Sabtu, 14 Juli 2018

Untaian Waktu

Ada ribuan hari telah terlewati. Jejak-jejak samar telah lama aku tinggalkan. Setapak yang aku lalui masih berlanjut panjang. Semilir angin masih saja setia bersamaku. Seperti janjinya terdahulu. H anya saja kadang aku terlalu kelu. Untuk sekedar menyambanginya atau bercengkrama. Tak perlu lagi sore hari. Tak penting lagi saat pagi hari. Waktu membaur terlalu cepat. aku tak lagi dapat mengenali batasan ruang yang pernah aku buat sendiri. 

Satu per satu langkah aku hitung kembali. Mungkin angin menyadari akan apa yang aku bawa kali ini. Ia yang selalu saja menepati janji. 
"Aku selalu bersamamu. Bukankah itu janjiku? aku tahu,apa yang menyeretmu kali ini. tapi kamu tak perlu takut. berjalan saja terus. aku masih tetap akan bersamamu."
Aku menoleh kepadanya. Kepada ia yang tak berbayang sekalipun samar. ia tak pernah sekalipun membuatku merasa sendirian.  Aku selalu tahu, dia akan selalu menerimaku.
"aku menemukannya. menemukan ia yang 'menormalkan'ku. ia yang menerimaku. tapi aku harus dibuat yakin bahwa ia akan mengerti bahasa diamku. bahwa ia yang akan memahami kegilaanku. bahwa ia juga yang akan mengendalikan kecemasanku."
Singkat, aku ingin mengatakannya secara singkat. Tapi angin jauh lebih tahu bahwa tak pernah ada hal singkat dalam setapak yang aku telusuri. setiap langkah yang aku mulai selalu ia cermati. ia sangat tahu itu bukan hal mudah untuk aku lewati.
"aku tak pernah memaksanya untuk menjadi apa yang aku gambarkan. seperti hal nya kamu yang tak pernah aku gambar. entahlah, aku seperti mulai tak berbayang. aku tak pernah jelas bisa mengerti."
Sunyi. Angin belum menjawabku. Ia hanya memerhati setiap langkahku. Untaian demi untaian langkah yang aku jelang, mengibaskan kepadanya. Kecemasan. Keraguan. Terbersit secuil keegoisan nampak  samar tersingkap dalam bayangan gelapku. Ia pasti telah membacanya dengan baik. 

Daun-daun mulai berguguran. Tak lagi jelas musim yang kini aku sambangi. Tapi daun-daun ini tak sekalipun pernah berhenti. ia akan tetap berguguran. Jatuh diatas rambut dan kepala ku. meski sering rantingnya menyentuh kulitku, aku tak sekalipun mendapati diriku luka karenanya. Tidak. tentu bukan karena ranting-ranting kecil itu. 

Sejenak aku menoleh ke arah kakiku. Masih saja sama. Tetap sama. Tanpa suara dan alas apa-apa. Hanya luka. Meski sempat sembuh berbekas luka yang lama. Hanya menyisakan tempat untuk luka baru pada kakiku.
"sakitkah? aku tahu lukamu bahkan belum sembuh. Tapi bukankah setapak ini memang telah kau tahu berbatu? jadi jangan sekalipun kau takut untuk terluka lagi. sepanjang kamu masih mampu melangkahinya, setapak ini bukanlah apa-apa. Lukamu akan sembuh, tapi jangan terkejut jika nanti akan ada luka baru lagi. ingat saja bahwa setapak ini setapak milikmu. aku masih memegang janjiku terdahulu. aku akan selalu bersamamu."
Senyum samar, sepertinya memang ruang ini satu-satunya tempat aku diterima. Langit bahkan dengan apik memayungi kecemasanku. Angin bahkan selalu memeluk lembut pundak ku. 
"kali ini mungkin butuh waktu yang lebih lama. Luka ini membekas pada luka yang lama. Tergores sedikit demi sedikit. Haruskah kerikil ini kamu sapukan?"
 Tak ada yang menyahut. Karena aku memang tak benar-benar menunggu jawaban. Langit masih saja diam. Setapak ini masih panjang. Aku cukup tahu bahwa angin masih tetap akan menemaniku. Menyusuri setapak panjang berbatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar