Selasa, 30 Desember 2014

Waktu dan Kamu


Namanya Heru. Ketika aku kenalkan diriku, dia menyebut dirinya seniman. Tak ada alunan waktu yang akan memberitahuku dengan segera, bahwa apa yang aku tanam bersamanya harus segera aku tuai bersama kesunyian. Dawai yang hanya akan membawaku menghabiskan sisa kekuatanku untuk berdiri. Heru mungkin telah membangunkan sisa-sisa mimpinya. Ia mungkin saja telah bersama mimpinya.
Jalanan yang pernah sekali aku coba lalui bersamanya malam ini nampak lebih terang. Lampu-lampu di parkiran mulai diredupkan. Hanya sekedar ingin menikmati suasana dalam sunyi, aku kunjungi kenangan yang mungkin saja akan membawakan mimpi kembali. Satu per satu aku lalui tatapan mereka terhadapku. Sudut ruangan menjadi satu-satunya tempat yang ingin aku tuju. Telah aku sepakati kepada kawanku, bahwa hari ini akan aku sematkan kekagumanku pada guratan tangannya. Meski keputusan ini membawakan lagi segala ingatan yang pernah terkubur lama.

Musik mulai memutar. Alunan lembut membawa kerenyahan pada setiap pasang mata yang hadir di ruangan. Suara keras dari microphone mulai memperdengarkan tentang kalimat penjelasan panjang tetang acara yang membuatku berada di tengah-tengahnya. Mataku hanya bisa tertuju pada langit-langit ruangan, karena suasana ini terasa asing. Meski Heru pernah sekali dua kali membawaku ke tengah- tengahnya. Tetap saja, ini asing dan benar-benar bukan duniaku. Aku merasa seperti makhluk asing yang tiba-tiba ditempatkan di ruangan ini. Jika dulu ada genggaman hangat yang akan membuatku menapak pada kenyataan sehingga aku tak lagi merasai diri berbeda. Tidak untuk kali ini. Genggaman itu telah lenyap. Bersamaan dengan tetesan hujan yang mulai mengering.
Berada di sudut ini hanya akan membawaku kembali ke masaku sebelum tahun ini. Ke tahun dimana aku mulai mengenali dunia yang bahkan tak pernah aku bayangkan. Malam itu, aku pernah berada disini. Menyisi dalam kerumunan orang-orang asing dengan perbincangan yang terasa berbeda di telingaku. Dan Heru yang selalu memegangi tanganku seolah berkata "aku selalu bersamamu". Tak sekalipun terlintas keraguan untuk membuang kebersamaanku dengannya. Tapi nyatanya malam itu menjadi malam terakhir dalam ingatanku.

Kekokohan yang pernah aku perlihatkan serasa tak cukup untuk menopang gerusan keraguan dalam dirinya. Mungkin saja, karena aku berada di dunia yang berbeda. Tak bisa aku bayangkan betapa sakit yang akan seketika datang saat aku dapati diri sesungguhnya hanya sendirian. Heru, memilih menempatkan aku kembali ke duniaku. Satu hal yang tak serta merta ia tahu adalah duniaku mulai bercampur. Tak seperti memilih saluran televisi yang dengan hanya menekan satu tombol bisa menayangkan dunia yang berbeda. Ini tak sama. Ada ribuan kecewa yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Saat mimpi-mimpi yang dibangun, dirobohkan begitu saja.

"Hei, kau tak menikmati acaranya? Salah satu donatur tak seharusnya hanya duduk disudut seperti ini. Kemarilah. Mungkin nanti akan jadi lebih menyenangkan. Ada sesuatu untukmu malam ini." Kawanku menyapa dan menghampiri sudut tempat ku menepi.

Tak terlalu antusias, aku perhatikan kawanku mulai naik ke atas panggung. Menjalankan kewajibannya sebagai salah satu seniman yang menjadi sajian malam ini. Samar-samar aku perdengarkan namaku mulai disebut lewat pengeras suara. Semua mata secara bersamaan mulai memusatkan pandangan ke arahku. Ibarat seperti ditekan sebuah tombol untuk mengarahkan pandangan mereka ke arahku. Tepuk riuh yang tak jelas bisa aku mengerti mengantarku ikut dalam keriuhan panggung. Mereka mulai menanyai tentang mimpi-mimpi, tentang kesediaanku dengan acara ini.
 "Saya tak pernah bermimpi akan ikut berada disini. Tapi selang waktu yang telah berlalu pernah saya sematkan bahwa saya akan memberikan sebuah hadiah kepada seseorang yang pernah membangun dunianya bersama saya, mengenalkan tentang dunia kepada saya. Saya merasa tak bisa membalasnya. Jadi, ini adalah bentuk hadiah saya untuknya."
Semua memberikan tepuk tangan dengan riuh memekakkan telinga dan membuatku merasa tidak tepat berada di atas panggung. Ada hal yang menurutku agak berlebihan. Gitar dan mic mulai disiapkan untukku. Haruskah aku katakan tidak kepada mereka? Tapi mengingat bahwa sebuah penghargaan akan menjadi sangat berharga jika itu disampaikan dengan ketulusan. Maka aku bulatkan tekadku untuk sekedar menyampaikan hadiah kepadanya. Denting mulai berbunyi. Riuh yang sedari tadi merusak kesunyianku kini telah menepi. Mereka mulai memerhatikanku. Aku lanjutkan pada denting berikutnya. Meski suaraku tak seindah Rio Febrian, tapi tetap aku masuki kenangan dalam lantunan lagu yang telah aku mulai. Tanpa aku sadari, ada suara lain. Ada lantunan dengan nada sama yang kini mengalun seirama. Suaraku tercekat. Degupku tak lagi terkendali. Jatung seperti akan meloncat keluar. Suara ini, suara yang aku kenali, suara yang sudah lama aku rindui, suara Heru. Seketika tanganku berhenti memetik gitar. Kini yang bisa terdengar hanya suara langkahnya yang menyeruak dari kerumunan. Tubuh tinggi, dengan gestur yang masih sama. Seperti yang terpatri jelas dalam kenanganku. Jarak itu sepertinya kini telah lenyap hanya karena sebuah lagu.

Angin tiba-tiba terhenti. Sosok yang kini di hadapanku seperti menyibak segala ruang yang sedari tadi menelungkupiku.
 "Tidakkah kamu mau melanjutkan lagunya bersamaku?" 
Sebaris kalimat yang aku yakini untukku. Aku lantunkan sisa baris laguku bersamanya. Meski kini yang ada hanya tanda tanya. Kepalaku bahkan tak lagi bisa mencerna akan seperti apa aku jadinya. Degup jantungku bahkan belum berhenti bedegup kencang. Sampai pada denting terakhir, lirikan tanda tanya segenap mata mulai membuat ku tak nyaman.
"Adakah kali lain yang bisa aku habiskan untuk melantunkan lagu lain bersamamu? Malanjutkan lirik yang pernah terputus lama oleh jarak yang aku bangun untukmu. Adakah kali lain yang bisa aku gunakan untuk menyampaikan sebaris maafku kepadamu? Lalu memintamu merakit kembali mimpi-mimpi yang pernah aku bangun? Waktu mengantarkanku pada kesadaranku bahwa setapak yang mesti aku lalui itu, adalah kamu. Waktu membangunkanku dari lamunan yang membuatku jatuh berulang kali dalam kesunyian ruang. Adakah tersisa setitik yang kamu simpan untuk dapat menggenapi bagianku yang lama hilang. Jarak ini membuatku sadar, bahwa ini tak akan berguna jika bukan kamu."

Setitik bulir mulai membuat luruh benteng yang telah aku bangun sampai malam ini.

Kamis, 18 Desember 2014

Aku Bersama Waktu

Aku memulai langkah ketika tak seorangpun tahu dan mendengarku. Ada lantunan nada panjang yang diperdengarkan ke telinga. Meski beberapa terasa sumbang tapi aku yakin itu dilantunkan oleh yang menjadi ahli suara. Ketika dicipta sebuah lantunan akan selalu ada tinggi rendah, atau bahkan akan ada halus dan kasar. Seperti hari ini, siapa sangka langkah yang aku jelang menjadi begitu dangkal, semua berlalu singkat. Tak seorangpun akan menyangka bahwa aku bahkan masih bisa tersenyum dan menyambut mereka. 

Daun pintu perlahan aku buka. Seperti pelannya aku tutupi letup dan riak dalam dadaku. Udara tak lagi aku hirup sama. Mataku tak juga kembali membayang terang. Entah sejak kapan langit dan sekelilingku jadi terlihat berbeda. Langit seperti selalu berkabut. Yang terpampang di depan mataku semuanya abu-abu. Aku memang selalu penasaran. Pun dengan perjalanan sederhana yang tiba-tiba terjadi begitu saja. 
Palang pintu telah aku lewati. Perlahan tapi jelas. Tak sekalipun aku melakukannya dengan tergesa-gesa. Karena aku tahu waktu tak akan pernah terburu-buru. Terlalu panjang jika aku runut titiknya satu per satu. Tetapi itu tak pernah menjadi hal yang mustahil. Kau akan dan telah terbiasa untuk tidak percaya. Merunut waktu? Siapapun tak akan mempercayainya. Waktu menjadi hal yang paling abstrak dan tak tertebak, sekaligus menjadi hal yang paling nyata dan setia. 'Saat' dan 'ketika' adalah kunci untukku memulainya. 'Saat' dan 'ketika' yang membantuku melakukannya. 

Aku selalu percaya waktu menyediakan ruang untukku. Menuntun harap dan keyakinan yang selalu aku jaga. Sekali itu, aku sempat memberitahukan padamu. Saat sekali waktu menyediakan ruang untuk aku bisa melihatmu. Kali ini pun masih sama. Waktu kembali menuntunku dalam ruang yang dijadikannya hanya terlihat abu-aabu, dia membawamu. Aku melihatmu tepat di ujung tangga. Berdiri kokoh dibawah seberkas sinar. 

"Kemarilah." 
Kau bahkan berucap dan mengulurkan tanganmu. Waktu tentu sangat tahu betapa dalam rindu yang menenggelamkanku. Aku tak berani memastikan bahwa hal yang sama akan berlaku padamu. Tapi ada bonus yang disajikan waktu untukku, aku tahu itu, senyummu. Senyum yang selalu menjadi tujuanku. Senyum yang menjadikan damai sekeliling ruangmu. Meski ragu, aku percayakan langkahku kepada waktu, kepadamu. Jalan ini tak pernah terasa asing. Tentu tidak jika itu selalu bersamamu. 
Aku perhatikan sekelilingku. Gedung-gedung ini. Ada ribuan potong yang dirakit waktu dalam barisan kenanganku, sehingga dengan apik ia bisa menggambarkan kepadaku. Dinding-dinding gelap, menggantung sebingkai gambar yang memusatkan mataku. Aku tahu, sangat-sangat tahu itu goresan tangaanmu. Kumpulan titik-titik, guratan garis sejajar dan melengkung. Jika itu dirimu, aku berharap kamu benar-benar akan terlahir kembali, seperti apa yang kamu sematkan disana. Terlahir kembali untuk merasai lagi, memulai rasa lagi. Dan membuatmu lupa bahwa kamu pernah lupa tentangku. 

Ternyata waktu merengkuhku begitu erat. Menghadirkanmu, guratan tanganmu, senyummu. Kamu tahu seberapa dalam waktu telah menyimpan kerinduanku? 
Kali ini kamu akan tahu dengan jelas. Kamu akan merasainya dengan seksama. 
Kau lihat betapa sesungguhnya aku tak pernah dapat mengendalikan diriku?
Bahuku bergetar. Dadaku sesak. Ada yang membuncah saat kamu mulai merengkuhku erat. Tak ada lagu yang akan membendung airmataku kali ini, tidak di dadamu. Biarkan saja isakku tetap di sebelah telingamu, sehingga kamu akan dapat merasai betapa tak terkendalinya aku dalam selubung waktu. Mulai sadarkah kamu, sehingga matamu basah mengikuti runtutan waktuku? Dan dalam rengkuhanku.