Minggu, 13 Agustus 2023

Aku Hanya Kecewa


Aku ingat, dulu sekali aku pernah melewati jalanan ini. Dalam ingatanku, padang ilalangnya tinggi. Rimbun, hijau, kuning kecoklatan terhampar sangat luas dimataku. 

Iya, itu dahulu sekali. Jalanan ini pun masih sama. Samar-samar, aku masih mengigatnya. 

Cahaya matahari saat itu mengintip melalu celah-celah pohon di atasnya. Udara sejuk mulai dingin. Batu tebing tinggi di sisi timur. 


Dahulu sekali, aku menemanimu di jalanan ini. 

Apa kau juga mengingatnya?

Pohon besar tempat kita berteduh dan beristirahat?

Bercengkrama untuk sesaat. 

Satu persatu kenangan itu datang.


Setelah beberapa dekade terlewati, gambaran padang ilalang ini tak akan berubah. Setidaknya dalam ingatanku. 

Kamu dan tanganmu.

Kamu dan senyummu.

Kamu dan…


Bolehkah aku berkata jujur sekarang?

Aku sempat terbuai dengan angin yang lembut pagi itu. 

Aku terpesona dengan rimbun dan lapang padang ilalang kala itu. 

Tapi aku lupa, aku telah mengabaikan firasatku.


Perlahan aku tapaki jalanan ini bersamamu.

Perlahan dan perlahan. 

Tawamu masih terngiang dalam benakku.

Tapi ada satu hal yang mengganjal ingatanku kala itu. 

Aku, tak mengingat tanganmu menggenggamku.


Jalanan itu berdebu. 

Aku bahkan sampai berjinjit-jinjit agar tak membuat debu di kakiku beterbangan.

Entah apa yang ada dalam benakku kala itu.

Entah apa pula yang ada dalam benakmu saat itu.

Kita berjalan, perlahan-lahan, 

Dan tak beriringan.

Apa kau mengingatnya?

Mungkin ini yang telah aku abaikan.

Firasat yang tak akan pernah ingkar. 

Karena sampai saat ini, kita tak pernah beriringan. 


Kau saat itu selalu berkata, bahwa kau berharap aku bisa menerimamu apa adanya dirimu. 

Iya, dan aku janjikan itu. 

Sampai saat ini pun aku jaga janjiku. 

Namun tetap saja. 

Sekuat apapun aku menjaga janjiku, tetap saja jalanan ini akan tetap sama. Akan tetap berdebu. Dan jalan kitapun tak akan pernah beriringan. 

Aku bukan tak mau menerima mu apa adanya. Tapi aku hanya kecewa karena kamu yang tak menerimaku apa adanya.

Selasa, 28 April 2020

Sabtu, 21 Juli 2018

Surat Kecil Tentang Kejujuran

Telah aku hitung setapak demi setapak dalam sudut kecil yang aku telusuri. tak ada ruang lagi untukku bersembunyi. Aku ingin lari, tapi aku memilih untuk bersembunyi. tak ada yang tahu, tak juga ada yang membaca. Tidak. Tak ada yang benar-benar bisa. Sekeliling aku perhatikan dengan seksama. Dalam bulir yang selalu saja ada. Aku perhatikan tak pernah ada satupun yang sama. Ruang lama yang aku ciptakan ini tak akan pernah lelah. Tak pernah jugaada jengah. Ruang ini hanya, sunyi.

Satu per satu rumput aku cermati. Bulir-bulir embun teduh masih meluruh. Daun-daun kuning mulai mengering. Tapi lagi-lagi tak ada jengah. Aku tak ingin merusak nya. Ruang ini terlalu sunyi. Perlahan aku sadari, kadang aku membutuhkan sunyi ini. Kadang aku mesti memilih untuk menepi. Tapi bukan berarti aku akan kuat dengan diriku sendiri. Nyatanya aku memilih lari lalu bersembunyi. 

Sekumpulan rindu mulai membaur. Dalam ruang sunyi ini, mungkin rindu tak akan bisa mati. Jadi tak akan aku tahan ia untuk membaur dan menari. 
"Hei, tidakkah kau ingin duduk sejenak saja? kemarilah. Akan aku bawakan seteguk yang kau inginkan. Kemarilah, rebahkan sejenak dan biarkan saja semua membaur, itu akan sangat indah. Aku tahu lukamu sudah meminta untuk berhenti."
Angin mulai menyapaku. Kata-katanya benar. Lukaku memang sudah meminta untuk berhenti. Aku ingin berhenti. Tentu saja aku ingin berhenti. Ini memang benar-benar sudah melelahkan.
"Aku lelah. Ruangmu sunyi dan selalu lapang, tapi aku masih merasa sesak."
Aku mulai menepi dan memejamkan mataku. Bulir-bulir ini belum mau berhenti.  Lelah ini memaksaku berhenti.
"Bicaralah. Aku tahu kamu sangat lelah. Jadi bicaralah."
Kalimat itu yang ingin sekali aku dengarkan darinya. Kalimat meneduhkan yang sederhana. Bukan bungkam yang membuatku selalu menebak-nebak runyam. Seketika aku merasa luruh. Sendi ku mulai melunak.aku terduduk. Tertunduk.
"Apa kau telah membaca lukaku selama ini? Ahhh.. jika saja dia sepertimu, mungkin ini tak akan jadi menyesakkan . Sesungguhnya ini benar-benar tak tertahankan. Setiap kali, aku masih menangisi diriku sendiri. Mendengarnya, Menyebut namanya, secuil apapun tentangnya seperti menusukkan jarum ke dalam luka menganga. Aku tahu aku kuat, maka tetap aku tahankan kakiku di depannya. Aku ingin percaya diriku memang kuat."
"Sesungguhnya, aku tak pernah meminta dia untuk membuat tembok tinggi dengan siapapun. Tidak. Tentu saja, aku tidak ingin mengekang kebebasannya. Tak sekalipun, dengan siapapun aku tak pernah mengekang kebebasan seseorang terlebih dengan ia yang aku sayangi. Aku hanya ingin mempercayai diriku kuat. Untuk sekedar mendengarkan kejujuran. Aku akan kuat."
"Tapi aku telah terluka. Ya. Kali ini aku terluka lagi. Kebohongannya melukaiku. Melukai harga diriku. Melukai kepercayaan diriku. Aku sangat terluka. Karena ini harus aku ulangi lagi. Luka yang sama, tipuan yang sama."
"Ada banyak hal yang pada akhirnya memutar-mutar di kepalaku. muncul hilang terbayang-bayang. Pernah terpikir bahwa ia masih ingin mengikat tali bersamanya. meski bukan kasih. Terpikir pula dalam kepalaku, mereka memiliki hal yang terlalu indah untuk dibuang begitu saja. Bagaimana tidak, 6 tahun tidak akan serta merta dapat dibuang begitu saja. Diakui atau tidak, yang ada di kepalaku adalah jauh dalam lubuk hati nya masih ada ketidakrelaan untuk melepas. Iya, karenanya, saat datang kesempatan untuk masih tetap menjalin ikatan meski bukan kasih, ia jalankan. Aku tak akan pernah bermaksud mengungkit masa-masa menyakitkannya. Tidak. Karena aku tahu itu akan melukainya. Tapi, bukan berarti ia boleh menipuku, bukan?"
"Aku tak berani menuduhnya. Karena aku tahu itu akan menyakitinya. Tapi kenyataannya adalah mereka berkait dibelakangku, tanpa merasa perlu memberitahu ku. Sesungguhnya aku telah tahu, sedari awal kepalaku sudah tahu. Tapi aku masih cukup umtuk tetap bersabar menunggu kejujuran. Bodohkah? mungkin. Tapi itu, karena aku masih menghormati mereka."
Aku tak lagi mampu menahan semuanya. Angin membiarkanku berdiam lama.
"Mungkin Tuhan ingin menguatkan kasih diantara kalian. Percayalah."
Tentu saja aku mempercayainya. Aku yakin dengan rencanaNya.
"Aku ingin dikuatkan. aku sudah terlalu lelah. Di tempatku hanya sendirian. Aku ingin sekali memenangkan ego ku dan berkata padanya bahwa aku benar-benar terluka. Aku tak ingin ia berkait lagi dengan siapapun di masa lalunya, di belakangku. Aku ingin kembali menyembuhkan lukaku. Menyembuhkan rasa percaya diriku."
Aku terisak. tak lagi tertahan. semua telah keluar.
"Menangislah. Karena Tuhan memberimu air mata. Aku masih akan tetap bersamamu. Selalu." 
  

Sabtu, 14 Juli 2018

Untaian Waktu

Ada ribuan hari telah terlewati. Jejak-jejak samar telah lama aku tinggalkan. Setapak yang aku lalui masih berlanjut panjang. Semilir angin masih saja setia bersamaku. Seperti janjinya terdahulu. H anya saja kadang aku terlalu kelu. Untuk sekedar menyambanginya atau bercengkrama. Tak perlu lagi sore hari. Tak penting lagi saat pagi hari. Waktu membaur terlalu cepat. aku tak lagi dapat mengenali batasan ruang yang pernah aku buat sendiri. 

Satu per satu langkah aku hitung kembali. Mungkin angin menyadari akan apa yang aku bawa kali ini. Ia yang selalu saja menepati janji. 
"Aku selalu bersamamu. Bukankah itu janjiku? aku tahu,apa yang menyeretmu kali ini. tapi kamu tak perlu takut. berjalan saja terus. aku masih tetap akan bersamamu."
Aku menoleh kepadanya. Kepada ia yang tak berbayang sekalipun samar. ia tak pernah sekalipun membuatku merasa sendirian.  Aku selalu tahu, dia akan selalu menerimaku.
"aku menemukannya. menemukan ia yang 'menormalkan'ku. ia yang menerimaku. tapi aku harus dibuat yakin bahwa ia akan mengerti bahasa diamku. bahwa ia yang akan memahami kegilaanku. bahwa ia juga yang akan mengendalikan kecemasanku."
Singkat, aku ingin mengatakannya secara singkat. Tapi angin jauh lebih tahu bahwa tak pernah ada hal singkat dalam setapak yang aku telusuri. setiap langkah yang aku mulai selalu ia cermati. ia sangat tahu itu bukan hal mudah untuk aku lewati.
"aku tak pernah memaksanya untuk menjadi apa yang aku gambarkan. seperti hal nya kamu yang tak pernah aku gambar. entahlah, aku seperti mulai tak berbayang. aku tak pernah jelas bisa mengerti."
Sunyi. Angin belum menjawabku. Ia hanya memerhati setiap langkahku. Untaian demi untaian langkah yang aku jelang, mengibaskan kepadanya. Kecemasan. Keraguan. Terbersit secuil keegoisan nampak  samar tersingkap dalam bayangan gelapku. Ia pasti telah membacanya dengan baik. 

Daun-daun mulai berguguran. Tak lagi jelas musim yang kini aku sambangi. Tapi daun-daun ini tak sekalipun pernah berhenti. ia akan tetap berguguran. Jatuh diatas rambut dan kepala ku. meski sering rantingnya menyentuh kulitku, aku tak sekalipun mendapati diriku luka karenanya. Tidak. tentu bukan karena ranting-ranting kecil itu. 

Sejenak aku menoleh ke arah kakiku. Masih saja sama. Tetap sama. Tanpa suara dan alas apa-apa. Hanya luka. Meski sempat sembuh berbekas luka yang lama. Hanya menyisakan tempat untuk luka baru pada kakiku.
"sakitkah? aku tahu lukamu bahkan belum sembuh. Tapi bukankah setapak ini memang telah kau tahu berbatu? jadi jangan sekalipun kau takut untuk terluka lagi. sepanjang kamu masih mampu melangkahinya, setapak ini bukanlah apa-apa. Lukamu akan sembuh, tapi jangan terkejut jika nanti akan ada luka baru lagi. ingat saja bahwa setapak ini setapak milikmu. aku masih memegang janjiku terdahulu. aku akan selalu bersamamu."
Senyum samar, sepertinya memang ruang ini satu-satunya tempat aku diterima. Langit bahkan dengan apik memayungi kecemasanku. Angin bahkan selalu memeluk lembut pundak ku. 
"kali ini mungkin butuh waktu yang lebih lama. Luka ini membekas pada luka yang lama. Tergores sedikit demi sedikit. Haruskah kerikil ini kamu sapukan?"
 Tak ada yang menyahut. Karena aku memang tak benar-benar menunggu jawaban. Langit masih saja diam. Setapak ini masih panjang. Aku cukup tahu bahwa angin masih tetap akan menemaniku. Menyusuri setapak panjang berbatu.

Selasa, 12 Juni 2018

Untuk Lelaki[ku]

Malam telah menjelang. Sepanjang hari selama berhari-hari aku terpikir untuk berkata-kata. Tapi tak satupun mampu aku ucapkan kepadamu. Disetiap malam, menunggu derap langkahmu datang, aku selalu terpikir. Mendapati diri telah menjadi bagian dari hidupmu. Aku telah memasuki duniamu. Selama 2 tahun terakhir, aku hamper tak menyadari bahwa kita telah terlibat begitu dekat sepanjang 2 tahun. Tapi tak satupun dalam satu hari, aku bisa berpikir utuh tentangmu. Aku tak pernah bisa selesai menjawab segala pertanyaan tentangmu. Kamu tahu kenapa itu bisa terjadi?

Aku tak pernah merasa yakin bahwa aku telah mengenalmu dengan baik. Aku tak pernah yakin tentang makanan apa yang kamu sukai. Juga tentang pakaian seperti apa yang kamu sukai. Atau tentang lelucon apa yang kamu gemari. Atau bahkan tentang penampilan seperti apa dariku yang kamu sukai. Aku tak pernah yakin tentang hal itu. Tapi aku selalu berusaha untuk memahamimu dengan baik semampuku. Setiap saat aku belajar tentangmu semampuku.  

Berulang kali aku selalu teringat perkataan orang itu. Orang yang dulu katamu “hanya mengaku-ngaku” mantanmu. Benar memang perkataannya, aku memang tak mengenalmu dengan baik. Tapi aku berusaha selalu belajar tentangmu. Dan karenanya, saat sekali ini aku dapati sebuah kenyataan bahwa ada hal yang kamu tutupi, aku kembali terpikir dan tertampar, bahwa aku memang benar-benar tak mengenalmu, sama seperti perkataanya. Itu membuatku sungguh merasa menyesali diriku sendiri. Aku merasa tak ada istimewanya aku, karena aku bahkan tak mampu mengenalmu dengan baik. Sesungguhnya akulah yang seharusnya paling tahu tentang dirimu, mengenali segala kebutuhanmu. Tapi, nyatanya, aku belum mampu. Dapatkah kau rasakan penyesalanku?

Aku tak bermaksud untuk membenarkan diriku. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku telah berusaha semampuku, menyamai keberadaanku di dekatmu. Juga telah berusaha semampuku untuk mengenali duniamu. Seandainya jika itu kamu anggap sepadan, dan jika sekiranya kamu mau membantuku, ijinkan aku untuk mengenalmu. Tuntun aku untuk mengenalmu. Aku tak akan sanggup mendobrak tembok pembatas tanpa kau bantu untuk melompatinya. Aku tak akan mampu memasuki duniamu tanpa kau bukakan pintu dalam dirimu. Sehingga tak akan lagi aku berpikir hanya tentang pikirku. Sehingga aku mampu mendampingi langkahmu. Bukankah itu tujuan utama kita?

Aku terlampau takut membuatmu terbebani. Karena aku bersamamu bukan untuk membebanimu. Aku memilih bersamamu karena aku tahu kamu yang akan melengkapiku. Dan aku sangat berharap kamu juga akan merasa bahwa kamu akan lengkap saat bersamaku. Selayaknya hal yang saling melengkapi, seharusnya kita mampu membenahi diri untuk selalu saling belajar satu sama lain. Aku tak pernah bisa meyakini anggapan orang bahwa sepasang adalah satu. Bagiku tidak. Karena sepasang adalah dua yang saling melengkapi. Jadi, tak akan pernah dua dijadikan satu. Karena jika demikian hanya akan menimbulkan benturan-benturan semata. Bukankah begitu?
Aku mungkin telah menuntutmu terlalu banyak. Lupakan jika itu menjadikanmu terbeban. Tapi, aku masih berharap kamu akan mengakui keberadaanku. Bukan tentang status. Tentu saja bukan. Ini tentang ‘rasa’. Aku berharap aku ada dan berguna bagimu. Aku berharap aku ada dan dijadikan ada olehmu. Dan karenanya aku akan merasa tetap istimewa dimatamu. Kendatipun bagi orang lain aku tak pernah mengenalmu dengan baik.


Karena aku mencintaimu, lelaki[ku]. Selalu.

Jumat, 21 Oktober 2016

Aku Hanya Menulis Untukmu


Perlahan-lahan alur jalan ini membuat aku terpikir, bahwa ada rahasia besar yang dari dulu disiapkan oleh waktu untukku. Bagaimana tidak, betapa apiknya dia menyimpan dan menyiapkan kisah. Selama apapun dan sepanjang apapun alur yang dia buat tetap saja rahasia hanya menjadi rahasianya.

Pada akhirnya aku dibuat percaya bahwa semua akan tetap berjalan sesuai rencanaNya. Aku, yang sering kali mengingkari. Yang selalu saja tak ingin mengakui. Hari ini dibuat bungkam tak lagi mampu meminta apa-apa. Aku dibuat percaya bahwa jeda panjang yang Dia buat memang untuk mempersiapkan diriku. Mempersiapkan yang terbaik yang aku butuhkan. Siapa yang akan bisa menebaknya? Kau juga mungkin tak akan pernah mengiranya. Begitu panjang jeda yang dibuatkan untuk kita. Nyatanya itu membuat kita siap. Segala bentuk persinggahan. Segala bentuk penantian. Semua disiapkan dengan sempurna. Sangat sempurna. Sehingga saat telah tiba waktunya, aku dihadapkan pada dia yang aku butuhkan. Aku dihadapkan pada, kamu. Jika saja, waktu tak menempaku begitu lama, aku mungkin tak akan sekuat ini. Jika saja sakit tak singgah begitu lama, mungkin saja aku tak pernah tahu apa yang sesungguhnya aku butuhkan.

Tapi saat ini, seketika saja aku dihadapkan padamu. Seketika itu pula keyakinan itu muncul. Keyakinan bahwa waktu telah berjalan sesuai rutenya. Bahwa alur yang pernah aku ingkari pada akhirnya memang harus dilalui.  Suatu hari nanti, jika ada ragu yang membebanimu duduk dan coba pilah segala yang ada dalam pikiranmu. Karena ini bukan lagi tentang seberapa sering ucapan yang aku ucapkan dihadapanmu, tapi tentang seberapa halus bisa kau resapi apa yang aku tanamkan di dalam dirimu. Karena aku tak mampu memberimu ucapan. Yang mampu aku berikan hanya sebentuk pengabdian. Dan itu aku tanamkan dalam diriku.