lembaran pesawat-pesawat kertas.. di rentang waktu yang tak terukur dalam ruang.. tanpa nama.. tanpa irama.. |pss
Minggu, 18 Desember 2016
Jumat, 21 Oktober 2016
Aku Hanya Menulis Untukmu
Perlahan-lahan alur jalan
ini membuat aku terpikir, bahwa ada rahasia besar yang dari dulu disiapkan oleh
waktu untukku. Bagaimana tidak, betapa apiknya dia menyimpan dan menyiapkan
kisah. Selama apapun dan sepanjang apapun alur yang dia buat tetap saja rahasia
hanya menjadi rahasianya.
Pada akhirnya aku dibuat
percaya bahwa semua akan tetap berjalan sesuai rencanaNya. Aku, yang sering
kali mengingkari. Yang selalu saja tak ingin mengakui. Hari ini dibuat bungkam
tak lagi mampu meminta apa-apa. Aku dibuat percaya bahwa jeda panjang yang Dia
buat memang untuk mempersiapkan diriku. Mempersiapkan yang terbaik yang aku
butuhkan. Siapa yang akan bisa menebaknya? Kau juga mungkin tak akan pernah
mengiranya. Begitu panjang jeda yang dibuatkan untuk kita. Nyatanya itu membuat
kita siap. Segala bentuk persinggahan. Segala bentuk penantian. Semua disiapkan
dengan sempurna. Sangat sempurna. Sehingga saat telah tiba waktunya, aku
dihadapkan pada dia yang aku butuhkan. Aku dihadapkan pada, kamu. Jika saja,
waktu tak menempaku begitu lama, aku mungkin tak akan sekuat ini. Jika saja
sakit tak singgah begitu lama, mungkin saja aku tak pernah tahu apa yang
sesungguhnya aku butuhkan.
Tapi saat ini, seketika
saja aku dihadapkan padamu. Seketika itu pula keyakinan itu muncul. Keyakinan bahwa
waktu telah berjalan sesuai rutenya. Bahwa alur yang pernah aku ingkari pada
akhirnya memang harus dilalui. Suatu hari
nanti, jika ada ragu yang membebanimu duduk dan coba pilah segala yang ada
dalam pikiranmu. Karena ini bukan lagi tentang seberapa sering ucapan yang aku
ucapkan dihadapanmu, tapi tentang seberapa halus bisa kau resapi apa yang aku
tanamkan di dalam dirimu. Karena aku tak mampu memberimu ucapan. Yang mampu aku
berikan hanya sebentuk pengabdian. Dan itu aku tanamkan dalam diriku.
Senin, 08 Agustus 2016
Aku Ingin Menulis Untukmu
Berulang
kali aku berusaha mengingat-ingat untaian kata yang genap kau perdengarkan. Saat
siang menjelang, ada ribuan jawaban yang beterbangan dalam angan-angan, namun
nyatanya aku hanya bisa diam dan mendengarkan. Aku tak ingin melewatkan satu
katapun dari kalimat-kalimat merdu yang kau utarakan. Untaian tentang betapa
kukuh dan rapuhnya dirimu. Ada gambaran jelas yang aku lihat, gambaran tentang
betapa lelahnya dirimu. Betapa kuatnya kau menegakkan kakimu. Dan betapa
kerasnya kau tempa hidupmu.
Aku ingin menuliskan untukmu, seuntai kata yang aku harap bisa meneduhkan luka-lukamu. Ingin sekali aku tuliskan untukmu, sebaris kalimat yang bisa merengkuh segenap keresahanmu. Seandainya saja waktu tak memburuku, akan aku habiskan sisa keinginanku untuk menggenapi jejak-jejak langkahmu. Mengisi sesudut saja sisa waktumu. Mengguratkan secuil remah bahagia di wajahmu. Dan jika aku mampu, duduk disampingmu hanya untuk mendengar berulang kisah resah tentang harimu.
Aku masih ingin menuliskannya untukmu. Menuliskan kisah tentang rindu untuk melihat tawamu. Tentang kerinduanku mencerna teduh suaramu. Menikmati jeda dalam tiap kalimat yang kita jelang bersama. Tapi, aku tak ingin menuliskan masa depanku. Karena aku ingin mengisahkan masa depan kita, bukan hanya masa depanku.
Kamis, 30 Juni 2016
Aku Ingin Menulis Tentangmu
Aku hanya ingin
menulis tentangmu. Tentang sebait paragraph yang telah lama aku tinggalkan. Tentang
kumpulan kata yang lama aku tunda dalam jeda. Jadi mulai malam ini, akan aku
tuliskan tentangmu.
Semoga saja ini tak lantas menjadikanmu jemu. Karena telah lama
kata-kata aku tinggalkan. Karena telah lama kalimat aku buang. Dan semoga saja
kali ini tak akan salah aku tuliskan tentangmu. Tentang bagaimana lucunya waktu
membuat kita menunggu.
Di peron yang berbeda,
aku di tempatku memaku, menunggui kereta yang bahkan tak pernah aku tahu jadwal
keberangkatannya. Dan kamu di peronmu. Kita terpisah peron stasiun. Terpaut jarak
yang tak terhingga waktu. Tapi nampaknya terhubung oleh sebuah rencana tak
terduga.
Ini kisahku
tentangmu. Tentang kamu yang tiba-tiba dihadirkan lagi dalam rute yang pernah
aku tunda. Hanya tentang kamu, yang seketika saja mampu menyeretku masuk dan
hanyut sedemikian rupa. Kamu, yang hanya menyuguhkan keteduhan di ubun-ubun. Semoga
saja ini tak lantas menjadikan kamu jemu. Karena waktu sering kali akan
membutakanmu.
Rabu, 01 Juni 2016
Minggu, 01 Mei 2016
Gadis Itu Sakit, Ia Terluka
Semilir angin berderu sama. Musim ini kembali memutar. Hujan telah terlewatkan. Tanah gersang, daun-daun berguguran. Pohon-pohon menari, merunduk lesu. Tak satupun pohon berani menatap langit. Cahayanya mungkin jadi terlalu terang. Terlalu menyilaukan. Rumput tak ada yang merekah ruah, tak ada yang tumpah di sepanjang jalan.
Sesekali aku palingkan kepalaku ke sekeliling. Rambut mulai menusuk-nusuk ujung mataku. Sesekali harus aku sibakkan di depan mataku. Agar sedikit menjadi lebih jelas betapa kering udara yang ada sekarang. Gambaran layu dan kusam. Satu-satunya hal yang membuatku tetap mengamati sekeliling adalah keberadaannya. Sesosok perempuan samar. Ada bayangan yang menutupinya. Untaian fiksi mulai menggelayut manja di tiap benang yang terjulur mencuat dari gaunnya. Ada ribuan keping mimpi tersangkut rapuh di tiap helai rambutnya. Aku tak bisa memastikan apa yang telah dan sedang terjadi padanya.
Lama, gadis itu berdiri di bawah pohon pinus. Pohon yang bahkan tak mampu memberikan daun lebar untuk melindunginya dari terik cahaya mentari. Tapi ia tetap berdiri disana. Samar-samar ada untaian lagu yang aku dengar bertebaran. Menyebar ke setiap relung rasa yang aku miliki. Menyusup indah jauh membuat ku terjatuh ke dalam iramanya. Sayup-sayup lagu yang tak aku kenali mulai menyebar memenuhi ruang udara. Hingga terasa ditiap helaan nafasku. Menyelinap masuk meresap dan mengetuk rindu yang aku simpan. Lamat-lamat suara sayup angin terasa semakin syahdu. Seperti mulai mengait tiap rinduku. Menariknya keluar dan menebarkannya di udara. Aku melihatnya. Gadis itu yang mengaitkannya. Menarik seluruh rindu yang ada dalam diriku. Melilit tiap ujung saraf dalam tubuhku. Siapa gadis ini? Semakin lama, semakin banyak rindu yang keluar bertebaran. Tak lagi terlilit, mereka semua bahkan lepas bertebaran tanpa ikatan. Ini aneh. Tak pernah ini terjadi semenjak musim hujan terhenti.
Tangan gadis itu kosong. Sama kosongnya dengan mata yang tengadah menatapi langit memerah. Tak ada satupun yang mencuat keluar dari matanya. Semua bercampur, berbaur tak jelas rupa di sekelilingnya. Puluhan fiksi, ribuan keping mimpi, bercampur bersama rindu yang tak beraturan. Ini menjadi semakin aneh. Sekalipun ada begitu banyak rindu membaur, tak satupun yang menempelinya. Tak satupun seperti meneduhkannya. Aku tak benar-benar bisa mengerti, mengapa ia begitu kosong. Satu-satunya yang bisa aku kenali darinya hanyalah luka. Ia terluka di sekujur lekukannya. Ada sakit di setiap buku-buku tubuhnya. Betapa tak berdayanya aku memerhatikannya. Kait-kait rindu ini melilit tangan dan kakiku. Tak satupun langkah yang bisa aku jelang untuknya. Dan itu sungguh jadi menyakitkan. Mungkin ini sakit yang ia kirimkan kepadaku. Agar aku bisa sedikit memahami apa yang ada di tubuhnya. Apa yang menjadikannya begitu kosong. Ini melelahkan. Aku hanya bisa berharap, musim ini akan cepat berganti, agar hujan bisa membawanya kembali. Membawakan keteduhan untuk melumatkan segala mimpi dan fiksi yang melingkupinya.
Sesekali aku palingkan kepalaku ke sekeliling. Rambut mulai menusuk-nusuk ujung mataku. Sesekali harus aku sibakkan di depan mataku. Agar sedikit menjadi lebih jelas betapa kering udara yang ada sekarang. Gambaran layu dan kusam. Satu-satunya hal yang membuatku tetap mengamati sekeliling adalah keberadaannya. Sesosok perempuan samar. Ada bayangan yang menutupinya. Untaian fiksi mulai menggelayut manja di tiap benang yang terjulur mencuat dari gaunnya. Ada ribuan keping mimpi tersangkut rapuh di tiap helai rambutnya. Aku tak bisa memastikan apa yang telah dan sedang terjadi padanya.
Lama, gadis itu berdiri di bawah pohon pinus. Pohon yang bahkan tak mampu memberikan daun lebar untuk melindunginya dari terik cahaya mentari. Tapi ia tetap berdiri disana. Samar-samar ada untaian lagu yang aku dengar bertebaran. Menyebar ke setiap relung rasa yang aku miliki. Menyusup indah jauh membuat ku terjatuh ke dalam iramanya. Sayup-sayup lagu yang tak aku kenali mulai menyebar memenuhi ruang udara. Hingga terasa ditiap helaan nafasku. Menyelinap masuk meresap dan mengetuk rindu yang aku simpan. Lamat-lamat suara sayup angin terasa semakin syahdu. Seperti mulai mengait tiap rinduku. Menariknya keluar dan menebarkannya di udara. Aku melihatnya. Gadis itu yang mengaitkannya. Menarik seluruh rindu yang ada dalam diriku. Melilit tiap ujung saraf dalam tubuhku. Siapa gadis ini? Semakin lama, semakin banyak rindu yang keluar bertebaran. Tak lagi terlilit, mereka semua bahkan lepas bertebaran tanpa ikatan. Ini aneh. Tak pernah ini terjadi semenjak musim hujan terhenti.
Tangan gadis itu kosong. Sama kosongnya dengan mata yang tengadah menatapi langit memerah. Tak ada satupun yang mencuat keluar dari matanya. Semua bercampur, berbaur tak jelas rupa di sekelilingnya. Puluhan fiksi, ribuan keping mimpi, bercampur bersama rindu yang tak beraturan. Ini menjadi semakin aneh. Sekalipun ada begitu banyak rindu membaur, tak satupun yang menempelinya. Tak satupun seperti meneduhkannya. Aku tak benar-benar bisa mengerti, mengapa ia begitu kosong. Satu-satunya yang bisa aku kenali darinya hanyalah luka. Ia terluka di sekujur lekukannya. Ada sakit di setiap buku-buku tubuhnya. Betapa tak berdayanya aku memerhatikannya. Kait-kait rindu ini melilit tangan dan kakiku. Tak satupun langkah yang bisa aku jelang untuknya. Dan itu sungguh jadi menyakitkan. Mungkin ini sakit yang ia kirimkan kepadaku. Agar aku bisa sedikit memahami apa yang ada di tubuhnya. Apa yang menjadikannya begitu kosong. Ini melelahkan. Aku hanya bisa berharap, musim ini akan cepat berganti, agar hujan bisa membawanya kembali. Membawakan keteduhan untuk melumatkan segala mimpi dan fiksi yang melingkupinya.
Senin, 11 April 2016
Gadis Syahdu Itu, Hujan.
Ada rasa penasaran yang terus mengusik langkahku. Tentang
sebuah perjalanan sesosok yang bahkan belum sempat aku kenali. Sekali waktu ia
hadir sekilas. Sekelebat lalu hanya membayang. Tak bisa aku pastikan
perjalanannya akan seperti apa. Karena aku mengenalnya hanya dalam bayangan. Menemuinya
hanya dalam gambaran.
Suatu
hari, saat petang hampir menjelang sesosok gadis aku temukan di bawah bayangan.
Bulan belum tampak, tapi remah perjalanan gadis ini jelas tertempel dalam tiap
gerakannya. Rambut hitam panjangnya menjuntai setiap kali angin memainkannya. Senyum
manisnya selalu terkembang merekah dalam tiap ucapannya. Betapa kental rasa
bahagianya. Aku selalu tersentuh oleh tatapan mata sayunya. Begitu ayu gambaran
yang aku lihat tentang sosoknya. Lambaian lembut gaun yang ia kenakan, tak
jelas abu tak serupa dengan hitam. Tapi tiap kali angin menggerakkannya, seperti
ada bahasa yang ia titipkan bersamanya. Lembut, teduh, dan menenangkan. Kata-katanya
mengalir syahdu saat mengucapkan namanya.
“Aku dinamai, Hujan.”
Satu
kalimat yang membuatku mengenalnya. Dia, hujan. Jatuh syahdu meneduhkan,
mendamaikan dalam tiap tetesannya. Mengalir tanpa menimbang alur jalan yang
membawanya. Kalimat-kalimatku mengalir tanpa batasan saat bersamanya. Badanku
selalu saja terpaku memerhatikan tiap langkahnya. Setiap kata yang ia ucapkan. Seperti
untaian lagu yang sayup-sayup ditiup angin. Aku sangat yakin, ia benar-benar
disiapkan untuk orang yang istimewa. Betapa tidak. Karena gadis ini benar-benar
istimewa. Pun jika aku bisa menjadi begitu istimewa untuk mengenalnya, aku akan
merasa begitu bahagia.
Tak
sekalipun aku pernah menghitung tiap titik kami bertemu. Tiap kata yang kami
bagi bersama. Tiap kalimat yang mengalir begitu saja untuknya. Aku seperti
telah lupa beberapa tujuan yang sempat aku siapkan. Aku seperti terjatuh dan
tersangkut dalam aliran syahdunya. Gadis ini, benar-benar seperti hujan. Tiap kali
dia berucap, tiap kali wajahnya nampak. Ada syahdu yang hadir dan
menghanyutkanku. Sekalipun aku tahu, untuk siapa senyum itu merekah di
wajahnya. Tak sekalipun aku membayangkan senyum itu akan memudar dari wajahnya.
Tak pula sekalipun aku berharap hujan akan terhenti dan tak lagi mengalir
syahdu. Tapi selayaknya musim yang selalu berganti dalam waktunya. Bumi yang
selalu memutar dalam porosnya. Ia pun sampai pada titik kepedihannya.
Ia
tak pernah berkata seberapa dalam luka yang telah tergores dalam
hatinya. Ia tak pernah menangisi sakit yang ia rasa dari tiap
sendinya. Ia hanya berdiri disana. Di bawah langit senja menunggui
kebebasannya. Tak pernah aku mengira ia akan menjadi begitu ringkih. Tak pernah pula aku membayangkan senyum yang sering kali ia perlihatkan akan berubah
menjadi senyum yang membuat sayatan dalam hatiku. Ia masih tetap syahdu, dan
menjadi semakin sayu. Aku tak lagi dapat menahannya. Puluhan goresan yang ia
simpan, menghujam dalam dan menjadi ribuan luka dalam hatiku. Sendi-sendiku
bergetar hebat. Jika waktu mengijinkanku berlari dan akan aku lumat
habis segala sakit yang ia rasa. Merengkuh dan menyembunyikannya dalam
pelukanku. Aku tak lagi tahan mengamatinya.
“Senjaku, berhenti muncul. Hari ini ia tak akan lagi pernah muncul.”
Sebulir
air menetes di pipinya. Betapa dalam pengabdiannya. Menunggui senja muncul di
pelupuk matanya lalu mengantarkannya tenggelam. Apa yang akan dilakukannya
sekarang? Musim berubah. Senja sebentar lagi akan menghilang. Apa yang dapat
aku lakukan?
Dadaku
sesak. Tenggorokanku tercekat. Tak lagi ada suara yang mampu keluar. Aku mulai
berlari sekencang-kencangnya. Menerobos ribuan ranting pohon yang mulai
menggesekan luka di kulitku. Dalam kepalaku ada banyak umpatan yang ingin
sekali aku keluarkan kepadanya. Senja yang membuat hujanku begitu pedih
menungguinya. Ingin sekali aku koyak langit dan menyeretnya keluar. Membawanya dan
menunjukkan padanya apa yang telah ia perbuat terhadap gadis syahdu itu. Ingin aku
memakinya agar ia tahu betapa banyak luka yang telah ia tanam kepada gadis itu.
Jika saja tanganku dibuat agar bisa menjangkaunya. Ingin aku teriakkan
pengabdian yang telah ia dapatkan.
“Hei, kau. Tidakkah cukup luka yang kau goreskan? Dan kini kau bahkan membenamkannya dalam kepedihan. Butakah kau, wahai senja? Butakah matamu terhadap ketulusannya? Tidakkah dapat kau lihat air mata yang mengalir di pipinya? Tulikah kau sehingga tak lagi dapat mendengar tangis yang ia tahankan?”
Langganan:
Postingan (Atom)