Tak akan jauh berbeda
dengan bulan berakhiran –ber yang
lain. Bulannya hujan. Tapi kali ini hujan datang terlambat. Sama terlambatnya
dengan keberanianku. Berkata pada takut dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku
ingat saat itu, hujan tiba-tiba datang, dalam riuh duniaku. Hujan yang tak
pernah aku bayangkan akan singgah begitu saja.
Hujan yang memancing
jariku untuk memetik kata-kata dari udara.
Kamu, hujan.
Saat itu, saat gelap
bersamaku, juga kamu. Dalam ruangnya kamu pernah berkata, “lambangkan aku dalam dua kata bagimu”. Tersentak dengan tawa kecil
dalam hatiku. Aku teringat, hujan.
Meresap jatuh menyeluruh. Aku
petik kata-kata dalam udara. Untuk kamu,
hujan.
“Bukankah
itu hanya satu kata?” protesmu. Senyumku pecah jadi tawa. Mungkin
saja jika aku sedang diluar sana. Malam akan tertawa melihat tingkahku.
Hujan
rintik,
Ketika
aku tak sadar
Ketika
aku juga basah oleh tampiasnya rintik hujan
Padahal
aku tengah berteduh di bawah atap
Mulai
aku hitung rintiknya
Begitu
juga kau tak percaya
Ketika
kita menghitungnya bersama
Apakah
kau tahu berapa jumlah bulirnya?
Sehingga
aku basah jua karenya.
Kulanjutkan pinjamanku
pada malam ketika itu. Aku tahu akan ada senyum merekah di sebrang sana. Benar kan,
hujan?
Kamu, hujan. Kamu,
kerinduan.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan
kunamai kamu, hujan.
Mungkin jadi aku telah
terjebak dalam lingkaran kata-kataku sendiri. Selayaknya air, kamu meresap
dalam tiap celah yang tersisa. Meresap, dan tak hanya singgah. Perlahan, tenang.
Tak pernah kau buatkan riak. Menunggui riuh duniaku. Kamu benar-benar, tenang.
Aku takut. Duniaku akan
menakutimu. Aku takut diriku tak akan mampu menampungmu. Aku benar-benar takut.
Bahkan duniaku mulai tak
menampakkan gelombang. Jenuh mulai menyeluruh. Aku takut. Aku takut dengan
diriku. Aku takut akan menyeret arusmu.
Aku siapkan diriku dalam
pelarian. Menjauhi jenuh sebisaku. Dan kamu, masih di tempatmu.
Aku tahu, kali ini akan
ada riak-riak halus dalam hatimu. Akan ada banyak kecewa kepadaku. Dan kamu
benar. Aku ini tak ubahnya makhluk laknat. Yang mengotori arusmu.
Harusnya aku katakan
kepadamu. Rintikmu masih sama.
Meresap jatuh menyeluruh. Dan
telah menyusupi tiap celah dalam diriku. Aku berlari dari duniaku, dari mu. Aku
lelah.
Karena aku tahu, akan ada
begitu banyak bulir yang akan kau luruhkan. Dan sesungguhnya itu menyesakkan. Sungguh.
Lagi-lagi harus aku sadari, aku terjebak dalam
kata-kataku. Aku namai kamu, hujan. Dan kamu yang nyatanya meresapi tiap celah
yang tersisa. Tapi kamu, memang hujan.
coba kau berlari menari-nari menerjang bulir2 itu...
BalasHapusbiarkan ketakutan itu luruh bersama riuhnya air hujan...
lepaskan resahmu sampai hujan itu berhenti...
dan akhirnya hanya sebuah senyuman yang tersisa...
*diujung malam 11 november 2013
hahaha... bli adit ketularan bikin puisi.. hahaha....
Hapustp puisi di atas itu hanya kutipan e.. hehe