Rumput-rumput berbunyi kering. Agaknya mereka pun merasai lelahnya tanah untuk tetap bertahan menjadi alasnya. Air-air tak lagi bergulir pada tiap lembar dedaunan. Sudut jalanan ini begitu sepi. Pepohonan nampaknya selalu menepi. Tiang lampu agaknya termakan karat dalam waktu yang lama. Tapi kursi kayu yang sama masih terpajang dengan rapi ditepi taman sepi. Ada satu hal yang aku rasa menjadi begitu ganjil dalam penglihatanku. Bayangan gadis, pakaiannya lusuh. Rambut panjangnya hitam beterbangan ditiup angin. Tak aku lihat ada tatapan dalam matanya. Tapi di atas kepalanya ada yang bersarang dengan tenang.
Burung hitam dengan sorot mata yang tak bisa aku pahami. Dalam gerakan konstan memanggut-manggut tak berhenti. Kakinya menempel apik di kulit kepala gadis itu. Tidakkah itu begitu ganjil. Gadis itu manis. Sangat manis. Jika saja pakaian hitam lusuhnya berganti dengan baju yang lebih bersih dan berkilau, aku yakin ia akan nampak sangat menawan. Semakin lekat aku perhatikan, burung itu berbulu hitam legam. Mematuk dengan mantap pada kepala si gadis manis. Tapi tak pernah ada luka disana. Nampaknya pagutannya terlalu dalam, hingga sakit dan lukanya tertanam jauh di dasar gelap dalam dirinya.
Perlahan-lahan aku sadari, luka tak ada di kulit kepalanya. Yang ada hanyalah lubang yang telah menganga di dadanya. Terlalu dalam, dan nampaknya terlalu gelap untuk bisa aku mengerti rasa sakitnya.
"Astaga, perempuan. Sebenarnya sudah berapa lama waktu memakumu dikursi kayu? Tidakkah kau sadari burung hitam itu kini menjelma hampir sebesar kepalamu?"Rasa heran tak lagi tertahankan. Seorang gadis manis tak selayaknya memangku gelap sebegitu besar. Tak seharusnya ia terjebak sebegitu dalam. Jika aku bisa mendengarkannya saat ini, adakah ia akan mengurai gelap di kepalanya? Akankah itu mempersempit lubang di dadanya? Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar