Senin, 10 November 2014

Tautan

Denting gelas beradu di sebelah telingaku. Lantunan musik lambat melambat dalam telinga. Tak pernah lagi aku bertanya dan mengetuk kenangan yang pernah aku simpan lama. Tak pula pernah aku terka apa yang akan dihadapkan pada detik berikutnya. Di sudut ruangan yang aku pilih menjadi tempat paling nyaman dan menyenangkan. Membuat batas dari hingar bingar lautan manusia yang mulai memamerkan keakuannya. Aku cukup lelah karenanya. Menyamarkan keberadaan menjadi bagian dari ritual yang sangat aku sukai. Sehingga bisa aku puaskan diri meneguk irama lagu yang dilantunkan. Dan begitulah malam ini ingin aku lewatkan. 

Suara langkah mulai mengusik mataku. Memejam aku biarkan lalu, sambil berharap tak akan ada yang merusak kesenanganku dengan hening. Tapi malam menyuguhkan hidangan istimewa untuk ku jadikan hadiah. Suaranya mulai merusak kesenanganku. 
"Pesanlah apa saja, biar kali ini aku yang mentraktirmu. Pesanlah. Apa saja." 
Ku sunggingkan senyum simpul seperti biasanya. Jelas nampak wajahnya sedikit berubah kini. Setelah beberapa tahun menutupinya dari mataku, telingaku. Malam ini ia ada dihadapanku. Kalimatku ingin sekali keluar. Ingin aku katakan aku tak pernah menginginkan apa-apa darinya. Tidak pula malam ini. Pun jika seandainya malam ini ulang tahunku. Tak pernah ada hadiah yang ingin aku minta darinya. 

Aku bangkit berdiri, meninggalkan kesenanganku dalam sunyi yang telah dirusaknya. 
"Aku akan pulang dan segera berkemas. Aku belum sempat berkemas." 
Singkat aku katakan padanya. Sesingkat cerita yang pernah aku tuliskan dulu. Seperti kisah-kisah dalam sinetron yang pernah aku tonton. Dia bangkit berdiri dan mengejarku dengan segera. Memegangi jariku dengan erat. Sangat-sangat erat. Kata-kata seperti ditransfer begitu saja dalam kepalaku. Aku paham. Matanya, meski memandang kosong ke depan tapi langkahnya tetap menuntunku menyebrangi jalanan. Memapah langkahku dengan genggamannya. Aku terpaku pada jarinya. Jari itu masih saja sama. Jari yang juga pernah menuntunku menapaki lorong dan koridor panjang. Lalu bisakah kata-kata dan kalimatku ini ditransfer ke dalam kepalanya sehingga tak perlu aku berteriak lantang tentang kebingunganku. Adakah pertanyaan-pertanyaan ini akan disampaikan dalam tautan jemarinya? Sehingga tak perlu lagi aku melafalkan dalam kecanggungan yang serta merta menyergapku. 

Aku tak ingin akhir yang seperti ini. Jangan suguhkan keraguan yang begitu jelas terpampang di depan mataku. Aku tak mengenalnya dalam keraguan. Aku tak menginginkannya menghadiahi ku kebingungan. Sebagian dalam kepalaku mulaai bertentangan. Tautan jari yang erat ini harusnya tak pernah jadi seperti ini. Tidak dalam keadaan sekarang. Ini menggambarkan kepadaku betapa tinggi keakuannya. Pun setelah panjang waktu menutupinya dari mataku. Menutupi telinganya dariku. Aku ingin bersama nyamanku, sekali lagi. Jika kali inipun ingin dijadikan singkat lepaskan saja ini dengan segera. Aku terlalu lelah untuk menebak bisu yang selalu dia bawa. Aku terlalu lelah mengertikan tautan jari yang ia genggam begitu erat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar