Sabtu, 21 Juli 2018

Surat Kecil Tentang Kejujuran

Telah aku hitung setapak demi setapak dalam sudut kecil yang aku telusuri. tak ada ruang lagi untukku bersembunyi. Aku ingin lari, tapi aku memilih untuk bersembunyi. tak ada yang tahu, tak juga ada yang membaca. Tidak. Tak ada yang benar-benar bisa. Sekeliling aku perhatikan dengan seksama. Dalam bulir yang selalu saja ada. Aku perhatikan tak pernah ada satupun yang sama. Ruang lama yang aku ciptakan ini tak akan pernah lelah. Tak pernah jugaada jengah. Ruang ini hanya, sunyi.

Satu per satu rumput aku cermati. Bulir-bulir embun teduh masih meluruh. Daun-daun kuning mulai mengering. Tapi lagi-lagi tak ada jengah. Aku tak ingin merusak nya. Ruang ini terlalu sunyi. Perlahan aku sadari, kadang aku membutuhkan sunyi ini. Kadang aku mesti memilih untuk menepi. Tapi bukan berarti aku akan kuat dengan diriku sendiri. Nyatanya aku memilih lari lalu bersembunyi. 

Sekumpulan rindu mulai membaur. Dalam ruang sunyi ini, mungkin rindu tak akan bisa mati. Jadi tak akan aku tahan ia untuk membaur dan menari. 
"Hei, tidakkah kau ingin duduk sejenak saja? kemarilah. Akan aku bawakan seteguk yang kau inginkan. Kemarilah, rebahkan sejenak dan biarkan saja semua membaur, itu akan sangat indah. Aku tahu lukamu sudah meminta untuk berhenti."
Angin mulai menyapaku. Kata-katanya benar. Lukaku memang sudah meminta untuk berhenti. Aku ingin berhenti. Tentu saja aku ingin berhenti. Ini memang benar-benar sudah melelahkan.
"Aku lelah. Ruangmu sunyi dan selalu lapang, tapi aku masih merasa sesak."
Aku mulai menepi dan memejamkan mataku. Bulir-bulir ini belum mau berhenti.  Lelah ini memaksaku berhenti.
"Bicaralah. Aku tahu kamu sangat lelah. Jadi bicaralah."
Kalimat itu yang ingin sekali aku dengarkan darinya. Kalimat meneduhkan yang sederhana. Bukan bungkam yang membuatku selalu menebak-nebak runyam. Seketika aku merasa luruh. Sendi ku mulai melunak.aku terduduk. Tertunduk.
"Apa kau telah membaca lukaku selama ini? Ahhh.. jika saja dia sepertimu, mungkin ini tak akan jadi menyesakkan . Sesungguhnya ini benar-benar tak tertahankan. Setiap kali, aku masih menangisi diriku sendiri. Mendengarnya, Menyebut namanya, secuil apapun tentangnya seperti menusukkan jarum ke dalam luka menganga. Aku tahu aku kuat, maka tetap aku tahankan kakiku di depannya. Aku ingin percaya diriku memang kuat."
"Sesungguhnya, aku tak pernah meminta dia untuk membuat tembok tinggi dengan siapapun. Tidak. Tentu saja, aku tidak ingin mengekang kebebasannya. Tak sekalipun, dengan siapapun aku tak pernah mengekang kebebasan seseorang terlebih dengan ia yang aku sayangi. Aku hanya ingin mempercayai diriku kuat. Untuk sekedar mendengarkan kejujuran. Aku akan kuat."
"Tapi aku telah terluka. Ya. Kali ini aku terluka lagi. Kebohongannya melukaiku. Melukai harga diriku. Melukai kepercayaan diriku. Aku sangat terluka. Karena ini harus aku ulangi lagi. Luka yang sama, tipuan yang sama."
"Ada banyak hal yang pada akhirnya memutar-mutar di kepalaku. muncul hilang terbayang-bayang. Pernah terpikir bahwa ia masih ingin mengikat tali bersamanya. meski bukan kasih. Terpikir pula dalam kepalaku, mereka memiliki hal yang terlalu indah untuk dibuang begitu saja. Bagaimana tidak, 6 tahun tidak akan serta merta dapat dibuang begitu saja. Diakui atau tidak, yang ada di kepalaku adalah jauh dalam lubuk hati nya masih ada ketidakrelaan untuk melepas. Iya, karenanya, saat datang kesempatan untuk masih tetap menjalin ikatan meski bukan kasih, ia jalankan. Aku tak akan pernah bermaksud mengungkit masa-masa menyakitkannya. Tidak. Karena aku tahu itu akan melukainya. Tapi, bukan berarti ia boleh menipuku, bukan?"
"Aku tak berani menuduhnya. Karena aku tahu itu akan menyakitinya. Tapi kenyataannya adalah mereka berkait dibelakangku, tanpa merasa perlu memberitahu ku. Sesungguhnya aku telah tahu, sedari awal kepalaku sudah tahu. Tapi aku masih cukup umtuk tetap bersabar menunggu kejujuran. Bodohkah? mungkin. Tapi itu, karena aku masih menghormati mereka."
Aku tak lagi mampu menahan semuanya. Angin membiarkanku berdiam lama.
"Mungkin Tuhan ingin menguatkan kasih diantara kalian. Percayalah."
Tentu saja aku mempercayainya. Aku yakin dengan rencanaNya.
"Aku ingin dikuatkan. aku sudah terlalu lelah. Di tempatku hanya sendirian. Aku ingin sekali memenangkan ego ku dan berkata padanya bahwa aku benar-benar terluka. Aku tak ingin ia berkait lagi dengan siapapun di masa lalunya, di belakangku. Aku ingin kembali menyembuhkan lukaku. Menyembuhkan rasa percaya diriku."
Aku terisak. tak lagi tertahan. semua telah keluar.
"Menangislah. Karena Tuhan memberimu air mata. Aku masih akan tetap bersamamu. Selalu." 
  

Sabtu, 14 Juli 2018

Untaian Waktu

Ada ribuan hari telah terlewati. Jejak-jejak samar telah lama aku tinggalkan. Setapak yang aku lalui masih berlanjut panjang. Semilir angin masih saja setia bersamaku. Seperti janjinya terdahulu. H anya saja kadang aku terlalu kelu. Untuk sekedar menyambanginya atau bercengkrama. Tak perlu lagi sore hari. Tak penting lagi saat pagi hari. Waktu membaur terlalu cepat. aku tak lagi dapat mengenali batasan ruang yang pernah aku buat sendiri. 

Satu per satu langkah aku hitung kembali. Mungkin angin menyadari akan apa yang aku bawa kali ini. Ia yang selalu saja menepati janji. 
"Aku selalu bersamamu. Bukankah itu janjiku? aku tahu,apa yang menyeretmu kali ini. tapi kamu tak perlu takut. berjalan saja terus. aku masih tetap akan bersamamu."
Aku menoleh kepadanya. Kepada ia yang tak berbayang sekalipun samar. ia tak pernah sekalipun membuatku merasa sendirian.  Aku selalu tahu, dia akan selalu menerimaku.
"aku menemukannya. menemukan ia yang 'menormalkan'ku. ia yang menerimaku. tapi aku harus dibuat yakin bahwa ia akan mengerti bahasa diamku. bahwa ia yang akan memahami kegilaanku. bahwa ia juga yang akan mengendalikan kecemasanku."
Singkat, aku ingin mengatakannya secara singkat. Tapi angin jauh lebih tahu bahwa tak pernah ada hal singkat dalam setapak yang aku telusuri. setiap langkah yang aku mulai selalu ia cermati. ia sangat tahu itu bukan hal mudah untuk aku lewati.
"aku tak pernah memaksanya untuk menjadi apa yang aku gambarkan. seperti hal nya kamu yang tak pernah aku gambar. entahlah, aku seperti mulai tak berbayang. aku tak pernah jelas bisa mengerti."
Sunyi. Angin belum menjawabku. Ia hanya memerhati setiap langkahku. Untaian demi untaian langkah yang aku jelang, mengibaskan kepadanya. Kecemasan. Keraguan. Terbersit secuil keegoisan nampak  samar tersingkap dalam bayangan gelapku. Ia pasti telah membacanya dengan baik. 

Daun-daun mulai berguguran. Tak lagi jelas musim yang kini aku sambangi. Tapi daun-daun ini tak sekalipun pernah berhenti. ia akan tetap berguguran. Jatuh diatas rambut dan kepala ku. meski sering rantingnya menyentuh kulitku, aku tak sekalipun mendapati diriku luka karenanya. Tidak. tentu bukan karena ranting-ranting kecil itu. 

Sejenak aku menoleh ke arah kakiku. Masih saja sama. Tetap sama. Tanpa suara dan alas apa-apa. Hanya luka. Meski sempat sembuh berbekas luka yang lama. Hanya menyisakan tempat untuk luka baru pada kakiku.
"sakitkah? aku tahu lukamu bahkan belum sembuh. Tapi bukankah setapak ini memang telah kau tahu berbatu? jadi jangan sekalipun kau takut untuk terluka lagi. sepanjang kamu masih mampu melangkahinya, setapak ini bukanlah apa-apa. Lukamu akan sembuh, tapi jangan terkejut jika nanti akan ada luka baru lagi. ingat saja bahwa setapak ini setapak milikmu. aku masih memegang janjiku terdahulu. aku akan selalu bersamamu."
Senyum samar, sepertinya memang ruang ini satu-satunya tempat aku diterima. Langit bahkan dengan apik memayungi kecemasanku. Angin bahkan selalu memeluk lembut pundak ku. 
"kali ini mungkin butuh waktu yang lebih lama. Luka ini membekas pada luka yang lama. Tergores sedikit demi sedikit. Haruskah kerikil ini kamu sapukan?"
 Tak ada yang menyahut. Karena aku memang tak benar-benar menunggu jawaban. Langit masih saja diam. Setapak ini masih panjang. Aku cukup tahu bahwa angin masih tetap akan menemaniku. Menyusuri setapak panjang berbatu.