Entah sudah berapa
kali, ada keresahan dalam tiap kali gambaran yang kau perlihatkan padaku. Dan
semalam tadi, ku perhatikan sepatu yang aku pinjamkan kepada gadis itu, sepatu
hitam, butut yang aku pinjamkan. Dan akhirnya aku tanpa alas kaki. Debu, pasir menempel.
Ku lihat kolam jernih lalu aku cuci, ku celupkan kaki ku, sejuk.
Dan aku naiki bukit
itu, bersama kerikil, batu dan pasir di telapak kaki. Aku temui mereka, mereka,
dan gadis itu. Gadis yang aku pinjamkan sepatu. Ia kembalikan, iya, karena aku
memintanya, sepatu butut yang pas di kakiku. “tuh kan? Memang pas nya di kakiku” seru ku. Kuperhatikan sepatu di
kakiku.
Lalu gambar segera Kau
ganti. Kali ini aku melihat diriku di jalan itu. Di depan rumah seorang teman.
Dan siapa dia? Yang seolah ingin jahat padaku. Perasaan terancam apa ini? Dan
dr mana datangnya api itu? Tanganku? Dari tanganku? Ingin kubakar dia, yang
mengancamku. Dia yang tak terlihat dan tak kutahu. Aku susuri ujung jalan. Yang
aku ingat kali ini ada api di depan rumah itu. Lalu dari mana datangnya? Tanganku
memadamkannya. Ku toleh ke kanan. Ku perhatikan. Ayah. “Begini caranya membuat api” kataku, tapi pada siapa. Ku keluarkan
api dari ujung keris itu.
“pergilah ambil keris dan bawa ke
tempat orang itu, minta dia perbaiki.” Ujar Ayah. Keris? Bukankah senjata
yang meliuk itu sudah di tanganku? Tangan kananku. Dan satu lagi yang diminta
itu di tangan kiriku. “iya”. Jawab ku.
Kuperhatikan lama. Besi karatan, tertekuk, dan ingin diperbaiki.
Aku susuri jalanan, turunan. Dan semua gelap. Saudaraku, kenapa dengan saudaraku. Matanya kosong. Seolah diperdaya. Siapa yang mengerjainya? Siapa yang melakukannya? Siapa mereka?
Aku tarik tangan saudaraku.
Aku bangunkan ia. Dan sekali lagi aku susuri jalanan itu. Jalanan turunan. Gelap,
tapi setidaknya kali ini aku waspada, aku gendong saudaraku beserta keris itu. Masih
keris penuh karat dan juga keris di tangan kananku. Ada yang berteriak di
belakang ku. Ku perhatikan langit, bukan di atas pohon. Iya, di atas pohon
melompat. Banyak. Terlalu banyak. Seperti memperhatikan kami. Atau ingin
mengerubuti kami. Tetap, dan perjalanan masih aman bersama saudara ku di bahu.
Ibu. Ibu bersamaku. Begitu
pula dengan ayah. Dari mana ibu mendapat seikat janur itu? Lalu rumah ini? Rumah
siapa? Aku tahu, beberapa primata itu berkeliaran. Dan Orang itu. Rumahnya kah?
“bi, boleh aku turunkan batu yang ada di pelinggih
itu?”. Tanpa menyentuhnya. Aku ungkit tiang dari dasarnya. Menggelinding. Batu.
Ku toleh. Ibu. Dikerubuti primata. “tidak ibu. Jangan ambil dulu janur itu.” Ku
tarik tangannya. Ku genggam sebagian janur. Aku tepis primata itu. Dan semua
berganti.
Kali ini, aku seperti
di rumah. Tapi rumah siapa? Aku menunggu siapa? Rombongan datang. Pria itu,
pria kurus yang tak ku kenali. Memakai baju putih. Dan katanya “oh ini ya,
sulisthia. Akhirnya ketemu juga”. Siapa dia? Aku masih dengan ramahku. Tak kuperhatikan,
tak ku hiraukan, siapa dia? Nyatanya kami memang merasa ‘kenal’.
Lalu gambar Kau
hentikan.
Dan sekali lagi aku
dengan tanyaku. Dengan keresahanku tentang jawaban.