*Teruntuk saudaraku....
Entah apa yang aku tulis kali ini, mungkin hanyalah sebagian
lembaran lain dari surat-surat tak bertuan. Yang membawakan rangkaian
kalimat-kalimat yang harusnya aku uraikan jauh lebih indah, jauh lebih santun,
dan jauh lebih membawakan tawa. Dan nyatanya memang tidak!. Kalimat-kalimat ini
aku tuliskan begitu saja, tanpa aturan yang menurut orang-orang akan membuatnya
sesuai untuk bisa dinamakan sebuah tulisan. Tapi, aku dan kalimatku ini
bukanlah seperti kalimat orang-orang.
Aku, hanya ingin menyimpan dalam kalimat, lalu mengingatkan
diriku tentang suatu hari. Seperti yang terlalu sering aku lakukan. Meng-copy- semua surat yang pernah ditulis
untukku, olehmu saudaraku. Lalu menyimpannya dalam sebuah folder, untuk dapat
selalu kubaca. Mengingat ‘rasa’ yang kau sampaikan saat itu.
Satu tahun ternyata bisa menjadi waktu yang sangat cepat
bagi kita. Tapi menjadi sangat panjang untuk mengikat semua cerita. Ya,, sangat
panjang. Dan jika aku ingat-ingat lagi. Mungkin sudah ratusan cerita yang
pernah kita ikat dalam satu tahun ini.
Dan.. kali ini pun aku mulai membacanya lagi, surat-suratmu
untuku.
*Surat pertamamu, ‘Gadis Bali’
“ada perasaan haru
menyerbu ketika melihat pemandangan itu. Wajah ayu gadis itu tampak begitu
tulus. Bagaikan sebuah simbol hidup pengorbanan dan pengabdian. Aku tersentuh
dengan ketulusan, kecerdasan, dan kedewasaannya. Dia mempunyai pemikiran yang
bijak dan mendalam, perasaannya halus
sekaligus tajam.”
Dan ternyata ini bukan surat pertamamu. Tapi aku benar2
terharu. Kau melihatku, bahkan saat aku tak melihat diriku sendiri. Saat kau
kirimkan surat ini, aku temukan banyak tawa. Aku temukan banyak senyumanmu,
keperayaanku. Ya. Dan terima kasih karena telah mau mengenalku.
**Surat Kedua, (atau entah surat keberapa) ‘Surat Untuk
Gadis Manis di Sebrang Pulau’
“. dia memang telah
terkurung oleh kesabaranmu untuk mengerti betapa sulitnya dia, sedangkan dia
sendiri tak pernah sabar untuk mengerti siapa dirinya. oleh kesediaanmu
menerima tiap kebodohan yg dia lakukan, sedangkan dia sendiri tak pernah bisa
menerima kebodohan² itu. dia terkurung, oleh sayap kebebasan yg kamu gantungkan
ketika kamu menyuruhnya terbang, karena itu, ..kadang...sebagian jiwanya hanya
ingin berada di sampingmu,
sungguh, sepertinya kamu memang lupa, lelaki yg kamu cintai adalah lelaki setengah gila, lelaki setengah gila yg pernah jatuh cinta padamu, dg hati…”
sungguh, sepertinya kamu memang lupa, lelaki yg kamu cintai adalah lelaki setengah gila, lelaki setengah gila yg pernah jatuh cinta padamu, dg hati…”
Dan benar.. aku telah menjadi lupa. Lalu kau mengingatkanku,
kau membantuku berdiri, kau membantu ku sekedar menyangga tubuhku. Dan nyatanya
aku terlalu sering meminjam pundakmu. Bukankah kali ini kau melihat, aku tak
seperti yang kau katakan dalam surat pertamamu??
Saat membaca suratmu, ada haru yang memuncah, amarah yang coba
aku simpan, semuanya. Lalu aku hanya dengan kesunyian.
** Surat berikutnya (satu dari sekian banyak yang aku
simpan) ‘Paragraf Sunyi’
Surat yang kau kirimkan untukku saat natal. Kau tahu, aku
berjuang keras membaca suratmu kali ini. Bukan karena apa yang kau tuliskan.
Tapi, karena aku harus berjuang menyembunyikan tangis dan haruku dari beberapa
pasang mata yang kala itu sedang menatapku heran.
Jika aku ingat sekarang, aku jadi ingin tertawa, betapa
konyolnya diriku. Saat malam yang harusnya penuh dengan tawa orang2 di
sekitarku. Aku malah duduk di sudut sendirian dengan haru dan air mata yang
tiba2 saja menetes. Membayangkan lagi betapa heranya orang-orang saat itu
melihatku. Hahaha..
Membaca suratmu kali ini membuatku berpikir bahwa, pada
akhirnya kau bisa menyampaikan semuanya. Menyampaikan surat-surat tak bertuan
yang sejak lama telah kau simpan. Ada kelegaan dalam diriku membacanya. Karena
aku membayangkan pada akhirnya ada tempatmu untuk sekedar membagikan aduanmu.
Kau mungkin tak tahu, aku menyimpan semuanya. Meski sebagian
hanya akan aku simpan dalam kotak memori. Lalu kali ini yang aku temukan tak
hanya tawa. Berangsur-angsur bisa aku rasakan kegetiran dalam surat-suratmu.
Dan aku sadari, betapa panjangnya waktu satu tahun yang aku
lalui bersamamu. Waktu yang pada akhirnya membantuku juga kamu untuk menemukan
jawaban tentang kita. Tidakkah kau lihat, saudaraku? Mulai ada beberapa
pertanyaan yang mulai akan terjawab. Meskipun juga memunculkan terlalu banyak
pertanyaan pada akhirnya. Aku masih sangat ingat saat kau berkata “mungkin kk akan menjadi sebuah jawaban”. Aku??? Tidak.. tentu tidak, saudaraku.
Yang aku temukan kali ini adalah bahwa Dia pada akhirnya
mengikat kita dalam simpul yang tak akan pernah terjawab, yang tak akan pernah
terurai. Lalu kenapa tak kita biarkan saja simpul ini terikat menjadi lebih
erat. Memang harus aku akui akan sangat menyesakkan kadang-kadang. Tapi, itu
mungkin bisa menjadi solusi yang akan membuat waktu tetap bersamamu, juga
bersamaku.
Pada akhirnya, Dia membuatku bisa melihatmu. Saat aku tak memintanya tentu saja. Lalu kenapa tak kita nikmati saja simpulNya ini. Kita jalankan apa yang bisa kita jalankan. Aku tak akan berpikir untuk mengurai lagi, karena hanya akan menjadi pelarian yang sangat panjang. Dan tidakkah kau lelah berlari, saudaraku?
Duduklah sebentar dan lihat, tanganku juga tanganmu masih akan tetap seperti ini.
Pada akhirnya, Dia membuatku bisa melihatmu. Saat aku tak memintanya tentu saja. Lalu kenapa tak kita nikmati saja simpulNya ini. Kita jalankan apa yang bisa kita jalankan. Aku tak akan berpikir untuk mengurai lagi, karena hanya akan menjadi pelarian yang sangat panjang. Dan tidakkah kau lelah berlari, saudaraku?
Duduklah sebentar dan lihat, tanganku juga tanganmu masih akan tetap seperti ini.