(Untuk malaikat tempatNya menitipkanku)
Matahari meninggi..
Lampu-lampu taman, deru kendaraan.
Guratan-guratan kenangan.
Apa kau melihatnya, ayah?
Semua puzzle yang mencoba aku rangkaikan. Potongan-potongan tentang sedih, tangis, duka juga bahagia. Aku tahu, dan pernah aku lihat dalam matamu. Resah yang menderu dalam hatimu. Aku tahu, ayah. Aku tahu. Tapi yang kau tak tahu, adalah tentang ‘dalam diriku’. Tak pernah ada tanyamu.
Aku membaca bisumu. Menelaah dan mengumpulkan resah dalam matamu. Tak pula aku pernah dengan tanyaku. Hanya ’membaca’. Karena itu yang mampu aku lakukan. Dan itu yang membuatkanku pagar tinggi. Mengurung diriku dalam batas yang mungkin bisa kau sebut ‘aman’.
Aku menyayangimu.
Tak sekalipun pernah aku katakan itu padamu. Bukankah itu kedurhakaanku?
Tapi ayah, lebih dari apapun, aku ingin tak pernah ada kekecewaan dalam dirimu, tentangku. Dan itu caraku menyayangimu.
Sekali, kau pernah membiarkan aku berjalan meniti pinggiran dalam batas dunia. Batas antara duniaku, dunia kita dan juga dunianya. Dunia yang sama sekali belum pernah kau kenali.
Aku jatuh, ayah. Dan kau melihatku jatuh. Terlalu dalam. Teramat dalam sesungguhnya.
Sekalipun aku katakan ‘tak apa’ padamu, tapi aku tahu, kau melihat lukaku.
Sama, seperti beberapa saat lalu, saat kau mencoba mengingatkanku untuk tak lagi meniti pagar tinggi. Pagar terlalu tinggi yang coba aku lompati saat itu.
Pagar antara batas mimpi yang mencoba aku buat lagi. Tapi aku ternyata teramat menyayangimu. Aku hapus semua jejak mimpiku. Ku kembalikan duniaku padamu.
Padamu, ayah.
Dan sekali lagi, aku kurung diri ku dalam pagar. Tak lagi mencoba untuk mengumpulkan mimpi. Aku terlalu takut. Suatu hari mimpiku itu harus aku hapus lagi. Jadi bukankah lebih baik tak aku buat lagi?
Aku terlalu takut. Kau akan melihatku terjatuh, lagi.
Akan ada celah dalam waktu nanti, saat aku akan mengecewakanmu, sekali lagi. Dan aku hanya menunggu itu. Menunggu garis-garis penuh di dahiku. Garis-garis yang Ia tulis saat itu. Aku berusaha sebaik yang aku mampu. Untuk tak membuat kecewa yang terlalu dalam padamu saat tiba waktuku nanti. Jadi, aku memilih berdiam, duduk, dan menunggu waktuku tiba dalam pagar ini lagi.
Benar. Tak akan ada orang yang mampu menyayangiku seperti caramu menyayangiku. Tapi, ayah. Pasti ada orang yang akan menyayangiku, dengan caranya. Dengan cara yang bahkan aku pun tak tahu.
Dan sampai saat itu tiba, aku hanya akan duduk di tempatku. Dalam pagarku. Menunggui entah apa. Dan hanya mengumpulkan semua potongan-potongan gambar yang Ia perlihatkan padaku. Potongan-potongan yang bahkan tak pernah aku tunjukkan padamu.
Tapi ayah, ujung jalanku tak pernah ada yang tahu. Sekalipun mencoba aku berbelok. Menghindar. Nyatanya aku hanya harus kembali lagi ke awal. Bukankah hidup ini hanyalah sebentuk pengulangan? Jadi akan aku jalani lagi. Harus aku jalani lagi. Bersama rasa yang tak pernah aku minta juga yang tak mampu aku hindari.
Aku tuliskan ini, karena aku tak tahu cara yang lebih baik untuk bercerita padamu. Dan karena aku terlalu pengecut untuk bercerita padamu. Tidak. Jika hanya akan membuatmu kecewa padaku. Tidak ayah.
Aku tak berharap apa-apa.
Tapi akan aku terima, apa yang memang harus aku terima. Karena hanya itu yang mampu dan aku punya. “penerimaan”.
Matahari meninggi..
Lampu-lampu taman, deru kendaraan.
Guratan-guratan kenangan.
Apa kau melihatnya, ayah?
Semua puzzle yang mencoba aku rangkaikan. Potongan-potongan tentang sedih, tangis, duka juga bahagia. Aku tahu, dan pernah aku lihat dalam matamu. Resah yang menderu dalam hatimu. Aku tahu, ayah. Aku tahu. Tapi yang kau tak tahu, adalah tentang ‘dalam diriku’. Tak pernah ada tanyamu.
Aku membaca bisumu. Menelaah dan mengumpulkan resah dalam matamu. Tak pula aku pernah dengan tanyaku. Hanya ’membaca’. Karena itu yang mampu aku lakukan. Dan itu yang membuatkanku pagar tinggi. Mengurung diriku dalam batas yang mungkin bisa kau sebut ‘aman’.
Aku menyayangimu.
Tak sekalipun pernah aku katakan itu padamu. Bukankah itu kedurhakaanku?
Tapi ayah, lebih dari apapun, aku ingin tak pernah ada kekecewaan dalam dirimu, tentangku. Dan itu caraku menyayangimu.
Sekali, kau pernah membiarkan aku berjalan meniti pinggiran dalam batas dunia. Batas antara duniaku, dunia kita dan juga dunianya. Dunia yang sama sekali belum pernah kau kenali.
Aku jatuh, ayah. Dan kau melihatku jatuh. Terlalu dalam. Teramat dalam sesungguhnya.
Sekalipun aku katakan ‘tak apa’ padamu, tapi aku tahu, kau melihat lukaku.
Sama, seperti beberapa saat lalu, saat kau mencoba mengingatkanku untuk tak lagi meniti pagar tinggi. Pagar terlalu tinggi yang coba aku lompati saat itu.
Pagar antara batas mimpi yang mencoba aku buat lagi. Tapi aku ternyata teramat menyayangimu. Aku hapus semua jejak mimpiku. Ku kembalikan duniaku padamu.
Padamu, ayah.
Dan sekali lagi, aku kurung diri ku dalam pagar. Tak lagi mencoba untuk mengumpulkan mimpi. Aku terlalu takut. Suatu hari mimpiku itu harus aku hapus lagi. Jadi bukankah lebih baik tak aku buat lagi?
Aku terlalu takut. Kau akan melihatku terjatuh, lagi.
Akan ada celah dalam waktu nanti, saat aku akan mengecewakanmu, sekali lagi. Dan aku hanya menunggu itu. Menunggu garis-garis penuh di dahiku. Garis-garis yang Ia tulis saat itu. Aku berusaha sebaik yang aku mampu. Untuk tak membuat kecewa yang terlalu dalam padamu saat tiba waktuku nanti. Jadi, aku memilih berdiam, duduk, dan menunggu waktuku tiba dalam pagar ini lagi.
Benar. Tak akan ada orang yang mampu menyayangiku seperti caramu menyayangiku. Tapi, ayah. Pasti ada orang yang akan menyayangiku, dengan caranya. Dengan cara yang bahkan aku pun tak tahu.
Dan sampai saat itu tiba, aku hanya akan duduk di tempatku. Dalam pagarku. Menunggui entah apa. Dan hanya mengumpulkan semua potongan-potongan gambar yang Ia perlihatkan padaku. Potongan-potongan yang bahkan tak pernah aku tunjukkan padamu.
Tapi ayah, ujung jalanku tak pernah ada yang tahu. Sekalipun mencoba aku berbelok. Menghindar. Nyatanya aku hanya harus kembali lagi ke awal. Bukankah hidup ini hanyalah sebentuk pengulangan? Jadi akan aku jalani lagi. Harus aku jalani lagi. Bersama rasa yang tak pernah aku minta juga yang tak mampu aku hindari.
Aku tuliskan ini, karena aku tak tahu cara yang lebih baik untuk bercerita padamu. Dan karena aku terlalu pengecut untuk bercerita padamu. Tidak. Jika hanya akan membuatmu kecewa padaku. Tidak ayah.
Aku tak berharap apa-apa.
Tapi akan aku terima, apa yang memang harus aku terima. Karena hanya itu yang mampu dan aku punya. “penerimaan”.