Rabu, 21 November 2012

Hujan Tentang Musim Penghujan



.....hujan...
Kuperhatikan tetes air masih menempel di lantai rumahku.
angin bahkan membawanya masuk ke dalam kamarku.
.... hujan...
Aku masih mengingat dengan jelas, rasa saat hujan, saat aku telusuri tiap lekukan jalan..
tanjakan.. lalu ranting-ranting patah di jalanan.
yang paling bisa aku ingat adalah bau hujan.
Sekalipun dingin yang mesti tiap hari aku tahankan.
Aku rindu bau hujan.

Suara di telinga belum berhenti berteriak melantunkan nada-nada, lirik-lirik tak jelas dalam bahasa yang tak pernah aku pahami.
Tapi bau hujan, menemaniku ‘memahaminya’.
Memahami bahwa nyatanya, aku sedang berjalan sendirian.
Dingin.
Karena musim mungkin belum berdamai dengan kulitku.
Bahagia, karena nyatanya hujan yang satu-satu nya tak pernah meninggalkan tempatnya. Selalu berbagi teduh pada ranting, daun, dan ........aku.
 suatu hari, musim ini akan berhenti. Lalu tak akan ada hujan lagi. Tapi bukankah hujan tak akan pernah hilang?”
Aku suka hujan..
Aku suka bau hujan..
Aku suka caranya menyapa..
Sekalipun pernah ia menamparkan perih keras di kulit wajahku.
Aku suka udara dingin yang bersamanya. Aku suka.

Dan kali ini sudah musim penghujan lagi.
Tapi tiap musim tak akan pernah sama. Sekalipun musim yang sama.
Kau boleh menyebutnya siksaan, saat awal musim ini datang.
Terlebih untuk orang sepertiku.
Tapi tidak... meskipun ia menandai kedatanganya, dengan sesak tak terhankan.
Meskipun ia menandainya dengan sakit yang tak akan orang lain bayangkan.
Tapi, ini musim hujan..
Bukankah aku sudah belajar berdamai dengan rasa sakit...??
Ini hujan,,, musim hujan...
Dan aku suka..


Ruang... Remah... Berserakan




“direntang waktu yang berjejal dan memburai,
Kau berikan, sepasang tanganmu
Terbuka dan membiru, genggam..
Di gigir yang curam dan dunia tertinggal dalam membeku
Sungguh.. petang melesat dan udara yang terbakar jauh...”
Ku dengarkan.....
“... seperti tak kan pernah pulang, kau membias di udara
Dan terhempaskan cahaya
Seperti tak kan pernah pulang,
‘tuk langkahmu menarilah di jauh permukaan..”
Paragraf-paragraf,
ku perlihatkan..
meski dalam ruang-ruang samar.
Yang tak terbaca.. tak juga perlu kau baca..
 “tetapi, lelaki setengah gila itu pernah mencintaimu. dg kegelisahannya ketika bersamamu, sedangkan disaat yg sama mungkin saja dia ingin berkelana di tiap sudut kota tua itu, bergumul dg anak jalanan di luar sana. dg debar² ketika bersamamu, sedangkan disaat yg sama hatinya sedang dibakar amarah untuk kaum yg kalah. dg senyum mengembang ketika menyambutmu pulang, sedangkan mungkin saja dia sedang ingin terbang, mengejar hasrat yg timbul tenggelam. dia memang telah terkurung oleh kesabaranmu untuk mengerti betapa sulitnya dia, sedangkan dia sendiri tak pernah sabar untuk mengerti siapa dirinya. oleh kesediaanmu menerima tiap kebodohan yg dia lakukan, sedangkan dia sendiri tak pernah bisa menerima kebodohan² itu. dia terkurung, oleh sayap kebebasan yg kamu gantungkan ketika kamu menyuruhnya terbang, karena itu, ..kadang...sebagian jiwanya hanya ingin berada di sampingmu,

sungguh, sepertinya kamu memang lupa, lelaki yg kamu cintai adalah lelaki setengah gila, lelaki setengah gila yg pernah jatuh cinta padamu, dg hati…”
Nyata... semua tersimpan rapi.
Bahkan teramat rapi, dalam serakan berantakan.

Aku...
Yang tak terbaca, dalam sudut samar
Dalam ruang-ruang kamar,
Ruang... Remah..
Lalu.... kosong...
“....kau sakiti aku,, kau gerami aku
Kau sakiti, gerami, kau benci aku...”
Aku..
Hanyalah yang tak terbaca,
Yang kadang ada, di kemungkinan tak terlihat
“Hujan yang sepi. Mungkin ini hujan terakhir, hujan penghabisan.”
Dan...
Ku dengarkan...
Just want to say thank you, just want to see your smiling face
Already can't turn away, standing in front of my eyes
Want to tell you my happiness right now, and who is important for me at the moment
Thank you for ever meeting you
Trying to remember everything that's happening now, it’s hard for me
But no matter how many time I've stumble
I'll be the one here that describe it to you....”