Senin, 28 September 2015

Catatan Ruang Abu

Denting berubah gemuruh. Ada ribuan celah yang sedari awal telah aku perhitungkan. Lubang yang sewaktu-waktu bisa saja membuat aku terjatuh dan terkubur begitu dalam. Seperti jengah yang coba aku pertahankan, seperti itu pula kuatnya gundah yang menyertainya. Betapa keras kepalanya kita. Memegang, menggenggam satu sama lain. Mengukuhkan bahwa semua akan menjadi baik-baik saja. Tapi, tahukah kamu sedikit demi sedikit, semakin tinggi kekukuhan aku dan kamu perlihatkan, akan semakin banyak gerusan mengikis dasar yang diawal kita tancapkan.

Adakah pernah kamu perkirakan bahwa ini tak akan baik-baik saja? Adakah kamu perkirakan bahwa lubang yang ada dibawah kaki kita sangatlah curam? Bahkan terlalu dalam untuk bisa kita bayangkan. Aku, kamu. Hanya akan menjadi aku dan kamu. Semakin lama aku pikirkan semakin bebal yang ada di kepalaku. Semakin lama aku abaikan semakin sesak ruang tempatku beradu. Seandainya saja, tak ada awal yang akan berakhir. Kamu mungkin saja tak akan menjadi sesakit ini.

Bayanganmu masih saja tetap disana, gelap dalam ruang abu yang baru saja aku benamkan kepadamu. Dan kakiku, masih saja terikat ragu yang memburu. Sesaat aku ingin tetap memerhatikanmu. Tapi kesadaranku rupanya hanya cukup untuk tertahan disana, sisanya, tanpa bisa aku tebak langkahku tetap bisa meraihmu. Merengkuh kesakitanmu, kesakitanku.
"Jangan seperti ini." Bisikanmu singkat. Hanya sesingkat itu. Dan itu membuatku semakin bulat untuk berkata padamu.
"Mari kita berpisah." Kata-kata itu rasanya asing. Berdengung terus di kepalaku. Mengganggu telingaku. Sisanya, yang aku rasa hanya rengkuhanmu. Rengkuhan yang semakin erat. Semakin hangat. Isak perlahan aku dengar membisik di sebelah telingaku. Dan kau ulangi kata-katamu.
"Jangan seperti ini. Aku tak mau seperti ini."

Kecintaan

Jalan ini mulai terasa terlalu panjang pada akhirnya. Tak satupun langkahku terhenti dihadapanmu. Tak satupun kataku menjadi berguna. Semuanya telah terbuang percuma. Pernah aku bertanya, sesungguhnya ini tentang apa? Tapi tetap saja tak juga membuatku untuk berhenti dan berlalu.

Puluhan lembar daun bergerak mengikuti tiap arus yang ia buatkan. Pun itu yang tengah aku lakukan. Dan tanpa aku sadari arus mulai menggerusku dalam perjalanan. Menjadikan aku lupa entah sudah langkah ke berapa. Dan kamu masih saja sama. Masih tetap memesona dalam tiap gerak gerik kecilmu. Juga seperti masih sama nya kamu tak akan pernah menemukanku.

Ada puluhan dan bahkan ratusan gambar wajahmu yang menggantung di tiap lembaran daun di atas kepalaku. Dan tak selembarpun yang jatuh untuk bercerita tentangmu, kepadaku. Tak satupun kata yang diselipkannya kepadaku. Berulang kali aku catat dalam benakku. Berulang kali pula gambaran kecintaanku bertambah. Seperti embun yang datang dan bertambah lalu menguap dan menghilang.

Disana, diatas kepalaku. Ada kecintaan yang luar biasa. Jauh di luar dari biasa yang aku lakukan. Kepadamu.
Seandainya saja, pintu itu tak terlanjur tertutup. Mungkin saja akan ada setitik niatku untuk berhenti. Dan mungkin akan ada jeda dalam waktuku dan juga waktumu, untuk saling membuka pintu. Jika saja, ada selembar daun jatuh dan terselip di rambutku mungkin saja akan kau temukan dikemudian hari, wajahmu yang selalu saja tergambar diatasnya.

Guratan-guratan yang ada ditanganku tak pernah mau berhenti untuk terus mengumpulkan tiap titik dalam wajahmu. Menyatukan garis-garis menawan dalam senyum mu. Lalu yang tersisa hanyalah setumpuk di kakiku yang menggunung. Lembaran daun kering yang jadi usang. Tertiup lalu terlupakan. Dan tak akan ada yang menerbangkannya kepadamu.
Jangan kau kira ini akan menyakitkanku. Tidak sama sekali. Kau, hanyalah kecintaan. Dan aku yang menciptakannya. Aku yang menggambarnya.

Pun suatu hari nanti aku hanya akan menyimpannya apik, menitipkannya pada tiap lembaran daun-daun di atas kepala ku. Yang segera akan jatuh disaat waktu menjadikannya kering dan usang. Tanpa perlu kau memungutinya. Tanpa perlu kau menemukannya.