Rabu, 07 Mei 2014

Key

"Sepertinya alam ingin berbicara kepadaku."
Ia membatin. Buku itu bahkan masih ada ditangannya, ia lanjutkan matanya menjelajah kata-kata dalam halaman berikutnya. Tak banyak yang ia pikirkan. Telah lama ia berhenti untuk merasa penasaran. menebak-nebak jawaban yang hanya akan berujung pada pertanyaan. Ia hanya terbiasa membatin sendirian. Apa mau dikata, sekalipun ia bercerita, apa yang harus ia ceritakan? lalu kepada siapa  adalah pertanyaan selanjutnya yang akan muncul.

Key, seorang gadis biasa. Terlahir dalam lingkungan biasa. Dalam takaran biasa yang bisa ia pahami. Tapi Tuhan tak pernah mencipta hal yang 'biasa'. Ada batas yang sangat tipis dengan 'istimewa'.  Ada rentang panjang yang menjadikan ia sebagaimana wanita biasa. Pemikiran dan juga penerimaan yang menjadikan ia menonjol dalam lingkup pergaulannya. Kegemarannya pada senja menjadikan dirinya seperti selalu terisi dalam tiap celahnya.
Ya. dia sangat suka senja.
Jangan pernah bertanya kenapa dia suka senja. Meski gemuruh kadang menyembunyikannya.
"Agaknya dunia ini mulai terasa sempit. Aku tak tahu sesungguhnya mesti menemukan apa."
Kata Key suatu kali pada seorang kawannya. Satu-satunya titik yang mampu ia percaya.
Suatu kali dalam ruang yang singkat. Sesingkat ia belajar mengedipkan matanya. Ia pernah terjatuh lalu terluka.
Ada begitu banyak teriakan di sekelilingnya. Tapi Key hanya peduli pada perkiraannya. Ia ceritakan betapa perih luka di kakinya menganga. Mungkin ia tak akan berjalan untuk sementara.

Tak pernah ia bayangkan sebegitu perih saat ia terluka. Tak banyak yang tahu dan hanya menebak-nebak saja. Itu yang membuat matanya mulai berubah arah. Jika bisa dibayangkan, seperti bohlam yang segera habis masanya untuk menyala. Ada ribuan kata yang ia layangkan diudara. Ia titipkan kepada kawan-kawannya tentang betapa ia tak apa-apa. Lukanya tak lagi apa-apa.
"Kau tahu, kenapa aku sangat suka senja? Suatu hari aku pernah membaca sajak tentang senja. itu bukanlah tentang hal yang menyenangkan. Di dalam baitnya aku membaca, bahwa senja hanyalah ujung dari masa. Bahwa senja adalah hari saat nanti ia menua."
"Dan kenapa aku suka senja? Karena senja adalah masa dari usia. Ujung yang membuka. Akhir dari lelah yang meniada. Aku suka karena itu buatannya. Aku suka karena kata-kata dalam sajaknya."

Sebuah pengakuan yang sesungguhnya sangat runyam. Kawannya tak akan pernah menyangkal satu pun dari apa yang diakuinya. Karena mereka tahu, Key dan keyakinanya. Seperti saat ia bercerita tentang angin yang sering ada di telinganya. Tentang betapa percayanya dia bahwa alam selalu menjaganya. Sama seperti percayanya ia tentang alasan kenapa mesti ada pertemuan dalam ruang.
"Aku percaya segalanya memiliki tujuan untuk ada. Mungkin aku hanya harus menyelesaikan sebentuk pembayaran. Itu saja."
Puluhan lembar surat telah ia tuliskan, dan puluhan kali pula urung ia kirimkan. Karena ia bahkan tak pernah tahu alamat yang mesti ia cantumkan.
Tak ada satupun yang mendapat balasan. Tidak seperti yang dia bayangkan. Saat sebuah tanda yang membawanya pada arah angin yang segera meniada. Kepadanya yang telah menjadi sosok yang seperti senja. Pertemuan sekali lagi datang tanpa Key minta. Kepada dia, pemilik mata senja.


 Saat itu, senja meniada. Duduk di sebuah kursi kayu, Key hanya memandang sekeliling saat malam mulai menyingkap sebuah ketidaknyamanan. Tanpa sentuhan, atau kalimat-kalimat panjang. Tak ada kata manis yang menebar diudara.
"Kita duduk disini saja." kata-kata terlontar begitu saja dari mulutnya kepada yang lain.
"Boleh kami bergabung? Tak keberatan kan?" lalu menoleh kepadanya.
Seulas senyum tanda Key mengiyakan. Sebegitu lihainya Tuhan berahasia. Hingga tak pernah ia sangka, bahwa mata yang Key lihat saat itu adalah mata senja. Senjanya.
Ada ketidaksengajaan dan juga kewaspadaan dalam tiap kata yang Key lontarkan pada rombongan itu. Kelompok yang akhirnya membuatkan selubung tipis dengan puluhan pasang mata malam dari nya.

Seperti arus air yang senantiasa mengalir juga meneduhkan pada tiap tempat yang ia singgahi. Tepat dan begitu pula Key saat ini. Ia mulai mengadukannya, kepada yang memperlihatkan senja padanya. Ia mulai memohon kepada yang memperlihatkan mata senja kepadanya. Kepada yang selalu menebarkan rahasia besar tentang hidup.
"Aku bertemu dengan senja, dalam matanya. Kau tahu, ia bahkan jauh melampauiku. meski ada banyak sekali terikan di telingaku. Aku melihatnya, senja, dalam matanya."  
Kata Key dalam sebuah suratnya.
"Entah kenapa aku sangat suka. Aku  tahu, senja bahkan berwarna kemerahan. Mungkin karena ia sangat menyilaukan, aku merasakan penasaran untuk selalu dapat memandanginya. "
 Malam mulai berganti-ganti. Key dan si mata senja mulai mengisi kosong dalam tiap celah.

"Aku sedang mendengarkan sebait lagu kesukaanku. Apa kau tahu lagu itu? Lagu tentang kesediaan untuk menjadi sebuah akhir dalam sebuah penantian."
Kalimat yang pernah ia dengarkan suatu malam. Kalimat yang membuat Key tak pernah ragu. Satu dari puluhan sajak yang telah ia bagikan. Itu sangat ia suka. Selama ini belum ada yang pernah Key perlihatkan bahwa ia gadis biasa. Gadis yang juga pernah bermimpi, tentang awan dan langit biru, tentang bunga-bunga indah.
Perlahan, keberanian mulai ia kenal. Lalu ia kenalkan kepada si pemilik mata senja. Meski tak sekalipun pernah ia ucapkan selain dalam surat-suratnya.
"Aku menyukaimu bukan karena apa yang kamu miliki hari ini. Tapi karena kamu adalah kamu. Dan kamu juga keberadaanmu. Akan ada banyak teriakan di telingaku tapi bukan berarti akan membuatku berhenti. Aku melihatmu, dengan caraku. Cara yang berbeda dari mata orang lain. Mereka mungkin tak mampu melihatmu, karena mereka tak pernah bisa melihatnya dalam matamu. mereka tak pernah melihat, senja. Kamu dan senja dalam matamu. Jika aku mampu, aku ingin sekali menjaga senja dalam matamu."
Lalu Key menyisipkan titik pada akhir kalimat dalam suratnya. 

8 komentar: