Minggu, 01 Mei 2016

Gadis Itu Sakit, Ia Terluka

Semilir angin berderu sama. Musim ini kembali memutar. Hujan telah terlewatkan. Tanah gersang, daun-daun berguguran. Pohon-pohon menari, merunduk lesu. Tak satupun pohon berani menatap langit. Cahayanya mungkin jadi terlalu terang. Terlalu menyilaukan. Rumput tak ada yang merekah ruah, tak ada yang tumpah di sepanjang jalan.
Sesekali aku palingkan kepalaku ke sekeliling. Rambut mulai menusuk-nusuk ujung mataku. Sesekali harus aku sibakkan di depan mataku. Agar sedikit menjadi lebih jelas betapa kering udara yang ada sekarang. Gambaran layu dan kusam. Satu-satunya hal yang membuatku tetap mengamati sekeliling adalah keberadaannya. Sesosok perempuan samar. Ada bayangan yang menutupinya. Untaian fiksi mulai menggelayut manja di tiap benang yang terjulur mencuat dari gaunnya. Ada ribuan keping mimpi tersangkut rapuh di tiap helai rambutnya. Aku tak bisa memastikan apa yang telah dan sedang terjadi padanya.
Lama, gadis itu berdiri di bawah pohon pinus. Pohon yang bahkan tak mampu memberikan daun lebar untuk melindunginya dari terik cahaya mentari. Tapi ia tetap berdiri disana. Samar-samar ada untaian lagu yang aku dengar bertebaran. Menyebar ke setiap relung rasa yang aku miliki. Menyusup indah jauh membuat ku terjatuh ke dalam iramanya. Sayup-sayup lagu yang tak aku kenali mulai menyebar memenuhi ruang udara. Hingga terasa ditiap helaan nafasku. Menyelinap masuk meresap dan mengetuk rindu yang aku simpan. Lamat-lamat suara sayup angin terasa semakin syahdu. Seperti mulai mengait tiap rinduku. Menariknya keluar dan menebarkannya di udara. Aku melihatnya. Gadis itu yang mengaitkannya. Menarik seluruh rindu yang ada dalam diriku. Melilit tiap ujung saraf dalam tubuhku. Siapa gadis ini? Semakin lama, semakin banyak rindu yang keluar bertebaran. Tak lagi terlilit, mereka semua bahkan lepas bertebaran tanpa ikatan. Ini aneh. Tak pernah ini terjadi semenjak musim hujan terhenti.
Tangan gadis itu kosong. Sama kosongnya dengan mata yang tengadah menatapi langit memerah. Tak ada satupun yang mencuat keluar dari matanya. Semua bercampur, berbaur tak jelas rupa di sekelilingnya. Puluhan fiksi, ribuan keping mimpi, bercampur bersama rindu yang tak beraturan. Ini menjadi semakin aneh. Sekalipun ada begitu banyak rindu membaur, tak satupun yang menempelinya. Tak satupun seperti meneduhkannya. Aku tak benar-benar bisa mengerti, mengapa ia begitu kosong. Satu-satunya yang bisa aku kenali darinya hanyalah luka. Ia terluka di sekujur lekukannya. Ada sakit di setiap buku-buku tubuhnya. Betapa tak berdayanya aku memerhatikannya. Kait-kait rindu ini melilit tangan dan kakiku. Tak satupun langkah yang bisa aku jelang untuknya. Dan itu sungguh jadi menyakitkan. Mungkin ini sakit yang ia kirimkan kepadaku. Agar aku bisa sedikit memahami apa yang ada di tubuhnya. Apa yang menjadikannya begitu kosong. Ini melelahkan. Aku hanya bisa berharap, musim ini akan cepat berganti, agar hujan bisa membawanya kembali. Membawakan keteduhan untuk melumatkan segala mimpi dan fiksi yang melingkupinya.