Kunang-kunang menjalari tiap lekuk dalam pikirannya. Untuk sesaat aku mengira ia akan segera mengumpat kepada siapapun yang ada di depannya. Kepada apa saja yang ia lihat di depannya. Betapa tidak, dunia yang begitu ia ciptakan sempurna tiba-tiba jatuh berantakan. Susunan puzzle berserakan setengah jalan. Kau lihat saja langkahnya kali ini. Bukankah itu benar-benar menyedihkan? Aku tak mampu membayangkannya lagi. Tak bisa aku perkirakan lagi apa yang akan ia benahi kali ini. Aku bersamanya selama yang aku mampu, jadi aku sangat tahu betapa ia percaya kepada waktu. Kau tahu, karenanya aku tak lagi percaya pada waktu. Tak pernah lagi bisa percaya. Bagaimana aku bisa percaya kepada waktu, yang telah membuang benih dalam hatinya? Bagaimana mungkin aku bisa lagi percaya kepadanya jika pada akhirnya, ia yang begitu menungguinya dikhianati oleh waktu itu sendiri. Aku tak akan lagi percaya.
Rasanya ada ribuan hujaman di punggungnya. Tak ada sisa. Sungguh tak lagi ada yang tersisa darinya. Jika ia tak mengumpat sekarang kepalanya mungkin saja akan pecah dengan segera. Aku benar-benar tak bisa tahan melihatnya. Aku tak tahan. Seandainya saja umpatan itu ia sampaikan, meski ia harus mengumpat di depanku, akan aku dengarkan. Aku sangat tahu betapa keras ia berusaha mendamaikan dirinya kali ini. Seandainya saja ada sejengkal tempat untukku meminjamkan pundak kepadanya, akan aku berikan sepanjang sisa hidupku. Seandainya saja, tak ada suratan baginya untuk bertemu dengan kepahitan semacam ini.
Lorong ini masih terlalu gelap untuk ia lalui, sepertinya ada yang lupa menyalakan lampu jalanannya. Atau ada yang sengaja memutus arus penerangan. Dapatkah aku tetap menatapnya seperti ini? Masihkah akan tersisa jalanan berbatu di depan sana. Ada banyak sekali keherananku padanya. Pengkhianatan yang ia terima, kekecewaan yang ia simpan, kesal yang selalu ia kendalikan. Aku tak tahan lagi memikirkannya. Ini harus aku hentikan. Tidak. Setidaknya akan aku biarkan dia mengumpat dan memakinya saja.
"Hei, perempuan. Berhenti dan menagislah. Apa kau bodoh? Masih saja kau menyeret kakimu seperti itu. Tidakkah kau tahu ada ribuan hujaman di punggungmu itu? Sudah cukup! Aku tahan lagi melihatmu seperti ini. Jadi segera berhenti dan berbaliklah."
Berulang kali aku teriaki itu dalam pikirannya tapi apa yang ada dihadapanku ternyata bukan perempuan sederhana yang hanya bisa berjalan terhuyung menyeret kakinya yang penuh luka. Bukan. Tentu saja bukan.
Rupanya ia sengaja membuat pikirannya tuli. Aku sepertinya harus mempercepat langkahku. Akan aku hentikan dia sebelum tikungan itu. Lalu menyeretnya dalam pelukanku. Membiarkan air matanya hanya membasahi pundakku.
"Tunggu. Berhentilah sebentar, perempuan. Waktu tak akan berbalik kepadamu. Dia telah mengkhianatimu. Tidak kah kau sesali itu? Tak ada waktu yang bisa kau percayai. Jadi berhentilah sebentar. Kemari, dan duduklah."
Kali ini tak lagi aku berteriak kepadanya. Aku redam sisa amarah dalam tiap kataku kepadanya.
Kata-kata ku meluluh begitu saja saat aku lihat wajah yang ia sembunyikan. Kakiku terhenti saat aku sentuh lengan ringkihnya. Tak ada getaran sedikitpun. Tak ada air sebulirpun. Lengannya ringkih tapi jemari itu membenam sesuatu. Sesuatu yang bahkan diluar bayanganku. Aku tak lagi bisa berkata melihatnya. Rengkuhan tangannya benar-benar erat. Tak tertulis apapun dimatanya. Satu-satunya titik yang menempatkan aku terdiam di tempatku adalah yang selalu membuatku terjatuh dan menunduk kepadanya. Pengabdian. Tangan ringkihnya adalah tangan pengabdian. Mata sayunya adalah mata ketulusan. Kaki kurusnya adalah kaki pengorbanan.
Ya Tuhan, ini benar-benar tidak adil. Tidak adil sedikitpun. Airmata ku kalah. Satu persatu jatuh di hadapannya. Tak lagi bisa aku tahan. Bukan dia yang membutuhkan pundakku. Dia tak membutuhkannya. Sama sekali tidak. Bagaimana mungkin aku begitu lancang menganggapnya membutuhkan pundakku. Bagaimana mungkin perempuan yang begitu erat merengkuh rindu itu di tangannya, aku minta untuk berbalik menangis dan membuang rengkuhannya. Bagaimana mungkin? Aku benar-benar jadi gila. Aku yang pada akhirnya meraung dihadapannya.
Aku yang pada akhirnya membutuhkan pundaknya. Ya, aku.