Senin, 11 April 2016

Gadis Syahdu Itu, Hujan.

Ada rasa penasaran yang terus mengusik langkahku. Tentang sebuah perjalanan sesosok yang bahkan belum sempat aku kenali. Sekali waktu ia hadir sekilas. Sekelebat lalu hanya membayang. Tak bisa aku pastikan perjalanannya akan seperti apa. Karena aku mengenalnya hanya dalam bayangan. Menemuinya hanya dalam gambaran.
Suatu hari, saat petang hampir menjelang sesosok gadis aku temukan di bawah bayangan. Bulan belum tampak, tapi remah perjalanan gadis ini jelas tertempel dalam tiap gerakannya. Rambut hitam panjangnya menjuntai setiap kali angin memainkannya. Senyum manisnya selalu terkembang merekah dalam tiap ucapannya. Betapa kental rasa bahagianya. Aku selalu tersentuh oleh tatapan mata sayunya. Begitu ayu gambaran yang aku lihat tentang sosoknya. Lambaian lembut gaun yang ia kenakan, tak jelas abu tak serupa dengan hitam. Tapi tiap kali angin menggerakkannya, seperti ada bahasa yang ia titipkan bersamanya. Lembut, teduh, dan menenangkan. Kata-katanya mengalir syahdu saat mengucapkan namanya.
“Aku dinamai, Hujan.”
Satu kalimat yang membuatku mengenalnya. Dia, hujan. Jatuh syahdu meneduhkan, mendamaikan dalam tiap tetesannya. Mengalir tanpa menimbang alur jalan yang membawanya. Kalimat-kalimatku mengalir tanpa batasan saat bersamanya. Badanku selalu saja terpaku memerhatikan tiap langkahnya. Setiap kata yang ia ucapkan. Seperti untaian lagu yang sayup-sayup ditiup angin. Aku sangat yakin, ia benar-benar disiapkan untuk orang yang istimewa. Betapa tidak. Karena gadis ini benar-benar istimewa. Pun jika aku bisa menjadi begitu istimewa untuk mengenalnya, aku akan merasa begitu bahagia.
Tak sekalipun aku pernah menghitung tiap titik kami bertemu. Tiap kata yang kami bagi bersama. Tiap kalimat yang mengalir begitu saja untuknya. Aku seperti telah lupa beberapa tujuan yang sempat aku siapkan. Aku seperti terjatuh dan tersangkut dalam aliran syahdunya. Gadis ini, benar-benar seperti hujan. Tiap kali dia berucap, tiap kali wajahnya nampak. Ada syahdu yang hadir dan menghanyutkanku. Sekalipun aku tahu, untuk siapa senyum itu merekah di wajahnya. Tak sekalipun aku membayangkan senyum itu akan memudar dari wajahnya. Tak pula sekalipun aku berharap hujan akan terhenti dan tak lagi mengalir syahdu. Tapi selayaknya musim yang selalu berganti dalam waktunya. Bumi yang selalu memutar dalam porosnya. Ia pun sampai pada titik kepedihannya.
Ia tak pernah berkata seberapa dalam luka yang telah tergores dalam hatinya. Ia tak pernah menangisi sakit yang ia rasa dari tiap sendinya. Ia hanya berdiri disana. Di bawah langit senja menunggui kebebasannya. Tak pernah aku mengira ia akan menjadi begitu ringkih. Tak pernah pula aku membayangkan senyum yang sering kali ia perlihatkan akan berubah menjadi senyum yang membuat sayatan dalam hatiku. Ia masih tetap syahdu, dan menjadi semakin sayu. Aku tak lagi dapat menahannya. Puluhan goresan yang ia simpan, menghujam dalam dan menjadi ribuan luka dalam hatiku. Sendi-sendiku bergetar hebat. Jika waktu mengijinkanku berlari dan akan aku lumat habis segala sakit yang ia rasa. Merengkuh dan menyembunyikannya dalam pelukanku. Aku tak lagi tahan mengamatinya.
“Senjaku, berhenti muncul. Hari ini ia tak akan lagi pernah muncul.”
Sebulir air menetes di pipinya. Betapa dalam pengabdiannya. Menunggui senja muncul di pelupuk matanya lalu mengantarkannya tenggelam. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Musim berubah. Senja sebentar lagi akan menghilang. Apa yang dapat aku lakukan?
Dadaku sesak. Tenggorokanku tercekat. Tak lagi ada suara yang mampu keluar. Aku mulai berlari sekencang-kencangnya. Menerobos ribuan ranting pohon yang mulai menggesekan luka di kulitku. Dalam kepalaku ada banyak umpatan yang ingin sekali aku keluarkan kepadanya. Senja yang membuat hujanku begitu pedih menungguinya. Ingin sekali aku koyak langit dan menyeretnya keluar. Membawanya dan menunjukkan padanya apa yang telah ia perbuat terhadap gadis syahdu itu. Ingin aku memakinya agar ia tahu betapa banyak luka yang telah ia tanam kepada gadis itu. Jika saja tanganku dibuat agar bisa menjangkaunya. Ingin aku teriakkan pengabdian yang telah ia dapatkan.
“Hei, kau. Tidakkah cukup luka yang kau goreskan? Dan kini kau bahkan membenamkannya dalam kepedihan. Butakah kau, wahai senja? Butakah matamu terhadap ketulusannya? Tidakkah dapat kau lihat air mata yang mengalir di pipinya? Tulikah kau sehingga tak lagi dapat mendengar  tangis yang ia tahankan?”