Jumat, 30 Mei 2014

Surat Untuk, D.

Untuk D.

Matahari meninggi. Bagaimana keadaanmu? Adakah hujan menyapamu lagi?
Agaknya ribuan doa telah terakumulasi di dalam kotaknya. Pandora yang sedari dulu kamu, dan aku simpan dalam benak kita (*semoga masih ada 'kita'). Tak pernah aku bayangkan, bahwa hujan akan menyapa kita bersamaan. Saat beberapa tahun lalu yang mampu aku kenang dalam benakku hanyalah kata-kata.
Aku tak begitu pandai untuk berucap terimakasih pada waktu. Karena ia mengantarkan aku pada sebuah titik dimana aku dapat bersamamu. Aku terlalu takut untuk mengharap itu kepada waktu. Sungguh, aku merasa lancang untuk meminta banyak untuk diriku.

Aku merasa terpisah dari diriku, entah mulai kapan itu terjadi. Tapi beberapa hari ini, aku merasa kamu telah menjagaku. Dalam pelarianku terhadap diriku, kamu menjagaku. Aku merasa sangat berharga berada disampingmu. Kamu mungkin tak akan pernah menangkapnya, ungkapan yang kadang keluar tak jelas dari mulutku. Tapi kamu mendengarnya. Hal itu sangat berharga untukku. Seperti saat kamu duduk dan memandangi senja bersamaku. Tak pernah sekalipun aku membayangkan akan ada senja yang begitu berbeda dalam benakku. Tapi sore itu, aku benar-benar merasai keberadaanmu. Adakah kamu juga merasai hal semacam itu?

Aku dibuat lupa sejenak tentang pelarianku. Tentang resah yang selalu menghantuiku, tentang bosan yang segera membunuhku. Kamu, yang lompat tak jelas arah dihadapanku. Tersenyum tak karuan di sebelah sudut mataku, dan kamu yang menarik sembarangan hidungku, kamu, yang membuatku bersama lupa. Adakah kamu penasaran?
Malam setelah kepergianmu, aku dibuat tersadar bahwa betapa sayangnya Tuhan padaku, pada kamu. Dibuatkannya sebuah titik untuk kita. Memberikan jeda pada alur yang ia buatkan. Sekedar untuk dapat menggandeng tanganmu. Memerhatikan gerak jalanmu.

Dan,, D.
Aku sungguh-sungguh tersentak, ada rasa sesak yang tiba-tiba muncul dalam dadaku. Menerima bahwa ini hanya akan kamu jadikan mimpi. Tapi, memang benar katamu, ini harus dijadikan mimpi yang terlalu indah untuk dibuat jadi nyata. Aku, juga kamu punya kewajiban lebih besar dari sekedar menyampaikan kerinduan yang lama kita simpan. Kewajiban untuk menjaga lebih banyak hati di sekitar kita.
itu adalah kenyataanya. Saat subuh aku terjaga, memilah-milah apa yang harus aku perbuat selanjutnya. dan sampai sekarang aku tak benar-benar mendapatkan jawaban. Hanya saja, aku akan mengikuti caramu berpikir tentang mereka yang kita sayangi. Aku hanya bisa bangkit, dan menjalankan semuanya seperti biasanya.

Tapi, ada hal yang sekiranya aku harapkan untuk kamu tahu. Aku akan sangat merindukan saat jemari kita bertaut. Aku akan jadi sangat rindu saat hujan menjadikan kita basah kuyup. Dan aku akan jadi sangat rindu saat kamu melompat dan mendengarkanku menontoni senja.
Kamu ingat tempat ini, D?
ini akan selalu ada dalam ingatanku, seperti juga keberadaanmu di kursi itu...

D,
Dimana pun keberadaanku setelah ini, aku akan tetap ditempatku. Aku pernah janjikan itu padamu. Aku tetap di tempatku.

Rabu, 21 Mei 2014

Embun

Malam selalu gelap saat dia memandangi cermin dalam kosong. Suara-suara tak lalu membuatnya gaduh. Ada banyak bayangan yang melayang meliuk-liuk berlomba untuk tampil di depan matanya. Tak sedikitpun ada rasa takut di wajahnya. Selimut tetap menutupi kedua kaki hingga batas dadanya. Ada kalanya ia berharap, selimut itu akan mampu meembuat hatinya bersembunyi untuk waktu yang lama. Seperti induk ayam yang sedang mengerami telurnya. Sekiranya dalam waktu tertentu, hatinya akan keluar dan tumbuh lagi menjadi hati yang baru.

Embun masih saja mengingat-ngingat tentang sebuah masa yang pernah ia lalui dalam selang yang telah berlangsung lama. Nafasnya tak lagi ia tahan. Beberapa kali bahkan ia hembuskan panjang, sepanjang lipatan memori yang selalu coba ia bentangkan. Perlahan-lahan ia gerakan tangan dan jarinya. Menggapai-gapai ruang dalam kosong. Mencoba meraih sisa masa yang mungkin disimpan oleh gelap dalam kamarnya. Beberapa waktu terakhir, itu menjadi hal yang ia sukai. Beradu dalam gelap membuatnyaa nyaman. Mendengarkan sekecil-kecilnya suara yang ada. Memilah-milah pikiran yang ia punya. Satu-satunya hal yang masih ia punya.

Ia telah, pada akhirnya, merasai kehilangan. Seperti kelereng yang melesat cepat dari tangan dan tak sempat untuk ia tangkap. Orang lain tak akan paham sebagaimana gelap membantunya mengerti tentang diri. Tidak juga akan ada yang melihatnya, sebagaimana gelap selalu memeluknya nyaman. Memberinya ruang untu sekedar melepas sesal yang tak tertahankan. Betapa tidak, Embun teramat menyesalinya. Ada kalimat-kalimat yang hanya akan meluncur ketika ia berhadapan dengan gelap. Ada tangis yang akan seketika pecah saat ia dipeluk erat oleh ingatan. Tapi ia, masih berusaha untuk tetap dalam keadaan tersadar bahwa ia, Embun.

"Katanya, aku adalah embun. Yang sedianya menyejukkan ditiap tempat yang aku singgahi. Adakah memang demikian? Mungkin memang harusnya demikian." Katanya pada gelap suatu kali.
Berulang kali ia ingatkan dirinya demikian. Berlaku selayaknya air, meneduhkan dahaga di tiap tanah kering yang ia lalui. Tapi, sadar atau tidak, air tak pernah berdiam lama pada tempatnya. Takdir yang hanya menjadi pembawa menjadikannya sebentuk lambang penerimaan.
"Lalu bagaimana sekarang? Bahkan waktu telah membawaku dalam arus yang terlalu jauh, terlalu panjang dan juga dalam. Seandainya saja, sedikit saja aku bergerak cepat, berlaku dan bila perlu mengikatnya untuk tetap bisa aku pertahankan ditempat ini, mungkin tak akan terasa menyesakkan begini. Seandainya saja, waktu itu tidak ada kata 'baiklah', mungkin aku masih ditempatnya. Meneduhkan meski tanahnya tak lagi pecah tak berarah. Seandainya saja, mungkin jari-jari ini tak hanya menggapai-gapai masa yang kau sisakan untuku. Seandainya saja...seandainya saja..."
Satu-satunya hal yang membuat matanya bisa memejam bersama malam. Satu-satunya arah yang ia tahu tak akan membuatnya berlari lalu kelelahan. Dan satu-satunya hal yang membuat Embun masih saja berlalu menunggui waktu. Seandainya..

Rabu, 07 Mei 2014

Key

"Sepertinya alam ingin berbicara kepadaku."
Ia membatin. Buku itu bahkan masih ada ditangannya, ia lanjutkan matanya menjelajah kata-kata dalam halaman berikutnya. Tak banyak yang ia pikirkan. Telah lama ia berhenti untuk merasa penasaran. menebak-nebak jawaban yang hanya akan berujung pada pertanyaan. Ia hanya terbiasa membatin sendirian. Apa mau dikata, sekalipun ia bercerita, apa yang harus ia ceritakan? lalu kepada siapa  adalah pertanyaan selanjutnya yang akan muncul.

Key, seorang gadis biasa. Terlahir dalam lingkungan biasa. Dalam takaran biasa yang bisa ia pahami. Tapi Tuhan tak pernah mencipta hal yang 'biasa'. Ada batas yang sangat tipis dengan 'istimewa'.  Ada rentang panjang yang menjadikan ia sebagaimana wanita biasa. Pemikiran dan juga penerimaan yang menjadikan ia menonjol dalam lingkup pergaulannya. Kegemarannya pada senja menjadikan dirinya seperti selalu terisi dalam tiap celahnya.
Ya. dia sangat suka senja.
Jangan pernah bertanya kenapa dia suka senja. Meski gemuruh kadang menyembunyikannya.
"Agaknya dunia ini mulai terasa sempit. Aku tak tahu sesungguhnya mesti menemukan apa."
Kata Key suatu kali pada seorang kawannya. Satu-satunya titik yang mampu ia percaya.
Suatu kali dalam ruang yang singkat. Sesingkat ia belajar mengedipkan matanya. Ia pernah terjatuh lalu terluka.
Ada begitu banyak teriakan di sekelilingnya. Tapi Key hanya peduli pada perkiraannya. Ia ceritakan betapa perih luka di kakinya menganga. Mungkin ia tak akan berjalan untuk sementara.

Tak pernah ia bayangkan sebegitu perih saat ia terluka. Tak banyak yang tahu dan hanya menebak-nebak saja. Itu yang membuat matanya mulai berubah arah. Jika bisa dibayangkan, seperti bohlam yang segera habis masanya untuk menyala. Ada ribuan kata yang ia layangkan diudara. Ia titipkan kepada kawan-kawannya tentang betapa ia tak apa-apa. Lukanya tak lagi apa-apa.
"Kau tahu, kenapa aku sangat suka senja? Suatu hari aku pernah membaca sajak tentang senja. itu bukanlah tentang hal yang menyenangkan. Di dalam baitnya aku membaca, bahwa senja hanyalah ujung dari masa. Bahwa senja adalah hari saat nanti ia menua."
"Dan kenapa aku suka senja? Karena senja adalah masa dari usia. Ujung yang membuka. Akhir dari lelah yang meniada. Aku suka karena itu buatannya. Aku suka karena kata-kata dalam sajaknya."

Sebuah pengakuan yang sesungguhnya sangat runyam. Kawannya tak akan pernah menyangkal satu pun dari apa yang diakuinya. Karena mereka tahu, Key dan keyakinanya. Seperti saat ia bercerita tentang angin yang sering ada di telinganya. Tentang betapa percayanya dia bahwa alam selalu menjaganya. Sama seperti percayanya ia tentang alasan kenapa mesti ada pertemuan dalam ruang.
"Aku percaya segalanya memiliki tujuan untuk ada. Mungkin aku hanya harus menyelesaikan sebentuk pembayaran. Itu saja."
Puluhan lembar surat telah ia tuliskan, dan puluhan kali pula urung ia kirimkan. Karena ia bahkan tak pernah tahu alamat yang mesti ia cantumkan.
Tak ada satupun yang mendapat balasan. Tidak seperti yang dia bayangkan. Saat sebuah tanda yang membawanya pada arah angin yang segera meniada. Kepadanya yang telah menjadi sosok yang seperti senja. Pertemuan sekali lagi datang tanpa Key minta. Kepada dia, pemilik mata senja.


 Saat itu, senja meniada. Duduk di sebuah kursi kayu, Key hanya memandang sekeliling saat malam mulai menyingkap sebuah ketidaknyamanan. Tanpa sentuhan, atau kalimat-kalimat panjang. Tak ada kata manis yang menebar diudara.
"Kita duduk disini saja." kata-kata terlontar begitu saja dari mulutnya kepada yang lain.
"Boleh kami bergabung? Tak keberatan kan?" lalu menoleh kepadanya.
Seulas senyum tanda Key mengiyakan. Sebegitu lihainya Tuhan berahasia. Hingga tak pernah ia sangka, bahwa mata yang Key lihat saat itu adalah mata senja. Senjanya.
Ada ketidaksengajaan dan juga kewaspadaan dalam tiap kata yang Key lontarkan pada rombongan itu. Kelompok yang akhirnya membuatkan selubung tipis dengan puluhan pasang mata malam dari nya.

Seperti arus air yang senantiasa mengalir juga meneduhkan pada tiap tempat yang ia singgahi. Tepat dan begitu pula Key saat ini. Ia mulai mengadukannya, kepada yang memperlihatkan senja padanya. Ia mulai memohon kepada yang memperlihatkan mata senja kepadanya. Kepada yang selalu menebarkan rahasia besar tentang hidup.
"Aku bertemu dengan senja, dalam matanya. Kau tahu, ia bahkan jauh melampauiku. meski ada banyak sekali terikan di telingaku. Aku melihatnya, senja, dalam matanya."  
Kata Key dalam sebuah suratnya.
"Entah kenapa aku sangat suka. Aku  tahu, senja bahkan berwarna kemerahan. Mungkin karena ia sangat menyilaukan, aku merasakan penasaran untuk selalu dapat memandanginya. "
 Malam mulai berganti-ganti. Key dan si mata senja mulai mengisi kosong dalam tiap celah.

"Aku sedang mendengarkan sebait lagu kesukaanku. Apa kau tahu lagu itu? Lagu tentang kesediaan untuk menjadi sebuah akhir dalam sebuah penantian."
Kalimat yang pernah ia dengarkan suatu malam. Kalimat yang membuat Key tak pernah ragu. Satu dari puluhan sajak yang telah ia bagikan. Itu sangat ia suka. Selama ini belum ada yang pernah Key perlihatkan bahwa ia gadis biasa. Gadis yang juga pernah bermimpi, tentang awan dan langit biru, tentang bunga-bunga indah.
Perlahan, keberanian mulai ia kenal. Lalu ia kenalkan kepada si pemilik mata senja. Meski tak sekalipun pernah ia ucapkan selain dalam surat-suratnya.
"Aku menyukaimu bukan karena apa yang kamu miliki hari ini. Tapi karena kamu adalah kamu. Dan kamu juga keberadaanmu. Akan ada banyak teriakan di telingaku tapi bukan berarti akan membuatku berhenti. Aku melihatmu, dengan caraku. Cara yang berbeda dari mata orang lain. Mereka mungkin tak mampu melihatmu, karena mereka tak pernah bisa melihatnya dalam matamu. mereka tak pernah melihat, senja. Kamu dan senja dalam matamu. Jika aku mampu, aku ingin sekali menjaga senja dalam matamu."
Lalu Key menyisipkan titik pada akhir kalimat dalam suratnya.