Kamis, 15 Januari 2015

Gadis dalam Kenangan

Udara dingin mengusik tidurku. Setetes rintik masih meluruh di atas kepalaku. Saat ini hujan memang sering sekali turun saat malam. Rupa-rupanya kau menyelinap saat malam. Disaat sebentar saja aku terkulai dalam bahu gelap. Aku tak pernah berani memastikan, akankah sinar matamu masih sama? Aku terlalu terburu oleh rasa takutku. Aku dihantui oleh rasa bersalahku terhadapmu. Sekalipun malam pernah berkata padaku bahwa meski kamu berbeda, kamu tak akan pernah merubahnya. Dan bahwa kamu akan selamanya sama. Berusaha aku susuri semua ruang yang aku kenali, nyatanya tak pernah ada kamu disana. Aku terlalu takut karenanya. Jalan setapak ini mengingatkanku tentang tawamu selepas senja yang kita bagi bersama.
            Pernah sekali waktu aku temui lagi ruang yang kita bangun di batas langit menawan. Aku temukan senyumku dulu.  Aku temui segala gurat yang kita simpan disana. Tapi, masih belum ada kamu. Jika saja langit tak meneriakiku, aku tak akan menjadi tahu. Kelabu yang selalu kau ceritakan kepadaku. Secuilpun tak pernah bisa aku pahami apa yang kau rasa tentang  sepi. Meski berulang kali kau mencoba untuk membantuku mengerti tentang perburuanmu.
            Kursi ini masih saja kosong karenamu. Ditepi cahaya yang sangat kau puja. Aku kembali hari ini. Berharap akan aku temui lagi sang pemuja senja di batas langit sepi. Ternyata seperti yang dikatakan malam kepadaku. Tempat ini masih sama, tak akan jadi berbeda. Ia menemani kenanganku memenuhi ruang ini lagi.
“Kau kembali? Kursi mu masih sama. Apa kali ini kau mencarinya? Gadis yang selalu menunggui langit meluruh waktu itu. Waktu membuatnya terduduk lama. Tepat di sebelah yang kamu duduki sekarang.”
Langit mulai bercerita tentang gadis itu padaku. Gadis yang selalu memuja senja. Gadis yang pernah melukiskan janjinya bersamaku.
“Entah bagaimana sinarnya sekarang. Aku kadang penasaran, akankah ia aku temui lagi disini. Lajur-lajur yang aku lalui mulai berlalu jauh. Ruang tempatku sekarang jauh darinya.”
Kalimat-kalimatku keluar tanpa aku batasi. Tempat ini, hanya di tempat ini bisa aku simpan kalimat-kalimatku tentangnya. Karena hanya di tempat ini langit selalu akan mendengarku.
“Apa kamu mulai merindukannya? Sinar yang ada di matanya? Sama seperti caranya menunggui senja meluruh jatuh. Ia masih selalu merangkai kenangannya. Percayalah padaku. Karena aku juga selalu bersamanya di tempat ini. Dalam alur waktu yang cukup lama ia menunggu di tempat ini. Mungkin sebentar saja, ia ingin beristirahat dari resah yang selalu ia bawa. Kakinya mungkin telah terasa kebas karenanya. Apa kali ini kau mulai merindukannya?”
Langit rupanya sangat tahu tentang apa yang tak pernah aku lontarkan kepadanya. Bahkan tak sekalipun aku biarkan telingaku mendengarnya.
“Apa aku telah terlambat mendatangi tempat ini? Apa dia tak akan pernah lagi kembali?”
Langit memandangku heran.
“Aku tak tahu. Waktu yang membawanya pergi untuk menyembuhkan kebas di kakinya. Apa kau berharap ia kembali? Adakah ini tentang rindumu ketika itu?”
Senyumku menyembul. Rindu, rupanya memang aku mulai merindukannya. Gadis ini membawa rinduku bersamanya. Langit mulai beranjak perlahan dari mataku. Seandainya saja angin kali ini sedikit berpihak kepadaku, ingin aku titipkan kepadanya.

“Aku merindukanmu. Selalu.”