Malam
selalu gelap saat dia memandangi cermin dalam kosong. Suara-suara tak
lalu membuatnya gaduh. Ada banyak bayangan yang melayang meliuk-liuk
berlomba untuk tampil di depan matanya. Tak sedikitpun ada rasa takut di
wajahnya. Selimut tetap menutupi kedua kaki hingga batas dadanya. Ada
kalanya ia berharap, selimut itu akan mampu meembuat hatinya bersembunyi
untuk waktu yang lama. Seperti induk ayam yang sedang mengerami
telurnya. Sekiranya dalam waktu tertentu, hatinya akan keluar dan tumbuh
lagi menjadi hati yang baru.
Embun masih saja mengingat-ngingat tentang sebuah masa yang pernah ia lalui dalam selang yang telah berlangsung lama. Nafasnya tak lagi ia tahan. Beberapa kali bahkan ia hembuskan panjang, sepanjang lipatan memori yang selalu coba ia bentangkan. Perlahan-lahan ia gerakan tangan dan jarinya. Menggapai-gapai ruang dalam kosong. Mencoba meraih sisa masa yang mungkin disimpan oleh gelap dalam kamarnya. Beberapa waktu terakhir, itu menjadi hal yang ia sukai. Beradu dalam gelap membuatnyaa nyaman. Mendengarkan sekecil-kecilnya suara yang ada. Memilah-milah pikiran yang ia punya. Satu-satunya hal yang masih ia punya.
Ia telah, pada akhirnya, merasai kehilangan. Seperti kelereng yang melesat cepat dari tangan dan tak sempat untuk ia tangkap. Orang lain tak akan paham sebagaimana gelap membantunya mengerti tentang diri. Tidak juga akan ada yang melihatnya, sebagaimana gelap selalu memeluknya nyaman. Memberinya ruang untu sekedar melepas sesal yang tak tertahankan. Betapa tidak, Embun teramat menyesalinya. Ada kalimat-kalimat yang hanya akan meluncur ketika ia berhadapan dengan gelap. Ada tangis yang akan seketika pecah saat ia dipeluk erat oleh ingatan. Tapi ia, masih berusaha untuk tetap dalam keadaan tersadar bahwa ia, Embun.
Embun masih saja mengingat-ngingat tentang sebuah masa yang pernah ia lalui dalam selang yang telah berlangsung lama. Nafasnya tak lagi ia tahan. Beberapa kali bahkan ia hembuskan panjang, sepanjang lipatan memori yang selalu coba ia bentangkan. Perlahan-lahan ia gerakan tangan dan jarinya. Menggapai-gapai ruang dalam kosong. Mencoba meraih sisa masa yang mungkin disimpan oleh gelap dalam kamarnya. Beberapa waktu terakhir, itu menjadi hal yang ia sukai. Beradu dalam gelap membuatnyaa nyaman. Mendengarkan sekecil-kecilnya suara yang ada. Memilah-milah pikiran yang ia punya. Satu-satunya hal yang masih ia punya.
Ia telah, pada akhirnya, merasai kehilangan. Seperti kelereng yang melesat cepat dari tangan dan tak sempat untuk ia tangkap. Orang lain tak akan paham sebagaimana gelap membantunya mengerti tentang diri. Tidak juga akan ada yang melihatnya, sebagaimana gelap selalu memeluknya nyaman. Memberinya ruang untu sekedar melepas sesal yang tak tertahankan. Betapa tidak, Embun teramat menyesalinya. Ada kalimat-kalimat yang hanya akan meluncur ketika ia berhadapan dengan gelap. Ada tangis yang akan seketika pecah saat ia dipeluk erat oleh ingatan. Tapi ia, masih berusaha untuk tetap dalam keadaan tersadar bahwa ia, Embun.
"Katanya, aku adalah embun. Yang sedianya menyejukkan ditiap tempat yang aku singgahi. Adakah memang demikian? Mungkin memang harusnya demikian." Katanya pada gelap suatu kali.Berulang kali ia ingatkan dirinya demikian. Berlaku selayaknya air, meneduhkan dahaga di tiap tanah kering yang ia lalui. Tapi, sadar atau tidak, air tak pernah berdiam lama pada tempatnya. Takdir yang hanya menjadi pembawa menjadikannya sebentuk lambang penerimaan.
"Lalu bagaimana sekarang? Bahkan waktu telah membawaku dalam arus yang terlalu jauh, terlalu panjang dan juga dalam. Seandainya saja, sedikit saja aku bergerak cepat, berlaku dan bila perlu mengikatnya untuk tetap bisa aku pertahankan ditempat ini, mungkin tak akan terasa menyesakkan begini. Seandainya saja, waktu itu tidak ada kata 'baiklah', mungkin aku masih ditempatnya. Meneduhkan meski tanahnya tak lagi pecah tak berarah. Seandainya saja, mungkin jari-jari ini tak hanya menggapai-gapai masa yang kau sisakan untuku. Seandainya saja...seandainya saja..."Satu-satunya hal yang membuat matanya bisa memejam bersama malam. Satu-satunya arah yang ia tahu tak akan membuatnya berlari lalu kelelahan. Dan satu-satunya hal yang membuat Embun masih saja berlalu menunggui waktu. Seandainya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar