Kamis, 24 Oktober 2013

Alur dalam Lorong

Alur ini berbeda. Air juga tak pernah mengalir sama. Aku melihatmu. Berjalan dalam sepi yang kamu tutupi. Menyibak lalu membingkai dunia dengan piguramu. Melalui matamu. Yang kau gantungkan di lehermu, dan terkadang di lenganmu. Aku melihatmu. Ada nyeri yang kadang kamu rasakan. Tapi kali itu, aku melihatmu. Mengurain menjuntai langkah ke arah berbeda. Tak parnah jadi searah angin. Kamu melihat lingkaranku?
Arah yang dilindungi alur angin. Arah yang dibingkai lingkaran dingin. Kamu melihatku. Dalam sunyi suara angin memberitahuku. Tentangmu. Tentang yang membuatmu terpaku disitu. Apa kamu bertanya padanya tentang aku? Tentang mata, lorong memori ini? Kau tak akan tahu saat berdiri di situ. Mata ini aku tutup. Tak kubiarkan secuil pun cahaya menyibaknya. Tidak juga untukmu. Kamu mungkin tak akan mengerti itu. Suara angin yang tiap kali menyerapah kepadamu.

"Lorong ini aku jadikan mati. Aku hanya tak mau memori ini terbagi. Ia hanya akan tetap disini. Jadi lorong ini sepi. Lalu kujadikan mati."
Kau tak akan mendengarnya dari mulutku. Pun jika kamu masuk dan memaksa kelopak pada lorong-lorong sepi. Ini tetap 'mati'. Kau bahkan belum sampai di tepi lingkaran. Apa jadinya saat kamu memasuki alur kosong?

"Duniaku ada di ujung sana. Di sudut tanpa nama. Dan aku telah menitipkannya di sana. Alur-alur, bulir di atas daun. Lalu ku tutup itu, mati. Memejam agar aku kirimkan cahaya yang selamanya akan aku simpan, di sana."
Akankah kamu mendengarkan diamku itu? Kamu mungkin tak akan mengerti mengapa. Sama dengan tak mengertinya kamu pada kalimat-kalimat yang aku utarakan melalui angin. Jadi kamu tak akan bisa tahu nikmat mati yang aku selami. Memejam untuk menyimpan dia. Cahayanya. Kamu juga tak akan mengerti arah dalam lorong mati ini. Karena kamu bahkan tak melirik tanda dalam kelam. Kamu bisa jadi hanya akan terbenam olehnya. Alur dalam lubang tanpa tepi, mati. Lorong memori tentang rasa yang tak sengaja akan ia baca. Semoga.

2 komentar: