Kamis, 27 September 2012

Gambar Tentang Tanya


Entah sudah berapa kali, ada keresahan dalam tiap kali gambaran yang kau perlihatkan padaku. Dan semalam tadi, ku perhatikan sepatu yang aku pinjamkan kepada gadis itu, sepatu hitam, butut yang aku pinjamkan. Dan akhirnya aku tanpa alas kaki. Debu, pasir menempel. Ku lihat kolam jernih lalu aku cuci, ku celupkan kaki ku, sejuk.
Dan aku naiki bukit itu, bersama kerikil, batu dan pasir di telapak kaki. Aku temui mereka, mereka, dan gadis itu. Gadis yang aku pinjamkan sepatu. Ia kembalikan, iya, karena aku memintanya, sepatu butut yang pas di kakiku. “tuh kan? Memang pas nya di kakiku” seru ku. Kuperhatikan sepatu di kakiku.

Lalu gambar segera Kau ganti. Kali ini aku melihat diriku di jalan itu. Di depan rumah seorang teman. Dan siapa dia? Yang seolah ingin jahat padaku. Perasaan terancam apa ini? Dan dr mana datangnya api itu? Tanganku? Dari tanganku? Ingin kubakar dia, yang mengancamku. Dia yang tak terlihat dan tak kutahu. Aku susuri ujung jalan. Yang aku ingat kali ini ada api di depan rumah itu. Lalu dari mana datangnya? Tanganku memadamkannya. Ku toleh ke kanan. Ku perhatikan. Ayah. “Begini caranya membuat api” kataku, tapi pada siapa. Ku keluarkan api dari ujung keris itu.
pergilah ambil keris  dan bawa ke tempat orang itu, minta dia perbaiki.” Ujar Ayah. Keris? Bukankah senjata yang meliuk itu sudah di tanganku? Tangan kananku. Dan satu lagi yang diminta itu di tangan kiriku. “iya”. Jawab ku. Kuperhatikan lama. Besi karatan, tertekuk, dan ingin diperbaiki.

Aku susuri jalanan, turunan. Dan semua gelap. Saudaraku, kenapa dengan saudaraku. Matanya kosong. Seolah diperdaya. Siapa yang mengerjainya? Siapa yang melakukannya? Siapa mereka?
Aku tarik tangan saudaraku. Aku bangunkan ia. Dan sekali lagi aku susuri jalanan itu. Jalanan turunan. Gelap, tapi setidaknya kali ini aku waspada, aku gendong saudaraku beserta keris itu. Masih keris penuh karat dan juga keris di tangan kananku. Ada yang berteriak di belakang ku. Ku perhatikan langit, bukan di atas pohon. Iya, di atas pohon melompat. Banyak. Terlalu banyak. Seperti memperhatikan kami. Atau ingin mengerubuti kami. Tetap, dan perjalanan masih aman bersama saudara ku di bahu.

Ibu. Ibu bersamaku. Begitu pula dengan ayah. Dari mana ibu mendapat seikat janur itu? Lalu rumah ini? Rumah siapa? Aku tahu, beberapa primata itu berkeliaran. Dan Orang itu. Rumahnya kah? “bi, boleh aku turunkan batu yang ada di pelinggih itu?”. Tanpa menyentuhnya. Aku ungkit tiang dari dasarnya. Menggelinding. Batu. Ku toleh. Ibu. Dikerubuti primata. “tidak ibu. Jangan ambil dulu janur itu.” Ku tarik tangannya. Ku genggam sebagian janur. Aku tepis primata itu. Dan semua berganti.

Kali ini, aku seperti di rumah. Tapi rumah siapa? Aku menunggu siapa? Rombongan datang. Pria itu, pria kurus yang tak ku kenali. Memakai baju putih. Dan katanya “oh ini ya, sulisthia. Akhirnya ketemu juga”. Siapa dia? Aku masih dengan ramahku. Tak kuperhatikan, tak ku hiraukan, siapa dia? Nyatanya kami memang merasa ‘kenal’.
Lalu gambar Kau hentikan.
Dan sekali lagi aku dengan tanyaku. Dengan keresahanku tentang jawaban.

Rabu, 26 September 2012

Surat Tentang Ingin


Senja berganti lagi. Tapi kali ini terasa lebih panjang. Lebih sesak, dan lebih.. sepi.. Terduduk dan tengadah mencari-cari dalam luas langit. Kali saja ada sebuah jawaban yang akan langit berikan, sehingga bisa aku lingkarkan pelangi lagi dan untuk selama usiaku.
Tak pernah lagi aku ingat, berapa kali angin menerpakan debu di mukaku. Berapa kali angin mengoyak rambutku. Dan aku masih terduduk dan tengadah. Berharap tak ada lagi musim penghujan. Dan berharap ada warna yang aku temukan, di langit.

Aku tahu, saat aku terduduk ada Kamu, dan selalu. Memelukku dengan ke’aku’anMu. Dan disaat itu aku tahu, aku selalu dapat bertanya padaMu. Aku rebahkan diri padaMu.
 “apa musim penghujan akan kau hentikan? Jika aku memintanya?” tanyaku.
 “Lalu jika aku meminta kau lukiskan lagi indahmu di langit ku, apa akan segera kau buatkan?” “dan jika aku memintamu untuk memberi ku gerbong yang sama dengannya, apa akan kau berikan?” sekali lagi Kau hanya diam. Hanya peluk yang mampu aku rasakan.
Aku selalu bermanja padaMu. Sekalipun aku sering tak mengunjungiMu. Sekalipun tak pernah Kau lepaskan pelukanMu. “Aku ingin melihat pelangi. Aku ingin melihatnya. Aku ingin tetap melihatnya. Sampai Kau katakan cukup untuk ku dapat melihat juga merasa.” Tanpa ku sadari, bahuMu basah oleh tetesan yang entah datang dari mana. Yang entah sudah berapa lama.
“Aku menginginkannya tetap ada. Aku ingin dia tetap ada. Aku masih ingin dengan manjanya. Aku masih ingin bersama tangisnya. Aku bahkan ingin dalam gerbong yang sama.” Aku merengek padaMu. Dan selalu begitu. 

Gerbong yang sama. “Jika laju kereta harus Kau jalankan, kenapa dalam gerbong yang berbeda-beda,  kenapa Kau tunjukkan ruang dalam gerbong sebelah?” “Kenapa tak kau buatkan saja hanya satu gerbong panjang yang akan membuatku juga dia ada dalam nyata.”
Dan Kau masih juga diam.  Kali ini aku meminta terlalu banyak padaMu. Dan masih ku rebahkan diriku, bermanja padaMu.
Aku tahu, saat aku meminta itu padaMu, akan ada banyak tangis dan kecewa yang malaikatMu rasakan. Dan selamanya itu akan aku tanamkan pada mereka. Malaikat tempat Kau menitipkanku.
Jika ada satu ruang tempat aku dan dia bisa membangun dunia, dunia yang akan aku dan dia warna bersama. Melanjutkan mimpi-mimpi yang pernah kami buat bersama. Aku ingin memintanya padaMu. Sebuah dunia yang bisa kami tinggali tanpa ada tekanan, dan tersentuh rasa kecewa dari para malaikatmu. Aku ingin Kau buatkan itu. Sekalipun itu berarti akan segera kau hentikan perjalananku, akan segera Kau membuatku tak melihat, mendengar pula merasa.
Karena setidaknya, tak ada lagi sakit . Tak ada lagi tangis. Dan yang ada hanya ‘rindu’.

Minggu, 23 September 2012

~~~

Nampak punggung lusuh.. 
Kuperhatikan,, kuperhatikan..
Tidak dan bukan sakit yg mencoba kau kenalkan,
kudengarkan,, belajar untuk mendengarkan..
Dan tanya yang kau usung, pula ragu yg kau pangku..
Tapi ingatkan pula bahwa rasaku mengikutimu.. 

Memegangi ujung baju, berkerut..
 Dan jangan takut.. 
Kadang akan kulonggarkan tapi jangan takut.. 
Karena hanya tak ingin robek dalam genggam ku..
Sekalipun lusuh, 

kuperhatikan dan akan ku genggam..
Pula akan tetap kuhitung jengkal dalam bayangan


Lalu perhatikan.. 

Dan perhatikan..

Kamis, 20 September 2012

Pesawat Kertas





"Pesawat Kertas"
Berawal dari sebuah tulisan milik saudaraku.. imajinasi tentang pesawat kertas muncul.. sebuah realisasi dari imajinasi.. tentang kumpulan-kumpulan surat...
kepada mereka,, siapa saja yang membuat hidup ku.. yang menorehkan warna dalam tiap lembar kanvas hariku.. Terima kasih untuk kalian..

Dedicate to: My lovely Dean dan saudaraku Dian


Minggu, 09 September 2012

Surat Untuk, D

Dear..
Ternyata angin masih berhembus sama..
Meski musim penghujan telah usai dalam waktunya,
guratan warna masih aku coba torehkan dalam ruang,
sekalipun akan ada jeda-jeda.
Tapi dear...
Torehan-torehan itu, torehan warnamu.

Sekali waktu, aku akan menjadi 'lain'.. Bukan dengan aku yang sekarang, karena nyatanya aku tak pernah ada dalam keadaan yang sama.
Ada tanya yang selalu terlintas, "adakah ruangmu akan tetap sama untukku? Adakah ruang itu ada untukku?"
remah-remah rindu dalam kata-kata mu sewaktu itu, mengantarku pada ruangku.. Ruang yang aku yakini kau buatkan untukku.

Dear,,
sekalipun suatu hari nanti, waktu membuatmu dan aku dalam batas-batas ruang.. Dalam bilik-bilik maya..
Aku tetap dengan ruangmu.. Ruang milikmu yang aku buatkan kala itu..
Ruang yang kusebut.."rindu"

pernah terbayangkan, akan ada berapa tangis yang aku dan kamu temukan..
Mungkin tak akan cukup jika coba aku imbangi dengan tawa yang coba kau perlihatkan..
Tapi dear, bahagia bukan hanya ttg tawa.. Bukan juga hanya tentang senyum...
Tapi bahagia adalah ttg segalanya..
Dan ingin aku temukan ia.. Dalam waktumu.. Dengan ruang mu.. Bersamamu..

Dear....
bdp

Remah Rindu Untuk Pelangi

Kepada angin,,
sajak-sajakku habis..
bolehkah jika kali ini aku kirimkan surat ku padamu..
Surat ttg rinduku..
Lalu ijinkan untuk sejenak dalam resah, aku rasakan rindumu..
Setidaknya agar aku lupa ttg rinduku padanya..
Pada dia yg meminta ruangku saat itu, pada dia yg pernah bersama waktu.. Pada dia yang mengajarkanku mimpi..
Pada dia, torehan warna yang ku namai.. 'pelangi'..

Lalu kepada langit..
Pesawat kertas ku mungkin saja menumpuk untukmu.. Tapi tak ada satupun pesawat kertas yang lupa kutuliskan ttg kisah-kisah dalam mimpi..
Kisahku yang mulai berjalan keluar dari simpulmu.. Tak benar-benar lepas..
Dan akan ku kabarkan padamu, tentang hangat yang ia kenalkan padaku,,
tentang torehan dilangit mu seusai hujan..
Dan betapa aku...

akhirnya,,
untuk pelangi...
Kusampaikan remah-remah rinduku..
Pun dalam waktuku,
dalam sepi yang coba ingin aku resapi..
Karena ini nyata..
Aku... dan jg rindu...

Teriakanku Tertahan

Tak ada lagi surat.. Tumpukan-tumpukan pesawat kertas..
Atap gedung itu tak lg kokoh, lalu aku harus berhenti..
Merogoh jauh dalam-dalam lalu bertanya,
apa gunanya..?
Lalu berkata, adakah maknanya..?
Benar katanya saat itu "ada kalanya kau ingin hanya sekedar untuk dibela, bahkan kau tak pernah meminta nya selalu ada."

kepadamu, yang pernah meminta ruangku,.
Mendiaminya, sesekali ingin aku kirimkan selembar dari pesawat-pesawat ku.
Dan ingin kutanyakan kabar tentang ruangku.
Masihkah kini kau menginginkannya? Sama seperti saat dulu sebelum aku keluar dr lingkaranku.
Seperti saat dulu aku pagari diri dan ruangku.

Lalu kepadamu, yang mencoba menangis bersamaku..
Masihkah telinga mu siap kau pinjamkan?
Seperti dulu saat aku hanya mampu meminjam punggungnya..
Sekalipun aku berteriak, kata yang aku keluarkan hanya 'kebisuan'.
Dan kembali lagi, aku hanya dihadapanku.