Sabtu, 07 Desember 2013

Letter To God #6

Tuhan, nafasku hanya setengah. Bukan berarti aku marah. Tentu tidak padaMu. Ini kuasaMu. Semua partikel yang ada dan menyusunku.
Jariku masih bergetar. Buku-buku tubuhku.
Bukan dengan maksud untuk menyiakan anugrahmu. Mata ini, bibir ini, rambut ini, tangan ini, kaki-kaki. Bahkan pemikiran yang aku pinjam ini.
Serakah dan lancang aku padaMu jika akhirnya aku hanya menangisi apa yang aku rasakan sekarang.
Kamu hanya mengambil setengah. Hanya sebagian dr nafas yang Kau pinjamkan.
Serakah dan lancang bila akhirnya aku memohon-mohon untuk tetap diijinkan bertahan. Bukankah tak ada yang aku miliki?

Tuhan, ada ribuan kata yang mungkin akan selalu dg lancang dan lantang aku utarakan padaMu.
Tapi aku tahu, Kau tak akkan pernah mengusirku. Kau selalu bersamaku.
Pun jika waktu Kau hentikan sekarang, aku siapkan diriku. Karena aku adalah aku. Tak perlu embel-embel apapun untuk menghadap pulang padaMu. Bukankah semua yg ada dan melekat menyusun 'aku' adalah milikmu. Jadi tak pula mesti aku tambahkan apa-apa. Mungkin berkurang, iya. Karena aku tak begitu mahir menjaga apa yang menjadi milikMu ini. Dan karenanya maafkan aku. Jika nanti setelah aku pulang padaMu. Harus ada banyak perbaikan yang mesti Kau lakukan.

Aku menjadi terlalu naif untuk selalu dapat menerima. Bahwa aku berbatas. Seperti halnya kredit yang segera mesti dibayarkan, jika tiba waktunya.
Aku serakah, Tuhan. Menjadi secuil hambaMu aku telah serakah. Telah jadi lancang, memohon-mohon yang bahkan belum tentu benar-benar aku butuhkan.
Maaf yang terakhir dan selalu akan aku utarakan. Bersama juga dengan penerimaan...

Tentang Sore Tadi

Matahari mulai bersembunyi beberapa hari ini. Ada sendu yang sengaja disimpan untuk segera dibagi pada mereka.
Lalu biar saja jalanan jadi basah karenanya. Dan biar pula hanya gerimis yang kadang menjadikannya ada.

Masih aku lanjutkan perjalananku, meski aku tahu, dan diberitahu bahwa hujan harus membuat jadwal kami terhenti.
Aku teruskan saja, kuinjak pedal gas seperti biasa. Tak kukencangkan, tak pula aku pelankan. Sekalipun gerimis semestinya menyuruhku perlahan.
Ku dapati ruangku sendiri. Kudapati diri. Dan ku tatapi lalu lalang kendaraan yg melalui mobil. Hujan.

"Hei."
Sapa anak kecil manis, manis sekali saat aku tenggelamkan diri dalam video yang baru saja aku unduh.
Matanya memerhatikanku. Di depanku, depan wajahku. Dia perlihatkan penasarannya terhadapku.

Lama. Waktu memberiku ruang untuk bercengkrama. Tak pernah terbayangkan. Bahwa hari ini aku akan mengenal orang baru. Makhluk yang diciptaNya begitu manis. Matanya, senyumnya.
Aku tahu, ini waktuku belajar. Dari makhluk ini. Makhluk kecil ciptaanNya ini.
Ada ribuan titik yang membuatku tersadar. Betapa beruntungnya aku bertaut dengan makhluk murni ini. Kalian mungkin akan heran. Berulang kali aku berkata ttg kemurnian.
Cobalah sekali waktu, jika kalian tiba-tiba, dalam sekali kebetulan, dari ribuan yang ada. Dipertemukan, lalu seketika berbagi hal-hal kecil ttg dunia dengannya. Kalian akan tersadar, betapa telah terkontaminasinya aku, atau mungkin juga kalian, oleh kesombongan ketika dijadikan makhluk yang dinamai manusia.

Alam memang berbicara dengan bahasanya. Begitu halus. Namun berarus. Membawaku pada pertemuanku dengannya. Kemurnian itu benar-benar ada. Iya, ketika memang iya. Dan tidak, ketika ia rasa bukan. Ada kejujuran dalam dirinya.
Aku jadi bertanya-tanya "sejak kapan, aku kehilangan begitu banyak hal? Sejak kapan aku tak lagi menemukan kejujuran?"
Ternyata ada ribuan kamuflase yang telah dan mesti dilakukan. Demi sebuah eksistensi atas nama 'manusia'. Ternyata ada ribuan ketidakjujuran yang melekat, menjuntai menjadi jubah yang menjadikan aku tetap berdiri menjadi manusia yang seperti sekarang.

Aku lupa. Sungguh-sungguh lupa. Dan karenanya, aku diingatkan. Melalui makhluk kecil ini. Yang bahkan belum bisa membedakan kanan juga kiri. Yang bahkan belum bisa membedakan telunjuk dan jari manis.
Betapa aku telah menjadi sombong.
Sesungguhnya...

Tentang Kursi dalam Ruang Mati

Aku susuri lekuk arus dalam ruang. Lama aku terpikir, bahwa ruangku telah mati. Sekali waktu, aku. Merangkak untuk berlari. Menggelayut, mata ketigaku di sisi kanan. Selalu. Agaknya aku jauh berlari. Menyusuri, ruang-ruang tempat segalanya tak pernah mati.

Tak pernah aku mengira, dalam ruang yang tak pernah mati akan aku temui dia. Keabadian rasa yang menggantung dijadikan jubahnya. Menetes merambah dari tiap bulir keringatnya.
Kuamati dia. Tanganku selalu tangkas untuk memainkan si mata ketiga.
Aku berharap akan ada yang bisa kuabadikan darinya. Sedikit saja. Sekalipun bukan wajah yang akan ia tolehkan. Tapi dari kursi ini, aku bisa memerhatikan tiap derak alur dalam tiap gemingnya. Sekiranya akan ada ribuan keping waktu dalam kantungnya. Mungkin saja, akan ada satu keping yg terjantuh dan menempel dalam pigura.

Meski waktu dalam kantungnya tak pernah punya sayap. Aku tahu itu. Akan ada derak angin yang mangayun padanya. Dan masih di kursi ini, si mata ketiga tak juga menggeser fokusnya. Tetap pada, dia.

"Suatu hari nanti, jika ruang ini mati, apa kursi ini akan menerimaku lagi? Untuk duduk dan menepi. Lalu menunggui kepingan waktu yg mungkin saja tercecer dari kantungnya."

Menggumam pun percuma. Kuperhatikan langit, ruang masih sama, mati. Hanya ada lagu tentang sunyi. Hanya ada warna tentang nurani. Tidak. Aku memang belum mati. Aku hanya mengamatinya dari sini. Kursi yang aku tempati, menepi.
Dan ia, masih disana. Tanpa irama, dengan alur meriuh bersahaja.
Dia tetap disana, menggantung kantung-kantung waktu.

"Hei. Hei. Aku menunggui mu disini. Satu saja, semoga angin menebar keping-keping waktu dalam kantungmu. Lalu aku. Dan kamu. Atau apa kamu mau, aku titipkan sebentar saja waktuku padamu? Sampai nanti, bukan lagi di kursi ini. Bukan lagi dalam ruang ini, mati. Sampai nanti...suatu hari nanti..."

Tentang Cinta, Lelaki Pewarna

Ada segelintir bulir yang masih tersisa. Ketika aku niatkan diri, berdiri membaui kembali.
Ada ribuan terpaan angin. Terpaan tentang kata.
Tentang rindu yang aku titipkan. Kau tak pernah berkata.

Aku menemuimu tanpa sengaja.
Dalam palung waktu yang mulai mempersiapkan kalimat tentang rindu waktu itu.
Ada arus yang seketika mengalir.
Aku menyapamu. Aku berkata padamu, diwaktu itu.
Kamu gelap. Kau tahu?
Sama seperti saat pertama aku 'menemuimu'.
Kamu remang, kau sadari itu?
Sama remangnya saat aku menjejak langkahmu.
Lalu kamu, belum juga terang.
Kamu, lelaki pewarna.

Sebisaku aku berlaku. Tidakkah itu cukup. Tidakkah itu terbaca?
Dan jika pun akhirnya aku berkata, 'aku mencintaimu', adakah itu akan menjadikan ini berbeda?
Ada yang mesti kusampaikan. Tentang percaya yang semestinya sudah mereka katakan padamu.
Karena aku, mempercayaimu bukan dengan kata.
Lalu masihkah dijadikan penting tentang 'cinta' yang aku ucapkan tadi?
Ketika aku abdikan percaya. Padamu.

Kau tak akan percaya, tentang kata. Ketika hanya menjadi pemuja kata.
 Dan aku percaya, bahwa kamu, lelaki pewarna. Dan itu aku buat jd cukup dalam diriku.