Suatu
hari, saat petang hampir menjelang sesosok gadis aku temukan di bawah bayangan.
Bulan belum tampak, tapi remah perjalanan gadis ini jelas tertempel dalam tiap
gerakannya. Rambut hitam panjangnya menjuntai setiap kali angin memainkannya. Senyum
manisnya selalu terkembang merekah dalam tiap ucapannya. Betapa kental rasa
bahagianya. Aku selalu tersentuh oleh tatapan mata sayunya. Begitu ayu gambaran
yang aku lihat tentang sosoknya. Lambaian lembut gaun yang ia kenakan, tak
jelas abu tak serupa dengan hitam. Tapi tiap kali angin menggerakkannya, seperti
ada bahasa yang ia titipkan bersamanya. Lembut, teduh, dan menenangkan. Kata-katanya
mengalir syahdu saat mengucapkan namanya.
“Aku dinamai, Hujan.”
Satu
kalimat yang membuatku mengenalnya. Dia, hujan. Jatuh syahdu meneduhkan,
mendamaikan dalam tiap tetesannya. Mengalir tanpa menimbang alur jalan yang
membawanya. Kalimat-kalimatku mengalir tanpa batasan saat bersamanya. Badanku
selalu saja terpaku memerhatikan tiap langkahnya. Setiap kata yang ia ucapkan. Seperti
untaian lagu yang sayup-sayup ditiup angin. Aku sangat yakin, ia benar-benar
disiapkan untuk orang yang istimewa. Betapa tidak. Karena gadis ini benar-benar
istimewa. Pun jika aku bisa menjadi begitu istimewa untuk mengenalnya, aku akan
merasa begitu bahagia.
Tak
sekalipun aku pernah menghitung tiap titik kami bertemu. Tiap kata yang kami
bagi bersama. Tiap kalimat yang mengalir begitu saja untuknya. Aku seperti
telah lupa beberapa tujuan yang sempat aku siapkan. Aku seperti terjatuh dan
tersangkut dalam aliran syahdunya. Gadis ini, benar-benar seperti hujan. Tiap kali
dia berucap, tiap kali wajahnya nampak. Ada syahdu yang hadir dan
menghanyutkanku. Sekalipun aku tahu, untuk siapa senyum itu merekah di
wajahnya. Tak sekalipun aku membayangkan senyum itu akan memudar dari wajahnya.
Tak pula sekalipun aku berharap hujan akan terhenti dan tak lagi mengalir
syahdu. Tapi selayaknya musim yang selalu berganti dalam waktunya. Bumi yang
selalu memutar dalam porosnya. Ia pun sampai pada titik kepedihannya.
Ia
tak pernah berkata seberapa dalam luka yang telah tergores dalam
hatinya. Ia tak pernah menangisi sakit yang ia rasa dari tiap
sendinya. Ia hanya berdiri disana. Di bawah langit senja menunggui
kebebasannya. Tak pernah aku mengira ia akan menjadi begitu ringkih. Tak pernah pula aku membayangkan senyum yang sering kali ia perlihatkan akan berubah
menjadi senyum yang membuat sayatan dalam hatiku. Ia masih tetap syahdu, dan
menjadi semakin sayu. Aku tak lagi dapat menahannya. Puluhan goresan yang ia
simpan, menghujam dalam dan menjadi ribuan luka dalam hatiku. Sendi-sendiku
bergetar hebat. Jika waktu mengijinkanku berlari dan akan aku lumat
habis segala sakit yang ia rasa. Merengkuh dan menyembunyikannya dalam
pelukanku. Aku tak lagi tahan mengamatinya.
“Senjaku, berhenti muncul. Hari ini ia tak akan lagi pernah muncul.”
Sebulir
air menetes di pipinya. Betapa dalam pengabdiannya. Menunggui senja muncul di
pelupuk matanya lalu mengantarkannya tenggelam. Apa yang akan dilakukannya
sekarang? Musim berubah. Senja sebentar lagi akan menghilang. Apa yang dapat
aku lakukan?
Dadaku
sesak. Tenggorokanku tercekat. Tak lagi ada suara yang mampu keluar. Aku mulai
berlari sekencang-kencangnya. Menerobos ribuan ranting pohon yang mulai
menggesekan luka di kulitku. Dalam kepalaku ada banyak umpatan yang ingin
sekali aku keluarkan kepadanya. Senja yang membuat hujanku begitu pedih
menungguinya. Ingin sekali aku koyak langit dan menyeretnya keluar. Membawanya dan
menunjukkan padanya apa yang telah ia perbuat terhadap gadis syahdu itu. Ingin aku
memakinya agar ia tahu betapa banyak luka yang telah ia tanam kepada gadis itu.
Jika saja tanganku dibuat agar bisa menjangkaunya. Ingin aku teriakkan
pengabdian yang telah ia dapatkan.
“Hei, kau. Tidakkah cukup luka yang kau goreskan? Dan kini kau bahkan membenamkannya dalam kepedihan. Butakah kau, wahai senja? Butakah matamu terhadap ketulusannya? Tidakkah dapat kau lihat air mata yang mengalir di pipinya? Tulikah kau sehingga tak lagi dapat mendengar tangis yang ia tahankan?”