Perempuan
itu masih disana. Di tempat ia terbiasa membias dalam warna. Semakin hari aku
perhatikan tak benar-benar ada yang berubah darinya. Rambut hitam panjang
menjuntai, bergelayut dalam maya. Jari yang sesekali mesti menyibak lalu membelah. Kaki-kainya terikat dan tertahan. Bibirnya terpaku oleh pengabdian. Pagar-pagar mulai membayang-bayang di sekelilingnya.
Aku masih ingat saat satu kali itu, aku berjalan berniat untuk mengintip dengan
rasa penasaran tentang penampakan senja yang kata orang sangat menawan. Aku mulai
dari menyiapkan segala perlengkapan yang aku punya. Aku lipat beberapa lembar
kertas dan aku masukan ke dalam tas bersama dengan kamera yang selalu aku bawa.
Sesungguhnya
ada banyak sekali tempat yang bisa aku datangi untuk mengintipi senja. Tapi temanku
pernah berkata, senja yang paling bisa menawanmu akan datang dan akan tertahan
beberapa saat hanya di sana. Dan benar saja. Aku datangi tempat yang ia
sarankan. Senja yang datang kali ini benar-benar menawan. Memenjarakan kekagumanku
disana. Berulang kali aku tekan shutter kameraku. Aku simpan senja itu dalam
pigura. Berharap, ia tak akan bisa hilang jika sudah aku abadikan disana. Kuamati
tiap titik dan detik ia datang. Senja benar-benar menawan. Benar-benar
memenjarakan. Kaki ku tak lagi tahu arah mata angin, ia lepas dan hanyut dalam
tarian angin. Jalan setapak yang aku lalui ini makin menarikku untuk segera
mendekati senja.
Semak
belukar, lalu pohon-pohon mungkin sengaja menjadi tirai dalam lingkup waktu
yang tak pernah aku tahu. Semakin meninggi di tiap detik yang dilewati. Atau mungkin
memang dengan sengaja menyimpan sebuah titik dalam rentang yang tak mesti
disimak orang. Seperti halnya keberadaan perempuan itu.
Rupa-rupanya
aku bukan menjadi satu-satunya orang yang tertawan oleh senja yang datang. Terpenjara
dalam kekaguman.
Angin
masih menari. Satu per satu butiran pasir ikut dan larut dalam tariannya. Tapi,
tak juga mampu membuat perempuan itu keluar dari penjaranya. Mungkin jadi
jaminannya belum terbayarkan. Atau ada hukum yang sedang ditegakkan alam. Inikah
sisi tentang alam yang menawan?
Aku
terpana, bukan hanya karena senja datang lalu membuatku menjadi tawanan. Tapi karena,
ada sebuah siluet yang tak semestinya masih terpenjara disana.
“Panjangkah lintasan
dalam lingkaran yang mesti ia jalankan? Sehingga angin belum juga membayarkan
jaminan untukmu, perempuan. Tidakkah ada pembelaan yang mampu membuatnya
terangkat dan segera diringankan? Ini kah hukum alam, yang membuatnya masih
dalam penantian.”
Aku
tak pernah mengenalnya. Tapi dalam tiap pertemuanku dengan senja, selalu saja ada
siluet perempuan terpatri disana. Pernah aku mengira ia hanya mengisi waktu
luangnya selepas bekerja. Tapi lambat laun, dari hari ke hari berikutnya angin
membisikkan ceritanya padaku. Tentang apa yang ia jadikan pengabdian. Tentang lingkaran
yang ada dalam ruangnya. Ia perempuan yang hanya menunggu senja datang.
“Hei, perempuan. Sudah berapa banyak sinar yang kamu simpan
darinya. Senja ini selalu sama. Tidakkah kamu akan bosan. Ia hanya senja, yang
hanya datang untuk menghilang. Kemari dan berdirilah. Segera jaminkan dirimu
untuk terbebas dari tawanan.”
Angin
segera menyekat tenggorokanku untuk berteriak padanya. Ia berbisik dalam jarak
yang aku sadari tak akan ada. Ia segera menahan lenganku untuk merangkulkan
kenyamanan padanya. Ia yang tak pernah berkata-kata.
“Kamu tak akan tahu ataupun paham. Senja tak pernah menawannya. Ia hanya
perempuan. Dan pengabdian menjadikannya perempuan. Kamu juga tak akan paham. Ia
tak memerlukan jaminan. Penerimaan telah melebihi pembayaran. Dan itu
menjadikannya tertawan. Tidakkah kamu juga paham sekarang? Tentang betapa bebasnya
ia dalam pembayarannya.”
Seperti
yang angin katakan, rupanya ia sangat melebihi paham. Dalam tarian ia jalankan
menjadi pengabdian. Lalu kamu, perempuan, dalam pengabdian juga pembayaran. Dan
kini aku yang telah menjadi tawanan. Dalam sebuah titik saat batas senja datang
lalu menghilang. Dalam sebuah bayangan tentang menjelang petang. Dalam lingkaran
yang kamu perlihatkan, perempuan.