Sabtu, 29 Maret 2014

Perempuan dalam Tawanan



Perempuan itu masih disana. Di tempat ia terbiasa membias dalam warna. Semakin hari aku perhatikan tak benar-benar ada yang berubah darinya. Rambut hitam panjang menjuntai, bergelayut dalam maya. Jari yang sesekali mesti menyibak lalu membelah. Kaki-kainya terikat dan tertahan. Bibirnya terpaku oleh pengabdian. Pagar-pagar mulai membayang-bayang di sekelilingnya. Aku masih ingat saat satu kali itu, aku berjalan berniat untuk mengintip dengan rasa penasaran tentang penampakan senja yang kata orang sangat menawan. Aku mulai dari menyiapkan segala perlengkapan yang aku punya. Aku lipat beberapa lembar kertas dan aku masukan ke dalam tas bersama dengan kamera yang selalu aku bawa.

Sesungguhnya ada banyak sekali tempat yang bisa aku datangi untuk mengintipi senja. Tapi temanku pernah berkata, senja yang paling bisa menawanmu akan datang dan akan tertahan beberapa saat hanya di sana. Dan benar saja. Aku datangi tempat yang ia sarankan. Senja yang datang kali ini benar-benar menawan. Memenjarakan kekagumanku disana. Berulang kali aku tekan shutter kameraku. Aku simpan senja itu dalam pigura. Berharap, ia tak akan bisa hilang jika sudah aku abadikan disana. Kuamati tiap titik dan detik ia datang. Senja benar-benar menawan. Benar-benar memenjarakan. Kaki ku tak lagi tahu arah mata angin, ia lepas dan hanyut dalam tarian angin. Jalan setapak yang aku lalui ini makin menarikku untuk segera mendekati senja.

Semak belukar, lalu pohon-pohon mungkin sengaja menjadi tirai dalam lingkup waktu yang tak pernah aku tahu. Semakin meninggi di tiap detik yang dilewati. Atau mungkin memang dengan sengaja menyimpan sebuah titik dalam rentang yang tak mesti disimak orang. Seperti halnya keberadaan perempuan itu.
Rupa-rupanya aku bukan menjadi satu-satunya orang yang tertawan oleh senja yang datang. Terpenjara dalam kekaguman.

Angin masih menari. Satu per satu butiran pasir ikut dan larut dalam tariannya. Tapi, tak juga mampu membuat perempuan itu keluar dari penjaranya. Mungkin jadi jaminannya belum terbayarkan. Atau ada hukum yang sedang ditegakkan alam. Inikah sisi tentang alam yang menawan?

Aku terpana, bukan hanya karena senja datang lalu membuatku menjadi tawanan. Tapi karena, ada sebuah siluet yang tak semestinya masih terpenjara disana.
“Panjangkah lintasan dalam lingkaran yang mesti ia jalankan? Sehingga angin belum juga membayarkan jaminan untukmu, perempuan. Tidakkah ada pembelaan yang mampu membuatnya terangkat dan segera diringankan? Ini kah hukum alam, yang membuatnya masih dalam penantian.”

Aku tak pernah mengenalnya. Tapi dalam tiap pertemuanku dengan senja, selalu saja ada siluet perempuan terpatri disana. Pernah aku mengira ia hanya mengisi waktu luangnya selepas bekerja. Tapi lambat laun, dari hari ke hari berikutnya angin membisikkan ceritanya padaku. Tentang apa yang ia jadikan pengabdian. Tentang lingkaran yang ada dalam ruangnya. Ia perempuan yang hanya menunggu senja datang.
Hei, perempuan.  Sudah berapa banyak sinar yang kamu simpan darinya. Senja ini selalu sama. Tidakkah kamu akan bosan. Ia hanya senja, yang hanya datang untuk menghilang. Kemari dan berdirilah. Segera jaminkan dirimu untuk terbebas dari tawanan.

Angin segera menyekat tenggorokanku untuk berteriak padanya. Ia berbisik dalam jarak yang aku sadari tak akan ada. Ia segera menahan lenganku untuk merangkulkan kenyamanan padanya. Ia yang tak pernah berkata-kata.
Kamu tak akan tahu ataupun  paham. Senja tak pernah menawannya. Ia hanya perempuan. Dan pengabdian menjadikannya perempuan. Kamu juga tak akan paham. Ia tak memerlukan jaminan. Penerimaan telah melebihi pembayaran. Dan itu menjadikannya tertawan. Tidakkah kamu juga paham sekarang? Tentang betapa bebasnya ia dalam pembayarannya.”

Seperti yang angin katakan, rupanya ia sangat melebihi paham. Dalam tarian ia jalankan menjadi pengabdian. Lalu kamu, perempuan, dalam pengabdian juga pembayaran. Dan kini aku yang telah menjadi tawanan. Dalam sebuah titik saat batas senja datang lalu menghilang. Dalam sebuah bayangan tentang menjelang petang. Dalam lingkaran yang kamu perlihatkan, perempuan.

2 komentar: