Senin, 11 November 2013

Saat Aku Menamaimu, Hujan

Hari ini November.
Tak akan jauh berbeda dengan bulan berakhiran –ber yang lain. Bulannya hujan. Tapi kali ini hujan datang terlambat. Sama terlambatnya dengan keberanianku. Berkata pada takut dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku ingat saat itu, hujan tiba-tiba datang, dalam riuh duniaku. Hujan yang tak pernah aku bayangkan akan singgah begitu saja.
Hujan yang memancing jariku untuk memetik kata-kata dari udara.

Kamu, hujan.
Saat itu, saat gelap bersamaku, juga kamu. Dalam ruangnya kamu pernah berkata, “lambangkan aku dalam dua kata bagimu”. Tersentak dengan tawa kecil dalam hatiku. Aku teringat, hujan.
Meresap jatuh menyeluruh. Aku petik kata-kata dalam udara.  Untuk kamu, hujan.
“Bukankah itu hanya satu kata?” protesmu. Senyumku pecah jadi tawa. Mungkin saja jika aku sedang diluar sana. Malam akan tertawa melihat tingkahku.
Hujan rintik,
Ketika aku tak sadar
Ketika aku juga basah oleh tampiasnya rintik hujan
Padahal aku tengah berteduh di bawah atap
Mulai aku hitung rintiknya
Begitu juga kau tak percaya
Ketika kita menghitungnya bersama
Apakah kau tahu berapa jumlah bulirnya?
Sehingga aku basah jua karenya.
Kulanjutkan pinjamanku pada malam ketika itu. Aku tahu akan ada senyum merekah di sebrang sana. Benar kan, hujan?

Kamu, hujan. Kamu, kerinduan.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan kunamai kamu, hujan.
Mungkin jadi aku telah terjebak dalam lingkaran kata-kataku sendiri. Selayaknya air, kamu meresap dalam tiap celah yang tersisa. Meresap, dan tak hanya singgah. Perlahan, tenang. Tak pernah kau buatkan riak. Menunggui riuh duniaku. Kamu benar-benar, tenang.
Aku takut. Duniaku akan menakutimu. Aku takut diriku tak akan mampu menampungmu. Aku benar-benar takut.
Bahkan duniaku mulai tak menampakkan gelombang. Jenuh mulai menyeluruh. Aku takut. Aku takut dengan diriku. Aku takut akan menyeret arusmu.
Aku siapkan diriku dalam pelarian. Menjauhi jenuh sebisaku. Dan kamu, masih di tempatmu.
Aku tahu, kali ini akan ada riak-riak halus dalam hatimu. Akan ada banyak kecewa kepadaku. Dan kamu benar. Aku ini tak ubahnya makhluk laknat. Yang mengotori arusmu.
Harusnya aku katakan kepadamu. Rintikmu masih sama.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan telah menyusupi tiap celah dalam diriku. Aku berlari dari duniaku, dari mu. Aku lelah.
Karena aku tahu, akan ada begitu banyak bulir yang akan kau luruhkan. Dan sesungguhnya itu menyesakkan. Sungguh.
Lagi-lagi  harus aku sadari, aku terjebak dalam kata-kataku. Aku namai kamu, hujan. Dan kamu yang nyatanya meresapi tiap celah yang tersisa. Tapi kamu, memang hujan.

2 komentar:

  1. coba kau berlari menari-nari menerjang bulir2 itu...
    biarkan ketakutan itu luruh bersama riuhnya air hujan...
    lepaskan resahmu sampai hujan itu berhenti...
    dan akhirnya hanya sebuah senyuman yang tersisa...

    *diujung malam 11 november 2013

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha... bli adit ketularan bikin puisi.. hahaha....
      tp puisi di atas itu hanya kutipan e.. hehe

      Hapus