Dear D...
Aku
menepi, dalam segenap yang aku miliki. Dari segala yang pernah aku miliki.
Kau
mungkin terpikir, aku akan ‘berhenti’. Tapi nyatanya aku ‘terhenti’.
Sekali
waktu aku berlari. Hanya mencoba bersembunyi.
Lalu menyadarkan diri, bahwa kamu adalah kamu.
Berhak
atas dirimu. Lalu aku....
Matahari
meninggi, mengusir gelap menepi.
Dan
D,,
Hari
ini, hari saat aku kembali pada sadar yang aku tutupi.
Pada
nyata yang aku ingkari.
Bahwa
aku,, sendiri.
Benar,
ini karena aku memilih.
Tapi
D,, aku simpankan ribuan kata dalam sadar yang aku ingkari.
Aku
simpankan kalimat-kalimat.
Dan
jika dunia tahu, dia akan meneriaki ku.
Mereka
akan menyeretku, mengikatku di tepi.
Di
pinggiran rel kenangan.
Kenanganmu.
Dan
sesungguhnya tak lah seberapa. Tidak pula mengapa.
Kamu
mungkin terpikir, aku akan segera berlari.
Tapi
nyatanya aku masih berdiri, dan sesekali,
Setiap
kali menyusuri rel yang mendampingi.
Menjejak
dan mengingat tiap palang, batangan kenangan.
Lalu
meringkuk dan menyadari aku sudah di tepi.
Dan
D,,
Cukup
sekali.
Kehilanganmu.
Ego
memaksaku, tak pula menginginkanku hilang.
Sekali,
aku telah kehilangan sahabatku.
Sahabat
yang selama 3 tahun mendengar ceritaku.
Menyemai
tiap sajakku dalam kalimat.
Sahabat
yang selalu memanggilku ‘dear’.
Dan
cukup sekali.
Aku
tak mau lagi.
Lalu
D,,
Beberapa
waktu lagi.
Akan
segera habis waktu ku. Dan aku bisa jadi akan tenggelam.
Terdesak
oleh semua kenangan baru, dalam ceruk ingatanmu.
Dan
sekali lagi harus kuakui itu.
Sesegera
mungkin harus aku sadarkan diriku.
Bahwa
aku, hanyalah aku.
Satu
langkah yang menjejak pada tiap batangan rel kenangan.
Menyeret
setumpuk mimpi yang tanpa aku sadari telah dan harus tergerus jalanan.
Aku
tertahan, D. Bahkan untuk sekedar menemukan celah menitipkan kalimat.
Aku
tertahan. Untuk sekedar menemukan tempat mengingat, diingat.
Tapi,
tak berarti aku akan berhenti.
Sekedar
membuatkan kenanganku celah.
Sekedar
menyampaikan lewat angin.
Lewat
sekumpulan kumparan.
Sebait
doa tentang bahagiamu.
Tentang
hari bahagiamu.
Di
hari jadimu.
Dan
jikalau celah itu mampu, jika angin tak merasa berat.
‘terima
kasih’ adalah titipanku berikutnya.
Kepadamu,
karena telah hadir. Dan tanpa penyesalan dalam pengakuan menyiapkan
batangan-batangan rel kenangan.
Lalu
kepada mereka, karena telah menghadirkanmu dalam waktuku. Dalam celah yang aku
tahu.
Dear
D,,
Aku
tuliskan dalam diam yang aku tahankan.
Bersinggungan
dengan segala riuh yang mengisi.
Dan
mungkin, kau pun membacanya dalam sepi.
Yang
sesekali menyediakan tempatnya.
Tempat
untuk keberadaanku.
Sekalipun
hanya sesekali. Tapi, aku syukuri itu ada.
Bahagia
untukmu, D.
|pss.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar