Saat itu bahkan belum fajar. Langit abu, sama sekali tak ada warna. Meski tak ada gerimis yg mulai menarikan keteduhan tapi saat itu sudah teduh, teramat teduh hingga kulit merasai dingin menghampiri. Saat itu juga bukan senja. Tak ada sama sekali siluet yang terpampang dipinggiran. Saat itu bukan apa-apa hanya saat itu saja. Waktu seperti tak sedang bersama-sama. Karenanya ruang tak benar-benar dapat dipastikan. Hanya putih, abu dan gelap, tapi mataku masih bisa melihat.
Entah aku sedang berada dimana. Mataku hanya memperhatikan, seperti sedang memandangi sebuah lukisan hitam putih di sebuah galeri. Aku merasa ada dalam ruang yang hanya menempatkan aku menjadi penonton. Dan kamu ada di sana. Dalam gambaran abu-abu yang disediakan oleh ruang. Berdiri mematung, bingung. Nampaknya kamu pun tak tahu kenapa kamu bisa berada disana. Kanan kirimu bahkan tak diberi warna. Tapi satu-satunya yang dapat kamu lakukan hanya melangkah. Anak-anak tangga yang kamu punya. Bisu memberitahumu untuk segera melangkah. Maju, naiki satu per satu. Kurun waktu yang tak terukur, membawakan kelelahan mendalam pada nafasmu. Aku melihatnya. Aku merasainya. Nafasmu mulai tercekat, terputus-putus dadamu naik turun sangat cepat. Ada letih menetes dalam peluhmu yang seketika meluruh.
Aku memerhatikanmu mendongakkan kepala. Memastikan masih berapakah sisa anak tangga yang mesti kamu selesaikan. Tapi ruang itu teramat panjang. Tak punya ukuran waktu juga ruang. Betapa lelah dan putus asanya ragamu. Itu menyiksaku. Ku pastikan tak melewatkan sedetikpun tingkahmu dalam ruang abu itu. Apa kau tak berdoa? Meminta bala bantuan menyemaimu, lalu keluar dengan segera menuju ruang berwarna.
Seperti ada tangan halus yang menggerakkan benang-benang tak kasat mata. Selayaknya mempertontonkan gerakan-gerakan boneka orang. Seseorang digiring datang ke sebelahmu.
"Naiklah, aku akan mengantarmu."
Kalimat itu jelas aku dengar dari mulutnya. Dia sama abunya dengan langit dan tangga.
Kamu bahkan tak meluluh karenanya. Betapa kukuh hatimu. Seharusnya kamu menyerah dengan segera dan berbalik pergi bersamanya.
"Tidak usah. Aku bisa sendiri."
Ucapan mu membuatku merasa iba. Terlalu tinggikah ego mu? Atau karena batas yang ingin kamu buat dengannya, sehingga tak kamu biarkan abu dalam matamu melebur bersamanya.
"Ku bilang naik."
Dengan segera tangannya menarikmu. Membuatmu tak lagi berucap kata apa-apa. Punggungnya membuatmu menyerah. Kau merindukannya. Aku tahu. Aku sangat tahu itu. Aku melihatnya di matamu. Aku membacanya di senyummu. Kenyamanan yang sama kau biarkan menyelubungimu. Aku melihatnya. Apa aku bersyukur sekarang? Mungkin saja seharusnya demikian.
"Apa aku berat? Punggungmu tak akan sakit kan?"
Tak hanya rindumu. Suaramu bahkan melembut di sebelah telinganya. Seandainya saja aku tidak ditempatkan sebagai penonton. aku hanya bisa menunggui senyum yang menyungging darinya. Dia yang selalu diam di depanmu. Dia yang selalu dalam diam menuntun kaki dan tanganmu. Tidak. Bahkan ia sampai menuntun imaji mu.
Aku menyerah, sebulir aku teteskan di depan gambar yang baru saja aku saksikan. Siluet kini terpampang jelas di mataku. Gambar itu, melangkah naik perlahan. Menapaki tangga dalam ruang yang tak terukur.
Denting yang berbunyi dari samping telingaku membuatku menoleh dengan segera. Gerimis masih saja sama meski langit tak sepenuhnya bersuara. Angin mengantarku pada gambaran yang tak sepenuhnya aku anggap benar. Aku tak menyangka akan melihat gambaran yang sedemikian janggal dari mataku. Seharusnya rumput hijau, langit membiru. Nampaknya mereka semua bersembunyi entah dimana.
Padang rumput tak seharusnya berahasia. Namun tidak selamanya berlaku sama.
Ada satu sudut yang menjadi pembeda. Ternyata warna berkumpul disana. Menyemai, menyelubungi sosok menawan yang seperti sedang tertawan. Ada yang aneh, seharusnya gambar langit dan rumput menjadi segar tapi apa ini? Kemuraman apa ini? Warna tak lantas menjadikannya ceria. Aku perhatikan tata letak sudut-sudut merunut sebentuk cerita yang ingin menjawab dahagaku terhadapnya. Tapi tak juga bisa aku temukan. Ia masih disana, menunduk dengan kesendirian. Lekuk indah kursi yang menyangganya. Tertata apik lilin cantik di atas meja mewahnya. Ini nampak ganjil. Meja dan kursi ini tak layak berada disini. Ditempat yang janggal semuram ini.
Seandainya saja, ada suara yang bisa lantang mengantarkan padamu. Mungkin sudah aku bangunkan kamu dari sudutmu. Membuyarkan semua yang menyelubungimu. Sekalipun mereka berusaha mengembalikan gairah kepadamu, tapi cerita ingin beralur lain. Mereka tak satupun mampu menyemaimu. Muram masih saja ada di dekatmu. Sepertinya, ini ruang tunggumu. Tempat kau mengabaikan hingar bingar dunia dan kehidupanmu. Tempat yang kau kunjungi dalam rindu yang selalu menghantuimu. Telah lamakah lelah kau buang di tempat ini? Aku penasaran. Sungguh. Karena ini menjadi janggal
Denting gelas beradu di sebelah telingaku. Lantunan musik lambat melambat dalam telinga. Tak pernah lagi aku bertanya dan mengetuk kenangan yang pernah aku simpan lama. Tak pula pernah aku terka apa yang akan dihadapkan pada detik berikutnya. Di sudut ruangan yang aku pilih menjadi tempat paling nyaman dan menyenangkan. Membuat batas dari hingar bingar lautan manusia yang mulai memamerkan keakuannya. Aku cukup lelah karenanya. Menyamarkan keberadaan menjadi bagian dari ritual yang sangat aku sukai. Sehingga bisa aku puaskan diri meneguk irama lagu yang dilantunkan. Dan begitulah malam ini ingin aku lewatkan. Suara langkah mulai mengusik mataku. Memejam aku biarkan lalu, sambil berharap tak akan ada yang merusak kesenanganku dengan hening. Tapi malam menyuguhkan hidangan istimewa untuk ku jadikan hadiah. Suaranya mulai merusak kesenanganku.
"Pesanlah apa saja, biar kali ini aku yang mentraktirmu. Pesanlah. Apa saja."
Ku sunggingkan senyum simpul seperti biasanya. Jelas nampak wajahnya sedikit berubah kini. Setelah beberapa tahun menutupinya dari mataku, telingaku. Malam ini ia ada dihadapanku. Kalimatku ingin sekali keluar. Ingin aku katakan aku tak pernah menginginkan apa-apa darinya. Tidak pula malam ini. Pun jika seandainya malam ini ulang tahunku. Tak pernah ada hadiah yang ingin aku minta darinya. Aku bangkit berdiri, meninggalkan kesenanganku dalam sunyi yang telah dirusaknya.
"Aku akan pulang dan segera berkemas. Aku belum sempat berkemas."
Singkat aku katakan padanya. Sesingkat cerita yang pernah aku tuliskan dulu. Seperti kisah-kisah dalam sinetron yang pernah aku tonton. Dia bangkit berdiri dan mengejarku dengan segera. Memegangi jariku dengan erat. Sangat-sangat erat. Kata-kata seperti ditransfer begitu saja dalam kepalaku. Aku paham. Matanya, meski memandang kosong ke depan tapi langkahnya tetap menuntunku menyebrangi jalanan. Memapah langkahku dengan genggamannya. Aku terpaku pada jarinya. Jari itu masih saja sama. Jari yang juga pernah menuntunku menapaki lorong dan koridor panjang. Lalu bisakah kata-kata dan kalimatku ini ditransfer ke dalam kepalanya sehingga tak perlu aku berteriak lantang tentang kebingunganku. Adakah pertanyaan-pertanyaan ini akan disampaikan dalam tautan jemarinya? Sehingga tak perlu lagi aku melafalkan dalam kecanggungan yang serta merta menyergapku.
Aku tak ingin akhir yang seperti ini. Jangan suguhkan keraguan yang begitu jelas terpampang di depan mataku. Aku tak mengenalnya dalam keraguan. Aku tak menginginkannya menghadiahi ku kebingungan. Sebagian dalam kepalaku mulaai bertentangan. Tautan jari yang erat ini harusnya tak pernah jadi seperti ini. Tidak dalam keadaan sekarang. Ini menggambarkan kepadaku betapa tinggi keakuannya. Pun setelah panjang waktu menutupinya dari mataku. Menutupi telinganya dariku. Aku ingin bersama nyamanku, sekali lagi. Jika kali inipun ingin dijadikan singkat lepaskan saja ini dengan segera. Aku terlalu lelah untuk menebak bisu yang selalu dia bawa. Aku terlalu lelah mengertikan tautan jari yang ia genggam begitu erat.