Lalu air mata. Ia tahu,
akan ada banyak sekali air mata di seberang sana. Di balik layar yang sedari
tadi ia pandangi. Seandainya saja, ruang menjadi hanya setipis layar
didepannya. Segera ia ingin memburu masuk dan bersamanya. Membenamkan diri
bersama gadis itu. Gadis ringkih dengan ribuan resah yang akhir-akhir ini
memburunya. Ia tahu, ribuan kata penghiburan macam apapun tak akan lagi mempan
kali ini.
Sendu
akhirnya singgah. Tak akan ada yang ia biarkan untuk melihat muram yang ia
simpan. Menjadi seorang pujangga bagi makhluk-makhluk Tuhan ini adalah hal yang
ia jadikan penting. Menjadi pujangga mungkin jadi pilihan yang tepat saat ini. Menengahi,
bermaksud membenahi. Ibarat jembatan yang akan saling mengaitkan. Memberikan topangan
dan tumpangan. Ia paham kini tentang peran yang mesti ia jalankan. Sekalipun cerminan
dalam dirinya masih jelas tergambar. Ia, hanya menjadi pengait. Penghubung satu
jalur dengan jalur perjalanan lainnya. Menyingung satu lingkaran dengan
lingkaran lainnya. Ia membentuk gelombang, seperti yang telah tanpa sadar ia
lakukan. Ia hanya akan jadi riak.
Langganan:
Postingan (Atom)