Selasa, 12 November 2013

Matamu, Perempuan

Hei perempuan,
Apa kamu tahu apa yang membuat aku tertuju padamu kali ini?
Sebuah kebetulan dari ribuan kebetulan yang ada.
Matamu.
Mata dengan warna yg tak sama atau bisa jadi sama dengan mata mereka.
Tapi tidak.
Ada rasa yg berbeda. Matamu berbeda.
Stop. Hentikan tanya yang selalu saja kamu lontarkan.
Kamu seperti perempuan dengan tanya. Tak pernahkah kamu lihat pada cermin.
Jawabanmu tersirat disana. Dalam sorot yang memantulkan ruang.
 

Aku mengenalmu dalam ketidaksengajaan yg telah tersurat.
Mungkin jadi, untuk melengkapi peran, lalu memenuhi ruang luas dalam hatimu.
Peran lain yg kau jadikan telingamu.
Peran lain yg kau jadikan pikiranmu.
Peran lain yg kau jadikan bagian dirimu.
Aku menyukai mata itu, perempuan. Matamu, mata perempuan.
Mata sendu yg selalu kamu kata telah mati sejak lama.
Kau hanya belum sadar saja, sendu, tapi tidak mati. Tidak pernah.
Aku melihatnya. Semenjak awal ruang itu membuatmu ada, aku tahu ada yg berbeda.
Kamu berbeda. Matamu berbeda.

Untaian-untaian yang semakin membuatku tak mampu jauh dari mata itu.
Mata dengan ruang yang teramat luas. Aku melihatnya, pada akhirnya.
Betapa luas juga lapang ruang yang ada di sana.
Sebuah ruang yang akan menempatkan orang tanpa sekat.
Ruang yang akan membuat orang tahu ttg ketulusan.
Aku membacamu, perempuan. Gelap yang kau simpan. Aku membaca pada akhirnya.
Tumpukan-tumpukan yang kau selipkan.
Dalam setiap kali kau jadikan dirimu berbeda. Aku selalu tahu kau berbeda.
Dan kau selalu istimewa.
Sekali waktu yang kau tunjukan sewaktu itu. Akhirnya membuat aku tahu.
Sebuah rute panjang yang sempat kau tahankan. Selalu kau tahankan.
Dan sungguh, lagi-lagi aku tersadar betapa luas juga lapang ruang yg ada dlm mata itu.
Kau selalu jadi perempuan tanya. Bisakah kau berhenti sejenak, lalu perhatikan mata itu?
Sejenak saja. Nikmati ini, dan terlebih karena kamu, istimewa.


(dedicate to: pemberi nama BE)

Senin, 11 November 2013

Saat Aku Menamaimu, Hujan

Hari ini November.
Tak akan jauh berbeda dengan bulan berakhiran –ber yang lain. Bulannya hujan. Tapi kali ini hujan datang terlambat. Sama terlambatnya dengan keberanianku. Berkata pada takut dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku ingat saat itu, hujan tiba-tiba datang, dalam riuh duniaku. Hujan yang tak pernah aku bayangkan akan singgah begitu saja.
Hujan yang memancing jariku untuk memetik kata-kata dari udara.

Kamu, hujan.
Saat itu, saat gelap bersamaku, juga kamu. Dalam ruangnya kamu pernah berkata, “lambangkan aku dalam dua kata bagimu”. Tersentak dengan tawa kecil dalam hatiku. Aku teringat, hujan.
Meresap jatuh menyeluruh. Aku petik kata-kata dalam udara.  Untuk kamu, hujan.
“Bukankah itu hanya satu kata?” protesmu. Senyumku pecah jadi tawa. Mungkin saja jika aku sedang diluar sana. Malam akan tertawa melihat tingkahku.
Hujan rintik,
Ketika aku tak sadar
Ketika aku juga basah oleh tampiasnya rintik hujan
Padahal aku tengah berteduh di bawah atap
Mulai aku hitung rintiknya
Begitu juga kau tak percaya
Ketika kita menghitungnya bersama
Apakah kau tahu berapa jumlah bulirnya?
Sehingga aku basah jua karenya.
Kulanjutkan pinjamanku pada malam ketika itu. Aku tahu akan ada senyum merekah di sebrang sana. Benar kan, hujan?

Kamu, hujan. Kamu, kerinduan.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan kunamai kamu, hujan.
Mungkin jadi aku telah terjebak dalam lingkaran kata-kataku sendiri. Selayaknya air, kamu meresap dalam tiap celah yang tersisa. Meresap, dan tak hanya singgah. Perlahan, tenang. Tak pernah kau buatkan riak. Menunggui riuh duniaku. Kamu benar-benar, tenang.
Aku takut. Duniaku akan menakutimu. Aku takut diriku tak akan mampu menampungmu. Aku benar-benar takut.
Bahkan duniaku mulai tak menampakkan gelombang. Jenuh mulai menyeluruh. Aku takut. Aku takut dengan diriku. Aku takut akan menyeret arusmu.
Aku siapkan diriku dalam pelarian. Menjauhi jenuh sebisaku. Dan kamu, masih di tempatmu.
Aku tahu, kali ini akan ada riak-riak halus dalam hatimu. Akan ada banyak kecewa kepadaku. Dan kamu benar. Aku ini tak ubahnya makhluk laknat. Yang mengotori arusmu.
Harusnya aku katakan kepadamu. Rintikmu masih sama.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan telah menyusupi tiap celah dalam diriku. Aku berlari dari duniaku, dari mu. Aku lelah.
Karena aku tahu, akan ada begitu banyak bulir yang akan kau luruhkan. Dan sesungguhnya itu menyesakkan. Sungguh.
Lagi-lagi  harus aku sadari, aku terjebak dalam kata-kataku. Aku namai kamu, hujan. Dan kamu yang nyatanya meresapi tiap celah yang tersisa. Tapi kamu, memang hujan.