Berulang
kali aku berusaha mengingat-ingat untaian kata yang genap kau perdengarkan. Saat
siang menjelang, ada ribuan jawaban yang beterbangan dalam angan-angan, namun
nyatanya aku hanya bisa diam dan mendengarkan. Aku tak ingin melewatkan satu
katapun dari kalimat-kalimat merdu yang kau utarakan. Untaian tentang betapa
kukuh dan rapuhnya dirimu. Ada gambaran jelas yang aku lihat, gambaran tentang
betapa lelahnya dirimu. Betapa kuatnya kau menegakkan kakimu. Dan betapa
kerasnya kau tempa hidupmu.
Aku ingin menuliskan untukmu, seuntai kata yang aku harap bisa meneduhkan luka-lukamu. Ingin sekali aku tuliskan untukmu, sebaris kalimat yang bisa merengkuh segenap keresahanmu. Seandainya saja waktu tak memburuku, akan aku habiskan sisa keinginanku untuk menggenapi jejak-jejak langkahmu. Mengisi sesudut saja sisa waktumu. Mengguratkan secuil remah bahagia di wajahmu. Dan jika aku mampu, duduk disampingmu hanya untuk mendengar berulang kisah resah tentang harimu.
Aku masih ingin menuliskannya untukmu. Menuliskan kisah tentang rindu untuk melihat tawamu. Tentang kerinduanku mencerna teduh suaramu. Menikmati jeda dalam tiap kalimat yang kita jelang bersama. Tapi, aku tak ingin menuliskan masa depanku. Karena aku ingin mengisahkan masa depan kita, bukan hanya masa depanku.