Jumat, 21 Oktober 2016

Aku Hanya Menulis Untukmu


Perlahan-lahan alur jalan ini membuat aku terpikir, bahwa ada rahasia besar yang dari dulu disiapkan oleh waktu untukku. Bagaimana tidak, betapa apiknya dia menyimpan dan menyiapkan kisah. Selama apapun dan sepanjang apapun alur yang dia buat tetap saja rahasia hanya menjadi rahasianya.

Pada akhirnya aku dibuat percaya bahwa semua akan tetap berjalan sesuai rencanaNya. Aku, yang sering kali mengingkari. Yang selalu saja tak ingin mengakui. Hari ini dibuat bungkam tak lagi mampu meminta apa-apa. Aku dibuat percaya bahwa jeda panjang yang Dia buat memang untuk mempersiapkan diriku. Mempersiapkan yang terbaik yang aku butuhkan. Siapa yang akan bisa menebaknya? Kau juga mungkin tak akan pernah mengiranya. Begitu panjang jeda yang dibuatkan untuk kita. Nyatanya itu membuat kita siap. Segala bentuk persinggahan. Segala bentuk penantian. Semua disiapkan dengan sempurna. Sangat sempurna. Sehingga saat telah tiba waktunya, aku dihadapkan pada dia yang aku butuhkan. Aku dihadapkan pada, kamu. Jika saja, waktu tak menempaku begitu lama, aku mungkin tak akan sekuat ini. Jika saja sakit tak singgah begitu lama, mungkin saja aku tak pernah tahu apa yang sesungguhnya aku butuhkan.

Tapi saat ini, seketika saja aku dihadapkan padamu. Seketika itu pula keyakinan itu muncul. Keyakinan bahwa waktu telah berjalan sesuai rutenya. Bahwa alur yang pernah aku ingkari pada akhirnya memang harus dilalui.  Suatu hari nanti, jika ada ragu yang membebanimu duduk dan coba pilah segala yang ada dalam pikiranmu. Karena ini bukan lagi tentang seberapa sering ucapan yang aku ucapkan dihadapanmu, tapi tentang seberapa halus bisa kau resapi apa yang aku tanamkan di dalam dirimu. Karena aku tak mampu memberimu ucapan. Yang mampu aku berikan hanya sebentuk pengabdian. Dan itu aku tanamkan dalam diriku.

Senin, 08 Agustus 2016

Aku Ingin Menulis Untukmu


Berulang kali aku berusaha mengingat-ingat untaian kata yang genap kau perdengarkan. Saat siang menjelang, ada ribuan jawaban yang beterbangan dalam angan-angan, namun nyatanya aku hanya bisa diam dan mendengarkan. Aku tak ingin melewatkan satu katapun dari kalimat-kalimat merdu yang kau utarakan. Untaian tentang betapa kukuh dan rapuhnya dirimu. Ada gambaran jelas yang aku lihat, gambaran tentang betapa lelahnya dirimu. Betapa kuatnya kau menegakkan kakimu. Dan betapa kerasnya kau tempa hidupmu.

Aku ingin menuliskan untukmu, seuntai kata yang aku harap bisa meneduhkan luka-lukamu. Ingin sekali aku tuliskan untukmu, sebaris kalimat yang bisa merengkuh segenap keresahanmu. Seandainya saja waktu tak memburuku, akan aku habiskan sisa keinginanku untuk menggenapi jejak-jejak langkahmu. Mengisi sesudut saja sisa waktumu. Mengguratkan secuil remah bahagia di wajahmu. Dan jika aku mampu, duduk disampingmu hanya untuk mendengar berulang kisah resah tentang harimu.

Aku masih ingin menuliskannya untukmu. Menuliskan kisah tentang rindu untuk melihat tawamu. Tentang kerinduanku mencerna teduh suaramu. Menikmati jeda dalam tiap kalimat yang kita jelang bersama. Tapi, aku tak ingin menuliskan masa depanku. Karena aku ingin mengisahkan masa depan kita, bukan hanya masa depanku.

Kamis, 30 Juni 2016

Aku Ingin Menulis Tentangmu


Aku hanya ingin menulis tentangmu. Tentang sebait paragraph yang telah lama aku tinggalkan. Tentang kumpulan kata yang lama aku tunda dalam jeda. Jadi mulai malam ini, akan aku tuliskan tentangmu. 
Semoga saja ini tak lantas menjadikanmu jemu. Karena telah lama kata-kata aku tinggalkan. Karena telah lama kalimat aku buang. Dan semoga saja kali ini tak akan salah aku tuliskan tentangmu. Tentang bagaimana lucunya waktu membuat kita menunggu.

Di peron yang berbeda, aku di tempatku memaku, menunggui kereta yang bahkan tak pernah aku tahu jadwal keberangkatannya. Dan kamu di peronmu. Kita terpisah peron stasiun. Terpaut jarak yang tak terhingga waktu. Tapi nampaknya terhubung oleh sebuah rencana tak terduga.

Ini kisahku tentangmu. Tentang kamu yang tiba-tiba dihadirkan lagi dalam rute yang pernah aku tunda. Hanya tentang kamu, yang seketika saja mampu menyeretku masuk dan hanyut sedemikian rupa. Kamu, yang hanya menyuguhkan keteduhan di ubun-ubun. Semoga saja ini tak lantas menjadikan kamu jemu. Karena waktu sering kali akan membutakanmu. 

Minggu, 01 Mei 2016

Gadis Itu Sakit, Ia Terluka

Semilir angin berderu sama. Musim ini kembali memutar. Hujan telah terlewatkan. Tanah gersang, daun-daun berguguran. Pohon-pohon menari, merunduk lesu. Tak satupun pohon berani menatap langit. Cahayanya mungkin jadi terlalu terang. Terlalu menyilaukan. Rumput tak ada yang merekah ruah, tak ada yang tumpah di sepanjang jalan.
Sesekali aku palingkan kepalaku ke sekeliling. Rambut mulai menusuk-nusuk ujung mataku. Sesekali harus aku sibakkan di depan mataku. Agar sedikit menjadi lebih jelas betapa kering udara yang ada sekarang. Gambaran layu dan kusam. Satu-satunya hal yang membuatku tetap mengamati sekeliling adalah keberadaannya. Sesosok perempuan samar. Ada bayangan yang menutupinya. Untaian fiksi mulai menggelayut manja di tiap benang yang terjulur mencuat dari gaunnya. Ada ribuan keping mimpi tersangkut rapuh di tiap helai rambutnya. Aku tak bisa memastikan apa yang telah dan sedang terjadi padanya.
Lama, gadis itu berdiri di bawah pohon pinus. Pohon yang bahkan tak mampu memberikan daun lebar untuk melindunginya dari terik cahaya mentari. Tapi ia tetap berdiri disana. Samar-samar ada untaian lagu yang aku dengar bertebaran. Menyebar ke setiap relung rasa yang aku miliki. Menyusup indah jauh membuat ku terjatuh ke dalam iramanya. Sayup-sayup lagu yang tak aku kenali mulai menyebar memenuhi ruang udara. Hingga terasa ditiap helaan nafasku. Menyelinap masuk meresap dan mengetuk rindu yang aku simpan. Lamat-lamat suara sayup angin terasa semakin syahdu. Seperti mulai mengait tiap rinduku. Menariknya keluar dan menebarkannya di udara. Aku melihatnya. Gadis itu yang mengaitkannya. Menarik seluruh rindu yang ada dalam diriku. Melilit tiap ujung saraf dalam tubuhku. Siapa gadis ini? Semakin lama, semakin banyak rindu yang keluar bertebaran. Tak lagi terlilit, mereka semua bahkan lepas bertebaran tanpa ikatan. Ini aneh. Tak pernah ini terjadi semenjak musim hujan terhenti.
Tangan gadis itu kosong. Sama kosongnya dengan mata yang tengadah menatapi langit memerah. Tak ada satupun yang mencuat keluar dari matanya. Semua bercampur, berbaur tak jelas rupa di sekelilingnya. Puluhan fiksi, ribuan keping mimpi, bercampur bersama rindu yang tak beraturan. Ini menjadi semakin aneh. Sekalipun ada begitu banyak rindu membaur, tak satupun yang menempelinya. Tak satupun seperti meneduhkannya. Aku tak benar-benar bisa mengerti, mengapa ia begitu kosong. Satu-satunya yang bisa aku kenali darinya hanyalah luka. Ia terluka di sekujur lekukannya. Ada sakit di setiap buku-buku tubuhnya. Betapa tak berdayanya aku memerhatikannya. Kait-kait rindu ini melilit tangan dan kakiku. Tak satupun langkah yang bisa aku jelang untuknya. Dan itu sungguh jadi menyakitkan. Mungkin ini sakit yang ia kirimkan kepadaku. Agar aku bisa sedikit memahami apa yang ada di tubuhnya. Apa yang menjadikannya begitu kosong. Ini melelahkan. Aku hanya bisa berharap, musim ini akan cepat berganti, agar hujan bisa membawanya kembali. Membawakan keteduhan untuk melumatkan segala mimpi dan fiksi yang melingkupinya.

Senin, 11 April 2016

Gadis Syahdu Itu, Hujan.

Ada rasa penasaran yang terus mengusik langkahku. Tentang sebuah perjalanan sesosok yang bahkan belum sempat aku kenali. Sekali waktu ia hadir sekilas. Sekelebat lalu hanya membayang. Tak bisa aku pastikan perjalanannya akan seperti apa. Karena aku mengenalnya hanya dalam bayangan. Menemuinya hanya dalam gambaran.
Suatu hari, saat petang hampir menjelang sesosok gadis aku temukan di bawah bayangan. Bulan belum tampak, tapi remah perjalanan gadis ini jelas tertempel dalam tiap gerakannya. Rambut hitam panjangnya menjuntai setiap kali angin memainkannya. Senyum manisnya selalu terkembang merekah dalam tiap ucapannya. Betapa kental rasa bahagianya. Aku selalu tersentuh oleh tatapan mata sayunya. Begitu ayu gambaran yang aku lihat tentang sosoknya. Lambaian lembut gaun yang ia kenakan, tak jelas abu tak serupa dengan hitam. Tapi tiap kali angin menggerakkannya, seperti ada bahasa yang ia titipkan bersamanya. Lembut, teduh, dan menenangkan. Kata-katanya mengalir syahdu saat mengucapkan namanya.
“Aku dinamai, Hujan.”
Satu kalimat yang membuatku mengenalnya. Dia, hujan. Jatuh syahdu meneduhkan, mendamaikan dalam tiap tetesannya. Mengalir tanpa menimbang alur jalan yang membawanya. Kalimat-kalimatku mengalir tanpa batasan saat bersamanya. Badanku selalu saja terpaku memerhatikan tiap langkahnya. Setiap kata yang ia ucapkan. Seperti untaian lagu yang sayup-sayup ditiup angin. Aku sangat yakin, ia benar-benar disiapkan untuk orang yang istimewa. Betapa tidak. Karena gadis ini benar-benar istimewa. Pun jika aku bisa menjadi begitu istimewa untuk mengenalnya, aku akan merasa begitu bahagia.
Tak sekalipun aku pernah menghitung tiap titik kami bertemu. Tiap kata yang kami bagi bersama. Tiap kalimat yang mengalir begitu saja untuknya. Aku seperti telah lupa beberapa tujuan yang sempat aku siapkan. Aku seperti terjatuh dan tersangkut dalam aliran syahdunya. Gadis ini, benar-benar seperti hujan. Tiap kali dia berucap, tiap kali wajahnya nampak. Ada syahdu yang hadir dan menghanyutkanku. Sekalipun aku tahu, untuk siapa senyum itu merekah di wajahnya. Tak sekalipun aku membayangkan senyum itu akan memudar dari wajahnya. Tak pula sekalipun aku berharap hujan akan terhenti dan tak lagi mengalir syahdu. Tapi selayaknya musim yang selalu berganti dalam waktunya. Bumi yang selalu memutar dalam porosnya. Ia pun sampai pada titik kepedihannya.
Ia tak pernah berkata seberapa dalam luka yang telah tergores dalam hatinya. Ia tak pernah menangisi sakit yang ia rasa dari tiap sendinya. Ia hanya berdiri disana. Di bawah langit senja menunggui kebebasannya. Tak pernah aku mengira ia akan menjadi begitu ringkih. Tak pernah pula aku membayangkan senyum yang sering kali ia perlihatkan akan berubah menjadi senyum yang membuat sayatan dalam hatiku. Ia masih tetap syahdu, dan menjadi semakin sayu. Aku tak lagi dapat menahannya. Puluhan goresan yang ia simpan, menghujam dalam dan menjadi ribuan luka dalam hatiku. Sendi-sendiku bergetar hebat. Jika waktu mengijinkanku berlari dan akan aku lumat habis segala sakit yang ia rasa. Merengkuh dan menyembunyikannya dalam pelukanku. Aku tak lagi tahan mengamatinya.
“Senjaku, berhenti muncul. Hari ini ia tak akan lagi pernah muncul.”
Sebulir air menetes di pipinya. Betapa dalam pengabdiannya. Menunggui senja muncul di pelupuk matanya lalu mengantarkannya tenggelam. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Musim berubah. Senja sebentar lagi akan menghilang. Apa yang dapat aku lakukan?
Dadaku sesak. Tenggorokanku tercekat. Tak lagi ada suara yang mampu keluar. Aku mulai berlari sekencang-kencangnya. Menerobos ribuan ranting pohon yang mulai menggesekan luka di kulitku. Dalam kepalaku ada banyak umpatan yang ingin sekali aku keluarkan kepadanya. Senja yang membuat hujanku begitu pedih menungguinya. Ingin sekali aku koyak langit dan menyeretnya keluar. Membawanya dan menunjukkan padanya apa yang telah ia perbuat terhadap gadis syahdu itu. Ingin aku memakinya agar ia tahu betapa banyak luka yang telah ia tanam kepada gadis itu. Jika saja tanganku dibuat agar bisa menjangkaunya. Ingin aku teriakkan pengabdian yang telah ia dapatkan.
“Hei, kau. Tidakkah cukup luka yang kau goreskan? Dan kini kau bahkan membenamkannya dalam kepedihan. Butakah kau, wahai senja? Butakah matamu terhadap ketulusannya? Tidakkah dapat kau lihat air mata yang mengalir di pipinya? Tulikah kau sehingga tak lagi dapat mendengar  tangis yang ia tahankan?”