Denting berubah gemuruh. Ada ribuan celah yang sedari awal telah aku
perhitungkan. Lubang yang sewaktu-waktu bisa saja membuat aku terjatuh
dan terkubur begitu dalam. Seperti jengah yang coba aku pertahankan,
seperti itu pula kuatnya gundah yang menyertainya. Betapa keras
kepalanya kita. Memegang, menggenggam satu sama lain. Mengukuhkan bahwa
semua akan menjadi baik-baik saja. Tapi,
tahukah kamu sedikit demi sedikit, semakin tinggi kekukuhan aku dan
kamu perlihatkan, akan semakin banyak gerusan mengikis dasar yang diawal
kita tancapkan.
Adakah pernah kamu perkirakan bahwa ini tak akan baik-baik saja?
Adakah kamu perkirakan bahwa lubang yang ada dibawah kaki kita sangatlah
curam? Bahkan terlalu dalam untuk bisa kita bayangkan. Aku, kamu. Hanya
akan menjadi aku dan kamu. Semakin lama aku pikirkan semakin bebal yang
ada di kepalaku. Semakin lama aku abaikan semakin sesak ruang tempatku
beradu. Seandainya saja, tak ada awal yang akan berakhir. Kamu mungkin
saja tak akan menjadi sesakit ini.
Bayanganmu masih saja tetap disana, gelap dalam ruang abu yang baru
saja aku benamkan kepadamu. Dan kakiku, masih saja terikat ragu yang
memburu. Sesaat aku ingin tetap memerhatikanmu. Tapi kesadaranku rupanya
hanya cukup untuk tertahan disana, sisanya, tanpa bisa aku tebak
langkahku tetap bisa meraihmu. Merengkuh kesakitanmu, kesakitanku.
"Jangan seperti ini." Bisikanmu singkat. Hanya sesingkat itu. Dan itu membuatku semakin bulat untuk berkata padamu.
"Mari kita berpisah." Kata-kata itu rasanya asing. Berdengung terus
di kepalaku. Mengganggu telingaku. Sisanya, yang aku rasa hanya
rengkuhanmu. Rengkuhan yang semakin erat. Semakin hangat. Isak perlahan
aku dengar membisik di sebelah telingaku. Dan kau ulangi kata-katamu.
"Jangan seperti ini. Aku tak mau seperti ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar