Lingkaran telah berputar dan berulang. Saat segaris lingkaran membentuk
wadah dan batasannya. Aku lambat laun mulai memilah-milah mana dari
titik ini yang akan aku ulang dikemudian hari. Ataukah mana dari titik
ini yang telah aku ulang dari titik sebelumnya. Nampaknya tak akan ada
satupun yang tetap bertahan di tempatnya.
Seperti halnya saat segurat senja mulai berulang. Pohon besar yang
selalu menjadi tempatmu bernaung lama. Aku tak sekalipun pernah mengira
bahwa apa yang kau gambarkan disana adalah apa yang sangat kau impikan.
Waktu tak lagi jelas dalam benakku. Entah itu pagi yang berulang ataukah
senja yang sesekali datang. Tapi jelas aku mendapatimu disana. Pohon
itu besar, namun tak pernah menghalangimu untuk muncul dan
kuperhatikan. Sepertinya pohon itu punya andil dalam lingkaran kita. Kau
percaya? Percayalah.
Guratan tanganmu tak terlalu asing. Menggurat pada batang dengan tinta
yang entah kau dapatkan dari mana. Aku tertawa kecil melihatnya.
Nampaknya kau bukanlah seorang penggambar yang mahir. Sosok yang kau
gambarkan tak jelas berbentuk. Tapi aku yakin itu tentang kita. Aku tak
ingin membuatmu kecewa. Wajah tirusmu akhirnya menyunggingkan senyumnya
kepadaku. Betapa nakalnya aku berkata, lalu bertanya tentang lagu itu
kepadamu. Kau bahkan tak mahir menggambar lalu adakah kau akan mahir
melagu?
Seberkas keinginan untuk melarikan diri dari lingkaran ini membuatku
ragu. Tak ada keputusan matang. Sisanya hanyalah kesepakatan
pemikiranku, yang entah dari mana datangnya aku mulai ingin melarikan
diri dari lingkaran ini, terutama darimu. Mengendap-ngendap bersembunyi
mencoba berlari sejauh yang aku mampu. Namun sekali lagi nampaknya pohon
itu benar-benar memihakmu. Dia sepertinya memberitahumu saat aku mulai
berlari di belakang punggungmu.
Astaga! Seharusnya kau tak perlu mencariku. Kita seperti dibuat bermain
petak umpet oleh lingkaran ini. Seperti halnya permainan lain harus ada
yang menang dan kalah. Dan aku kalah. Kau telah mendapatiku. Sekuat
apapun aku bersembunyi darimu, tetap saja kau dapat menggapai tanganku.
Erat genggamanmu membuatku tak lagi mampu berkelit kemanapun. Ada
semacam arus yang mulai mendorongku mengikutimu. Sebagian lagi seperti
memberitahuku betapa tak inginnya kau kehilanganku. Tidak lagi. Kau
nampaknya sangat mahir membuatku mengagumimu. Jika tidak, lalu bagaimana
mungkin aku pada akhirnya hanya berjongkok seperti anak kecil, menonton
dan menungguimu.
Senyum mulai mengembang di wajah tirusmu. Nampaknya kau harus segera
siap, bahwa tak akan selamanya kau mampu menampilkan senyum diwajahmu.
Akan ada saatnya nanti aku membuatmu merasai kecewa lagi. Seperti kali
ini. Kali saat aku merusak segala gambaran apik yang telah kau rancang
dari lama. Harusnya itu akan membuatmu marah kepadaku. Setidaknya kau
akan berteriak kepadaku. Pertahanan diriku membuat aku mulai membuat
alasan. Mulai mencari pembenaran. Berlaku seperti anak kecil yang
membangkang menjadi satu-satunya pilihan. Seharusnya karena itu kau
mulai memarahiku. Tapi apa ini? Sebegini kuatkah keinginanmu untuk tak
akan melepasku? Sehingga kau abaikan rasa kecewamu terhadapat
kelakuanku. Sebegini dalamkah pengorbananmu untukku?
Astaga! Lalu sejak kapan ada rindu yang mulai mendesakku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar