Aku susuri lekuk arus dalam ruang. Lama aku terpikir, bahwa ruangku
telah mati. Sekali waktu, aku. Merangkak untuk berlari. Menggelayut,
mata ketigaku di sisi kanan. Selalu. Agaknya aku jauh berlari.
Menyusuri, ruang-ruang tempat segalanya tak pernah mati.
Tak pernah aku mengira, dalam ruang yang tak pernah mati akan aku
temui dia. Keabadian rasa yang menggantung dijadikan jubahnya. Menetes
merambah dari tiap bulir keringatnya.
Kuamati dia. Tanganku selalu tangkas untuk memainkan si mata ketiga.
Aku berharap akan ada yang bisa kuabadikan darinya. Sedikit saja.
Sekalipun bukan wajah yang akan ia tolehkan. Tapi dari kursi ini, aku
bisa memerhatikan tiap derak alur dalam tiap gemingnya. Sekiranya akan
ada ribuan keping waktu dalam kantungnya. Mungkin saja, akan ada satu
keping yg terjantuh dan menempel dalam pigura.
Meski waktu dalam kantungnya tak pernah punya sayap. Aku tahu itu.
Akan ada derak angin yang mangayun padanya. Dan masih di kursi ini, si
mata ketiga tak juga menggeser fokusnya. Tetap pada, dia.
"Suatu hari nanti, jika ruang ini mati, apa kursi ini akan
menerimaku lagi? Untuk duduk dan menepi. Lalu menunggui kepingan waktu
yg mungkin saja tercecer dari kantungnya."
Menggumam pun percuma. Kuperhatikan langit, ruang masih sama, mati.
Hanya ada lagu tentang sunyi. Hanya ada warna tentang nurani. Tidak. Aku
memang belum mati. Aku hanya mengamatinya dari sini. Kursi yang aku
tempati, menepi.
Dan ia, masih disana. Tanpa irama, dengan alur meriuh bersahaja.
Dia tetap disana, menggantung kantung-kantung waktu.
"Hei. Hei. Aku menunggui mu disini. Satu saja, semoga angin menebar
keping-keping waktu dalam kantungmu. Lalu aku. Dan kamu. Atau apa kamu
mau, aku titipkan sebentar saja waktuku padamu? Sampai nanti, bukan lagi
di kursi ini. Bukan lagi dalam ruang ini, mati. Sampai nanti...suatu
hari nanti..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar