Pagi masih belum berkata apa-apa.
Ketika aku tempatkan pada jendela.
Sebuah ingin yang sederhana.
Sesederhana saat aku tempatkan muka didepan kaca.
Lalu masihkah itu di sana? Di depan jendela.
Bukan lagi tentang apa yang ingin dikata.
Jika nyatanya ia yang bahkan sesungguhnya tak menjadi apa-apa memberi khianat tanpa tanda.
Aku membaca. Dan sesungguhnya bukan untuk jadi buta.
Menyedihkan. Sungguh-sungguh menyedihkan.
Lebih dari saat memberi sedih pada perpisahan dengan kematian.
Sungguh yang kujadikan nyata.
Nalar yang sebelumnya sudah membaca.
Tentang khianat yang mungkin saja menjerat.
Tapi bukan lagi tentang kata-kata.
Bukan lagi tentang hanya kira-kira.
Ini nyata.
Saat sederhana, tak lagi menjadikannya sederhana.
Saat sadar yang hanya menjadikannya nanar.
Bukan pula nalar.
Kali ini giliranku.
Kujadikan giliranku. Dijadikan giliranku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar