Selasa, 12 Juni 2018

Untuk Lelaki[ku]

Malam telah menjelang. Sepanjang hari selama berhari-hari aku terpikir untuk berkata-kata. Tapi tak satupun mampu aku ucapkan kepadamu. Disetiap malam, menunggu derap langkahmu datang, aku selalu terpikir. Mendapati diri telah menjadi bagian dari hidupmu. Aku telah memasuki duniamu. Selama 2 tahun terakhir, aku hamper tak menyadari bahwa kita telah terlibat begitu dekat sepanjang 2 tahun. Tapi tak satupun dalam satu hari, aku bisa berpikir utuh tentangmu. Aku tak pernah bisa selesai menjawab segala pertanyaan tentangmu. Kamu tahu kenapa itu bisa terjadi?

Aku tak pernah merasa yakin bahwa aku telah mengenalmu dengan baik. Aku tak pernah yakin tentang makanan apa yang kamu sukai. Juga tentang pakaian seperti apa yang kamu sukai. Atau tentang lelucon apa yang kamu gemari. Atau bahkan tentang penampilan seperti apa dariku yang kamu sukai. Aku tak pernah yakin tentang hal itu. Tapi aku selalu berusaha untuk memahamimu dengan baik semampuku. Setiap saat aku belajar tentangmu semampuku.  

Berulang kali aku selalu teringat perkataan orang itu. Orang yang dulu katamu “hanya mengaku-ngaku” mantanmu. Benar memang perkataannya, aku memang tak mengenalmu dengan baik. Tapi aku berusaha selalu belajar tentangmu. Dan karenanya, saat sekali ini aku dapati sebuah kenyataan bahwa ada hal yang kamu tutupi, aku kembali terpikir dan tertampar, bahwa aku memang benar-benar tak mengenalmu, sama seperti perkataanya. Itu membuatku sungguh merasa menyesali diriku sendiri. Aku merasa tak ada istimewanya aku, karena aku bahkan tak mampu mengenalmu dengan baik. Sesungguhnya akulah yang seharusnya paling tahu tentang dirimu, mengenali segala kebutuhanmu. Tapi, nyatanya, aku belum mampu. Dapatkah kau rasakan penyesalanku?

Aku tak bermaksud untuk membenarkan diriku. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku telah berusaha semampuku, menyamai keberadaanku di dekatmu. Juga telah berusaha semampuku untuk mengenali duniamu. Seandainya jika itu kamu anggap sepadan, dan jika sekiranya kamu mau membantuku, ijinkan aku untuk mengenalmu. Tuntun aku untuk mengenalmu. Aku tak akan sanggup mendobrak tembok pembatas tanpa kau bantu untuk melompatinya. Aku tak akan mampu memasuki duniamu tanpa kau bukakan pintu dalam dirimu. Sehingga tak akan lagi aku berpikir hanya tentang pikirku. Sehingga aku mampu mendampingi langkahmu. Bukankah itu tujuan utama kita?

Aku terlampau takut membuatmu terbebani. Karena aku bersamamu bukan untuk membebanimu. Aku memilih bersamamu karena aku tahu kamu yang akan melengkapiku. Dan aku sangat berharap kamu juga akan merasa bahwa kamu akan lengkap saat bersamaku. Selayaknya hal yang saling melengkapi, seharusnya kita mampu membenahi diri untuk selalu saling belajar satu sama lain. Aku tak pernah bisa meyakini anggapan orang bahwa sepasang adalah satu. Bagiku tidak. Karena sepasang adalah dua yang saling melengkapi. Jadi, tak akan pernah dua dijadikan satu. Karena jika demikian hanya akan menimbulkan benturan-benturan semata. Bukankah begitu?
Aku mungkin telah menuntutmu terlalu banyak. Lupakan jika itu menjadikanmu terbeban. Tapi, aku masih berharap kamu akan mengakui keberadaanku. Bukan tentang status. Tentu saja bukan. Ini tentang ‘rasa’. Aku berharap aku ada dan berguna bagimu. Aku berharap aku ada dan dijadikan ada olehmu. Dan karenanya aku akan merasa tetap istimewa dimatamu. Kendatipun bagi orang lain aku tak pernah mengenalmu dengan baik.


Karena aku mencintaimu, lelaki[ku]. Selalu.