Aku ingat, dulu sekali aku pernah melewati jalanan ini. Dalam ingatanku, padang ilalangnya tinggi. Rimbun, hijau, kuning kecoklatan terhampar sangat luas dimataku.
Iya, itu dahulu sekali. Jalanan ini pun masih sama. Samar-samar, aku masih mengigatnya.
Cahaya matahari saat itu mengintip melalu celah-celah pohon di atasnya. Udara sejuk mulai dingin. Batu tebing tinggi di sisi timur.
Dahulu sekali, aku menemanimu di jalanan ini.
Apa kau juga mengingatnya?
Pohon besar tempat kita berteduh dan beristirahat?
Bercengkrama untuk sesaat.
Satu persatu kenangan itu datang.
Setelah beberapa dekade terlewati, gambaran padang ilalang ini tak akan berubah. Setidaknya dalam ingatanku.
Kamu dan tanganmu.
Kamu dan senyummu.
Kamu dan…
Bolehkah aku berkata jujur sekarang?
Aku sempat terbuai dengan angin yang lembut pagi itu.
Aku terpesona dengan rimbun dan lapang padang ilalang kala itu.
Tapi aku lupa, aku telah mengabaikan firasatku.
Perlahan aku tapaki jalanan ini bersamamu.
Perlahan dan perlahan.
Tawamu masih terngiang dalam benakku.
Tapi ada satu hal yang mengganjal ingatanku kala itu.
Aku, tak mengingat tanganmu menggenggamku.
Jalanan itu berdebu.
Aku bahkan sampai berjinjit-jinjit agar tak membuat debu di kakiku beterbangan.
Entah apa yang ada dalam benakku kala itu.
Entah apa pula yang ada dalam benakmu saat itu.
Kita berjalan, perlahan-lahan,
Dan tak beriringan.
Apa kau mengingatnya?
Mungkin ini yang telah aku abaikan.
Firasat yang tak akan pernah ingkar.
Karena sampai saat ini, kita tak pernah beriringan.
Kau saat itu selalu berkata, bahwa kau berharap aku bisa menerimamu apa adanya dirimu.
Iya, dan aku janjikan itu.
Sampai saat ini pun aku jaga janjiku.
Namun tetap saja.
Sekuat apapun aku menjaga janjiku, tetap saja jalanan ini akan tetap sama. Akan tetap berdebu. Dan jalan kitapun tak akan pernah beriringan.
Aku bukan tak mau menerima mu apa adanya. Tapi aku hanya kecewa karena kamu yang tak menerimaku apa adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar