Kamis, 18 Desember 2014

Aku Bersama Waktu

Aku memulai langkah ketika tak seorangpun tahu dan mendengarku. Ada lantunan nada panjang yang diperdengarkan ke telinga. Meski beberapa terasa sumbang tapi aku yakin itu dilantunkan oleh yang menjadi ahli suara. Ketika dicipta sebuah lantunan akan selalu ada tinggi rendah, atau bahkan akan ada halus dan kasar. Seperti hari ini, siapa sangka langkah yang aku jelang menjadi begitu dangkal, semua berlalu singkat. Tak seorangpun akan menyangka bahwa aku bahkan masih bisa tersenyum dan menyambut mereka. 

Daun pintu perlahan aku buka. Seperti pelannya aku tutupi letup dan riak dalam dadaku. Udara tak lagi aku hirup sama. Mataku tak juga kembali membayang terang. Entah sejak kapan langit dan sekelilingku jadi terlihat berbeda. Langit seperti selalu berkabut. Yang terpampang di depan mataku semuanya abu-abu. Aku memang selalu penasaran. Pun dengan perjalanan sederhana yang tiba-tiba terjadi begitu saja. 
Palang pintu telah aku lewati. Perlahan tapi jelas. Tak sekalipun aku melakukannya dengan tergesa-gesa. Karena aku tahu waktu tak akan pernah terburu-buru. Terlalu panjang jika aku runut titiknya satu per satu. Tetapi itu tak pernah menjadi hal yang mustahil. Kau akan dan telah terbiasa untuk tidak percaya. Merunut waktu? Siapapun tak akan mempercayainya. Waktu menjadi hal yang paling abstrak dan tak tertebak, sekaligus menjadi hal yang paling nyata dan setia. 'Saat' dan 'ketika' adalah kunci untukku memulainya. 'Saat' dan 'ketika' yang membantuku melakukannya. 

Aku selalu percaya waktu menyediakan ruang untukku. Menuntun harap dan keyakinan yang selalu aku jaga. Sekali itu, aku sempat memberitahukan padamu. Saat sekali waktu menyediakan ruang untuk aku bisa melihatmu. Kali ini pun masih sama. Waktu kembali menuntunku dalam ruang yang dijadikannya hanya terlihat abu-aabu, dia membawamu. Aku melihatmu tepat di ujung tangga. Berdiri kokoh dibawah seberkas sinar. 

"Kemarilah." 
Kau bahkan berucap dan mengulurkan tanganmu. Waktu tentu sangat tahu betapa dalam rindu yang menenggelamkanku. Aku tak berani memastikan bahwa hal yang sama akan berlaku padamu. Tapi ada bonus yang disajikan waktu untukku, aku tahu itu, senyummu. Senyum yang selalu menjadi tujuanku. Senyum yang menjadikan damai sekeliling ruangmu. Meski ragu, aku percayakan langkahku kepada waktu, kepadamu. Jalan ini tak pernah terasa asing. Tentu tidak jika itu selalu bersamamu. 
Aku perhatikan sekelilingku. Gedung-gedung ini. Ada ribuan potong yang dirakit waktu dalam barisan kenanganku, sehingga dengan apik ia bisa menggambarkan kepadaku. Dinding-dinding gelap, menggantung sebingkai gambar yang memusatkan mataku. Aku tahu, sangat-sangat tahu itu goresan tangaanmu. Kumpulan titik-titik, guratan garis sejajar dan melengkung. Jika itu dirimu, aku berharap kamu benar-benar akan terlahir kembali, seperti apa yang kamu sematkan disana. Terlahir kembali untuk merasai lagi, memulai rasa lagi. Dan membuatmu lupa bahwa kamu pernah lupa tentangku. 

Ternyata waktu merengkuhku begitu erat. Menghadirkanmu, guratan tanganmu, senyummu. Kamu tahu seberapa dalam waktu telah menyimpan kerinduanku? 
Kali ini kamu akan tahu dengan jelas. Kamu akan merasainya dengan seksama. 
Kau lihat betapa sesungguhnya aku tak pernah dapat mengendalikan diriku?
Bahuku bergetar. Dadaku sesak. Ada yang membuncah saat kamu mulai merengkuhku erat. Tak ada lagu yang akan membendung airmataku kali ini, tidak di dadamu. Biarkan saja isakku tetap di sebelah telingamu, sehingga kamu akan dapat merasai betapa tak terkendalinya aku dalam selubung waktu. Mulai sadarkah kamu, sehingga matamu basah mengikuti runtutan waktuku? Dan dalam rengkuhanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar