Denting berubah gemuruh. Ada ribuan celah yang sedari awal telah aku
perhitungkan. Lubang yang sewaktu-waktu bisa saja membuat aku terjatuh
dan terkubur begitu dalam. Seperti jengah yang coba aku pertahankan,
seperti itu pula kuatnya gundah yang menyertainya. Betapa keras
kepalanya kita. Memegang, menggenggam satu sama lain. Mengukuhkan bahwa
semua akan menjadi baik-baik saja. Tapi,
tahukah kamu sedikit demi sedikit, semakin tinggi kekukuhan aku dan
kamu perlihatkan, akan semakin banyak gerusan mengikis dasar yang diawal
kita tancapkan.
Adakah pernah kamu perkirakan bahwa ini tak akan baik-baik saja?
Adakah kamu perkirakan bahwa lubang yang ada dibawah kaki kita sangatlah
curam? Bahkan terlalu dalam untuk bisa kita bayangkan. Aku, kamu. Hanya
akan menjadi aku dan kamu. Semakin lama aku pikirkan semakin bebal yang
ada di kepalaku. Semakin lama aku abaikan semakin sesak ruang tempatku
beradu. Seandainya saja, tak ada awal yang akan berakhir. Kamu mungkin
saja tak akan menjadi sesakit ini.
Bayanganmu masih saja tetap disana, gelap dalam ruang abu yang baru
saja aku benamkan kepadamu. Dan kakiku, masih saja terikat ragu yang
memburu. Sesaat aku ingin tetap memerhatikanmu. Tapi kesadaranku rupanya
hanya cukup untuk tertahan disana, sisanya, tanpa bisa aku tebak
langkahku tetap bisa meraihmu. Merengkuh kesakitanmu, kesakitanku.
"Jangan seperti ini." Bisikanmu singkat. Hanya sesingkat itu. Dan itu membuatku semakin bulat untuk berkata padamu.
"Mari kita berpisah." Kata-kata itu rasanya asing. Berdengung terus
di kepalaku. Mengganggu telingaku. Sisanya, yang aku rasa hanya
rengkuhanmu. Rengkuhan yang semakin erat. Semakin hangat. Isak perlahan
aku dengar membisik di sebelah telingaku. Dan kau ulangi kata-katamu.
"Jangan seperti ini. Aku tak mau seperti ini."
lembaran pesawat-pesawat kertas.. di rentang waktu yang tak terukur dalam ruang.. tanpa nama.. tanpa irama.. |pss
Senin, 28 September 2015
Kecintaan
Jalan ini mulai terasa terlalu panjang pada akhirnya. Tak satupun
langkahku terhenti dihadapanmu. Tak satupun kataku menjadi berguna.
Semuanya telah terbuang percuma. Pernah aku bertanya, sesungguhnya ini
tentang apa? Tapi tetap saja tak juga membuatku untuk berhenti dan
berlalu.
Puluhan lembar daun bergerak mengikuti tiap arus yang ia buatkan. Pun itu yang tengah aku lakukan. Dan tanpa aku sadari arus mulai menggerusku dalam perjalanan. Menjadikan aku lupa entah sudah langkah ke berapa. Dan kamu masih saja sama. Masih tetap memesona dalam tiap gerak gerik kecilmu. Juga seperti masih sama nya kamu tak akan pernah menemukanku.
Ada puluhan dan bahkan ratusan gambar wajahmu yang menggantung di tiap lembaran daun di atas kepalaku. Dan tak selembarpun yang jatuh untuk bercerita tentangmu, kepadaku. Tak satupun kata yang diselipkannya kepadaku. Berulang kali aku catat dalam benakku. Berulang kali pula gambaran kecintaanku bertambah. Seperti embun yang datang dan bertambah lalu menguap dan menghilang.
Disana, diatas kepalaku. Ada kecintaan yang luar biasa. Jauh di luar dari biasa yang aku lakukan. Kepadamu.
Seandainya saja, pintu itu tak terlanjur tertutup. Mungkin saja akan ada setitik niatku untuk berhenti. Dan mungkin akan ada jeda dalam waktuku dan juga waktumu, untuk saling membuka pintu. Jika saja, ada selembar daun jatuh dan terselip di rambutku mungkin saja akan kau temukan dikemudian hari, wajahmu yang selalu saja tergambar diatasnya.
Guratan-guratan yang ada ditanganku tak pernah mau berhenti untuk terus mengumpulkan tiap titik dalam wajahmu. Menyatukan garis-garis menawan dalam senyum mu. Lalu yang tersisa hanyalah setumpuk di kakiku yang menggunung. Lembaran daun kering yang jadi usang. Tertiup lalu terlupakan. Dan tak akan ada yang menerbangkannya kepadamu.
Jangan kau kira ini akan menyakitkanku. Tidak sama sekali. Kau, hanyalah kecintaan. Dan aku yang menciptakannya. Aku yang menggambarnya.
Pun suatu hari nanti aku hanya akan menyimpannya apik, menitipkannya pada tiap lembaran daun-daun di atas kepala ku. Yang segera akan jatuh disaat waktu menjadikannya kering dan usang. Tanpa perlu kau memungutinya. Tanpa perlu kau menemukannya.
Puluhan lembar daun bergerak mengikuti tiap arus yang ia buatkan. Pun itu yang tengah aku lakukan. Dan tanpa aku sadari arus mulai menggerusku dalam perjalanan. Menjadikan aku lupa entah sudah langkah ke berapa. Dan kamu masih saja sama. Masih tetap memesona dalam tiap gerak gerik kecilmu. Juga seperti masih sama nya kamu tak akan pernah menemukanku.
Ada puluhan dan bahkan ratusan gambar wajahmu yang menggantung di tiap lembaran daun di atas kepalaku. Dan tak selembarpun yang jatuh untuk bercerita tentangmu, kepadaku. Tak satupun kata yang diselipkannya kepadaku. Berulang kali aku catat dalam benakku. Berulang kali pula gambaran kecintaanku bertambah. Seperti embun yang datang dan bertambah lalu menguap dan menghilang.
Disana, diatas kepalaku. Ada kecintaan yang luar biasa. Jauh di luar dari biasa yang aku lakukan. Kepadamu.
Seandainya saja, pintu itu tak terlanjur tertutup. Mungkin saja akan ada setitik niatku untuk berhenti. Dan mungkin akan ada jeda dalam waktuku dan juga waktumu, untuk saling membuka pintu. Jika saja, ada selembar daun jatuh dan terselip di rambutku mungkin saja akan kau temukan dikemudian hari, wajahmu yang selalu saja tergambar diatasnya.
Guratan-guratan yang ada ditanganku tak pernah mau berhenti untuk terus mengumpulkan tiap titik dalam wajahmu. Menyatukan garis-garis menawan dalam senyum mu. Lalu yang tersisa hanyalah setumpuk di kakiku yang menggunung. Lembaran daun kering yang jadi usang. Tertiup lalu terlupakan. Dan tak akan ada yang menerbangkannya kepadamu.
Jangan kau kira ini akan menyakitkanku. Tidak sama sekali. Kau, hanyalah kecintaan. Dan aku yang menciptakannya. Aku yang menggambarnya.
Pun suatu hari nanti aku hanya akan menyimpannya apik, menitipkannya pada tiap lembaran daun-daun di atas kepala ku. Yang segera akan jatuh disaat waktu menjadikannya kering dan usang. Tanpa perlu kau memungutinya. Tanpa perlu kau menemukannya.
Langganan:
Postingan (Atom)