Senin, 31 Desember 2012

Paragraf dalam Bungkam


(Untuk malaikat tempatNya menitipkanku)

Matahari meninggi..
Lampu-lampu taman, deru kendaraan.
Guratan-guratan kenangan.

Apa kau melihatnya, ayah?
Semua puzzle yang mencoba aku rangkaikan. Potongan-potongan  tentang sedih, tangis, duka juga bahagia. Aku tahu, dan pernah aku lihat dalam matamu. Resah yang menderu dalam hatimu. Aku tahu, ayah. Aku tahu. Tapi yang kau tak tahu, adalah tentang ‘dalam diriku’. Tak pernah ada tanyamu.
Aku membaca bisumu. Menelaah dan mengumpulkan resah dalam matamu. Tak pula aku pernah dengan tanyaku. Hanya ’membaca’. Karena itu yang mampu aku lakukan. Dan itu yang membuatkanku pagar tinggi. Mengurung diriku dalam batas yang mungkin bisa kau sebut ‘aman’.

Aku menyayangimu.
Tak sekalipun pernah aku katakan itu padamu. Bukankah itu kedurhakaanku?
Tapi ayah, lebih dari apapun, aku ingin tak pernah ada kekecewaan dalam dirimu, tentangku. Dan itu caraku menyayangimu.
Sekali, kau pernah membiarkan aku berjalan meniti pinggiran dalam batas dunia. Batas antara duniaku, dunia kita dan juga dunianya. Dunia yang sama sekali belum pernah kau kenali.
Aku jatuh, ayah. Dan kau melihatku jatuh. Terlalu dalam. Teramat dalam sesungguhnya.
Sekalipun aku katakan ‘tak apa’ padamu, tapi aku tahu, kau melihat lukaku.
Sama, seperti beberapa saat lalu, saat kau mencoba mengingatkanku untuk tak lagi meniti pagar tinggi. Pagar terlalu tinggi yang coba aku lompati saat itu.
Pagar antara batas mimpi yang mencoba aku buat lagi. Tapi aku ternyata teramat menyayangimu. Aku hapus semua jejak mimpiku. Ku kembalikan duniaku padamu.
Padamu, ayah.
Dan sekali lagi, aku kurung diri ku dalam pagar. Tak lagi mencoba untuk mengumpulkan mimpi. Aku terlalu takut. Suatu hari mimpiku itu harus aku hapus lagi. Jadi bukankah lebih baik tak aku buat lagi?
Aku terlalu takut. Kau akan melihatku terjatuh, lagi.

Akan ada celah dalam waktu nanti, saat aku akan mengecewakanmu, sekali lagi. Dan aku hanya menunggu itu. Menunggu garis-garis penuh di dahiku. Garis-garis yang Ia tulis saat itu. Aku berusaha sebaik yang aku mampu. Untuk tak membuat kecewa yang terlalu dalam padamu saat tiba waktuku nanti. Jadi, aku memilih berdiam, duduk, dan menunggu waktuku tiba dalam pagar ini lagi.

Benar. Tak akan ada orang yang mampu menyayangiku seperti caramu menyayangiku. Tapi, ayah. Pasti ada orang yang akan menyayangiku, dengan caranya. Dengan cara yang bahkan aku pun tak tahu.
Dan sampai saat itu tiba, aku hanya akan duduk di tempatku. Dalam pagarku. Menunggui entah apa. Dan hanya mengumpulkan semua potongan-potongan gambar yang Ia perlihatkan padaku. Potongan-potongan yang bahkan tak pernah aku tunjukkan padamu.
Tapi ayah, ujung jalanku tak pernah ada yang tahu. Sekalipun mencoba aku berbelok. Menghindar. Nyatanya aku hanya harus kembali lagi ke awal. Bukankah hidup ini hanyalah sebentuk pengulangan? Jadi akan aku jalani lagi. Harus aku jalani lagi. Bersama rasa yang tak pernah aku minta juga yang tak mampu aku hindari.

Aku tuliskan ini, karena aku tak tahu cara yang lebih baik untuk bercerita padamu. Dan karena aku terlalu pengecut untuk bercerita padamu. Tidak. Jika hanya akan membuatmu kecewa padaku. Tidak ayah.
Aku tak berharap apa-apa.
Tapi akan aku terima, apa yang memang harus aku terima. Karena hanya itu yang mampu dan aku punya.    “penerimaan”.

Saat Suatu Siang


Saat suatu siang..
hanya menjadi tanda bahwa aku pernah di sana.
pernah menempatkan ruang juga rasa.
pernah di suatu siang..

Senin, 10 Desember 2012

Belajar dengan Kamera #3

Yudi & Novi
Pantai Geger, Bukit Unggasan. 24 Oktober 2012

Yudi & Novi
Pantai Balangan,24 Oktober 2012

Yudi & Novi
Pantai Balangan, 24 Oktober 2012

_Surat Kecil Untuk Para Agen_



Dear 2 Agen,,
Apa kabar langit hari ini?
Aahhh.. iya, aku lupa bahwa kisah tentang agen sementara ditutup. Tapi, tak apa ‘kan Jika aku tuliskan ini untuk kalian? Sekalipun aku bukan agen. Tak pula ingin dan berniat jadi agen. Aku yang hanya jadi aku.
Dan surat ini akan menjadi harta dikemudian hari yang akan aku gali-gali lagi.

Hari ini aku melihat langit cerah. Samakah di tempat kalian?
Aku melihatnya dan tengadah. Tapi aku tak melihat kalian. Yang aku lihat hanya rindu-rindu yang tergantung.
Sungai ini, bahkan mengingatkan aku tentang kisah misi kalian. Misi dari agen-agen Neptunus. Misi yang entah apa.

*Untuk Agen 1:
Ternyata semakin banyak surat-suratku untukmu. Surat yang berisi rangkaian dari ratusan kisah yang telah kita bagi. Juga tentang daratan dan langit  yang sering kamu ceritakan kepadaku. Ratusan hari itu, mulai membuatkan sebuah ruang yang entah darimana dan dengan cara apa seperti menyeret kita untuk selalu terikat. “ada apa dengan kita ya kk?” sebuah pertanyaan yang pernah kamu lontarkan kepadaku. Pertanyaan yang tak pernah mampu aku jawab. Pertanyaan yang hanya akan menggantung tanpa harap.

Aku bukan agen. Nyatanya memang demikian. Tapi, ada apa dengan kita? Aku bahkan tak punya radar. Tidak seperti kalian, yang terhubung oleh radar tak tampak yang diberikan oleh Neptunus.
Lalu, ada apa denganku?
Dunia imaji yang bisa aku warnai dengan asumsi-asumsi gilaku mulai memenuhi pemikiran dan kadang menutup yang mereka sebut ‘akal’. “Mungkin di suatu masa terdahulu kita pernah terikat janji entah apa yang membuat kita terikat begitu kuat pada akhirnya.” Atau “ada memori yang entah bisa disebut apa yang mulai berkumpul dan mempertemukan kita untuk saling melengkapinya.” Tak ada yang mengerti, kita atau bahkan dia. Yang menjadi jalan kita bertemu dalam ruang virtual ini. Ya, dia –rekan agenmu-.
Situasi kita saat ini seperti tercebur dan larut dalam rasa yang tumbuh menjadi begitu dalam. Rasa menyayangi yang entah dimulai sejak kapan. Rasa yang bahkan membuat kita saling mengenali melebihi batas wajar.  Sebuah komitmen rasa yang bebas. Bebas bahkan untuk saling berbagi sedih, kecewa, juga cinta.
Benar, bahkan untuk berbagi cinta.
Lalu ada apa sebenarnya dengan kita?

*Untuk Agen 2:
Aku bahkan masih bermunafik dengan ego ku sampai saat ini. Kau mungkin tak tahu, tak pernah tahu bahkan tak ingin tahu. Tak apa, aku juga tak berharap kau akan tahu.
Aku yang entah dengan cara ajaib apa bisa terikat dengan simpul kalian para agen. Aku yang nyata-nyata bukan seorang agen. Aku juga tak punya misi apa-apa. Tapi aku merasa makin terseret dengan imbas radar kalian. Apa mungkin karena kita pernah terikat komitmen dalam rasa?
Sampai akhirnya memori itu yang membuatkan semacam celah untukku terseret masuk dalam ranah kalian. Mungkin. Dan mungkin juga tidak. Kau bahkan mungkin tak akan pernah bisa percaya, bahwa aku bisa berada bebas di ranah kalian. Mengamati tiap pencapaian kalian para agen.
Munafik. Konyol. Berlebihan. atau apalah, terserah pada penilaian apa yang ada dalam benakmu.
Tapi nyatanya, aku menyayangi kalian berdua, para agen Neptunus.
Kamu dan dia yang datang seperti aliran air tenang dan perlahan. Meresap dalam tiap celah yang aku punya. Lalu memporak-porandakan segala isi yang ada di dalamnya.
Sampai saat ini pun mungkin kau tak pernah tahu berapa kisah yang aku dan rekan agenmu bagi. Yang membuatku terhenyak dalam serakan yang kalian buat. Jangan kamu berpikir bahwa ada pengkhianatan darinya. Karena dia adalah sebagian jiwamu yang sudah menjadi bagian dalam diriku.
Dan aku akan tetap dalam batas tirai. Menganggap kau tak akan pernah tahu. Karena sepertinya kau juga ‘masih’ menganggapku tak akan tahu.

Kalian adalah bagian dari hidup yang hadir bahkan tak terbaca. Yang mencoba menemukan misi kalian. Dengan komitmen abadi yang kalian miliki. Dalam dunia yang bahkan tak tersentuh. Mengalir, dan meresapi yang kalian lewati. Iya, karena kalian agen Neptunus.
Lalu aku, hanyalah aku. Menapak, yang menjadi pelengkap juga saksi bahwa kalian ada.
Dan aku akan tetap berada di tempatku. Menempati ruang dalam celah antara maya juga nyata. Bersama partikel-partikel rindu untuk kalian para agen. Untuk menemukan misiku sendiri dalam ranah kalian. Mengumpulkan tiap memori yang ada dalam simpul-simpul maya.
Tapi izinkan aku bertanya, “sampai kapan?”
Barangkali saja Neptunus memberitahukanya pada kalian.

Salam rindu, untuk kalian para agen.

Jumat, 07 Desember 2012

Bukan Surat yang Tak Pernah Sampai




.....73,,
Mungkin sudah seharusnya untuk ku beranjak. Saat yang aku rasa tepat, sedari beberapa waktu lalu, saat dimana aku dengan yang aku putuskan, untuk segera ‘berhenti’.
Harusnya sudah aku kembalikan sayapmu sejak itu.
Tak lagi mengikatmu dengan tanpa ikatan. Dan bukan berarti ini akan berakhir. Bukan pula berarti bahwa apa yang aku punya akan aku hapuskan. Tidak.. dan tidak untuk selamanya.

Kuhitung tiap gelap dalam samar. Berharap bahwa hari akan lebih cepat berhenti. Untuk ku. Karena gelap yang selalu menemaniku, gelap yang mengantarkanmu. Gelap yang selalu menyiapkan ruangmu.

Dear,,
Apa kabarmu semalam tadi?
Suatu hari,  mungkin tak lagi bisa kau ucapkan kata yang menjadi canduku. Tidak pula bisa lagi aku, kau datangi saat malam tak memberimu nyaman.
 Tak lagi.. Tak akan lagi.. Tak pernah lagi.
Ini kah saat aku harus segera pergi?
Lalu hanya kembali pada tempat ku.
Tempat yang hanya dapat melihat punggungmu.
Memerhatikan tiap pencapaianmu.
Lalu hanya menuliskan tiap rindu dalam lembar-lembar surat lain yang tak lagi dapat aku sampaikan padamu.
Menyimpannya tanpa harap suatu hari kau akan membacanya lagi.

Aku, yang hanya ada dalam samar. Dalam tautan virtual yang mengikatku dengan memori.
Aku, yang hanya mampu menatap langit yang sama dalam ruang yang berbeda.
Aku, yang hanya akan menyimpan semuanya.
Dan aku, yang selalu merindukanmu.

Dear,,
Ini mungkin tak akan jadi surat terakhir. Tak pula bisa aku pastikan, akankah ada surat yang aku sampaikan kepadamu. Tak ada yang tahu. Dan aku pun tak akan pernah tahu.

Maafkan aku...

Maaf karena telah meyeretmu dalam simpul ini... lagi..
Maaf, karena tak bisa pula aku pastikan bahwa aku tak akan lagi merindukanmu.
Maaf, karena tak pula aku berusaha membenamkannya.
Maaf, karena selalu mengusikmu.
Maaf... maafkan aku..

Rabu, 21 November 2012

Hujan Tentang Musim Penghujan



.....hujan...
Kuperhatikan tetes air masih menempel di lantai rumahku.
angin bahkan membawanya masuk ke dalam kamarku.
.... hujan...
Aku masih mengingat dengan jelas, rasa saat hujan, saat aku telusuri tiap lekukan jalan..
tanjakan.. lalu ranting-ranting patah di jalanan.
yang paling bisa aku ingat adalah bau hujan.
Sekalipun dingin yang mesti tiap hari aku tahankan.
Aku rindu bau hujan.

Suara di telinga belum berhenti berteriak melantunkan nada-nada, lirik-lirik tak jelas dalam bahasa yang tak pernah aku pahami.
Tapi bau hujan, menemaniku ‘memahaminya’.
Memahami bahwa nyatanya, aku sedang berjalan sendirian.
Dingin.
Karena musim mungkin belum berdamai dengan kulitku.
Bahagia, karena nyatanya hujan yang satu-satu nya tak pernah meninggalkan tempatnya. Selalu berbagi teduh pada ranting, daun, dan ........aku.
 suatu hari, musim ini akan berhenti. Lalu tak akan ada hujan lagi. Tapi bukankah hujan tak akan pernah hilang?”
Aku suka hujan..
Aku suka bau hujan..
Aku suka caranya menyapa..
Sekalipun pernah ia menamparkan perih keras di kulit wajahku.
Aku suka udara dingin yang bersamanya. Aku suka.

Dan kali ini sudah musim penghujan lagi.
Tapi tiap musim tak akan pernah sama. Sekalipun musim yang sama.
Kau boleh menyebutnya siksaan, saat awal musim ini datang.
Terlebih untuk orang sepertiku.
Tapi tidak... meskipun ia menandai kedatanganya, dengan sesak tak terhankan.
Meskipun ia menandainya dengan sakit yang tak akan orang lain bayangkan.
Tapi, ini musim hujan..
Bukankah aku sudah belajar berdamai dengan rasa sakit...??
Ini hujan,,, musim hujan...
Dan aku suka..


Ruang... Remah... Berserakan




“direntang waktu yang berjejal dan memburai,
Kau berikan, sepasang tanganmu
Terbuka dan membiru, genggam..
Di gigir yang curam dan dunia tertinggal dalam membeku
Sungguh.. petang melesat dan udara yang terbakar jauh...”
Ku dengarkan.....
“... seperti tak kan pernah pulang, kau membias di udara
Dan terhempaskan cahaya
Seperti tak kan pernah pulang,
‘tuk langkahmu menarilah di jauh permukaan..”
Paragraf-paragraf,
ku perlihatkan..
meski dalam ruang-ruang samar.
Yang tak terbaca.. tak juga perlu kau baca..
 “tetapi, lelaki setengah gila itu pernah mencintaimu. dg kegelisahannya ketika bersamamu, sedangkan disaat yg sama mungkin saja dia ingin berkelana di tiap sudut kota tua itu, bergumul dg anak jalanan di luar sana. dg debar² ketika bersamamu, sedangkan disaat yg sama hatinya sedang dibakar amarah untuk kaum yg kalah. dg senyum mengembang ketika menyambutmu pulang, sedangkan mungkin saja dia sedang ingin terbang, mengejar hasrat yg timbul tenggelam. dia memang telah terkurung oleh kesabaranmu untuk mengerti betapa sulitnya dia, sedangkan dia sendiri tak pernah sabar untuk mengerti siapa dirinya. oleh kesediaanmu menerima tiap kebodohan yg dia lakukan, sedangkan dia sendiri tak pernah bisa menerima kebodohan² itu. dia terkurung, oleh sayap kebebasan yg kamu gantungkan ketika kamu menyuruhnya terbang, karena itu, ..kadang...sebagian jiwanya hanya ingin berada di sampingmu,

sungguh, sepertinya kamu memang lupa, lelaki yg kamu cintai adalah lelaki setengah gila, lelaki setengah gila yg pernah jatuh cinta padamu, dg hati…”
Nyata... semua tersimpan rapi.
Bahkan teramat rapi, dalam serakan berantakan.

Aku...
Yang tak terbaca, dalam sudut samar
Dalam ruang-ruang kamar,
Ruang... Remah..
Lalu.... kosong...
“....kau sakiti aku,, kau gerami aku
Kau sakiti, gerami, kau benci aku...”
Aku..
Hanyalah yang tak terbaca,
Yang kadang ada, di kemungkinan tak terlihat
“Hujan yang sepi. Mungkin ini hujan terakhir, hujan penghabisan.”
Dan...
Ku dengarkan...
Just want to say thank you, just want to see your smiling face
Already can't turn away, standing in front of my eyes
Want to tell you my happiness right now, and who is important for me at the moment
Thank you for ever meeting you
Trying to remember everything that's happening now, it’s hard for me
But no matter how many time I've stumble
I'll be the one here that describe it to you....”