Minggu, 18 Oktober 2015

Aku Kalah

Lingkaran telah berputar dan berulang. Saat segaris lingkaran membentuk wadah dan batasannya. Aku lambat laun mulai memilah-milah mana dari titik ini yang akan aku ulang dikemudian hari. Ataukah mana dari titik ini yang telah aku ulang dari titik sebelumnya. Nampaknya tak akan ada satupun yang tetap bertahan di tempatnya. Seperti halnya saat segurat senja mulai berulang. Pohon besar yang selalu menjadi tempatmu bernaung lama. Aku tak sekalipun pernah mengira bahwa apa yang kau gambarkan disana adalah apa yang sangat kau impikan. Waktu tak lagi jelas dalam benakku. Entah itu pagi yang berulang ataukah senja yang sesekali datang. Tapi jelas aku mendapatimu disana. Pohon itu besar, namun tak pernah menghalangimu untuk muncul dan kuperhatikan. Sepertinya pohon itu punya andil dalam lingkaran kita. Kau percaya? Percayalah.

Guratan tanganmu tak terlalu asing. Menggurat pada batang dengan tinta yang entah kau dapatkan dari mana. Aku tertawa kecil melihatnya. Nampaknya kau bukanlah seorang penggambar yang mahir. Sosok yang kau gambarkan tak jelas berbentuk. Tapi aku yakin itu tentang kita. Aku tak ingin membuatmu kecewa. Wajah tirusmu akhirnya menyunggingkan senyumnya kepadaku. Betapa nakalnya aku berkata, lalu bertanya tentang lagu itu kepadamu. Kau bahkan tak mahir menggambar lalu adakah kau akan mahir melagu?

Seberkas keinginan untuk melarikan diri dari lingkaran ini membuatku ragu. Tak ada keputusan matang. Sisanya hanyalah kesepakatan pemikiranku, yang entah dari mana datangnya aku mulai ingin melarikan diri dari lingkaran ini, terutama darimu. Mengendap-ngendap bersembunyi mencoba berlari sejauh yang aku mampu. Namun sekali lagi nampaknya pohon itu benar-benar memihakmu. Dia sepertinya memberitahumu saat aku mulai berlari di belakang punggungmu.

Astaga! Seharusnya kau tak perlu mencariku. Kita seperti dibuat bermain petak umpet oleh lingkaran ini. Seperti halnya permainan lain harus ada yang menang dan kalah. Dan aku kalah. Kau telah mendapatiku. Sekuat apapun aku bersembunyi darimu, tetap saja kau dapat menggapai tanganku. Erat genggamanmu membuatku tak lagi mampu berkelit kemanapun. Ada semacam arus yang mulai mendorongku mengikutimu. Sebagian lagi seperti memberitahuku betapa tak inginnya kau kehilanganku. Tidak lagi. Kau nampaknya sangat mahir membuatku mengagumimu. Jika tidak, lalu bagaimana mungkin aku pada akhirnya hanya berjongkok seperti anak kecil, menonton dan menungguimu.

Senyum mulai mengembang di wajah tirusmu. Nampaknya kau harus segera siap, bahwa tak akan selamanya kau mampu menampilkan senyum diwajahmu. Akan ada saatnya nanti aku membuatmu merasai kecewa lagi. Seperti kali ini. Kali saat aku merusak segala gambaran apik yang telah kau rancang dari lama. Harusnya itu akan membuatmu marah kepadaku. Setidaknya kau akan berteriak kepadaku. Pertahanan diriku membuat aku mulai membuat alasan. Mulai mencari pembenaran. Berlaku seperti anak kecil yang membangkang menjadi satu-satunya pilihan. Seharusnya karena itu kau mulai memarahiku. Tapi apa ini? Sebegini kuatkah keinginanmu untuk tak akan melepasku? Sehingga kau abaikan rasa kecewamu terhadapat kelakuanku. Sebegini dalamkah pengorbananmu untukku?

 Astaga! Lalu sejak kapan ada rindu yang mulai mendesakku?

Perempuan dengan Burung Hitam

Langit belum berubah muram. Hujan nampaknya sangat terlambat datang. Mataku menyipit memerhatikan tiap sudut agar tak ada satu pun debu yang masuk ke dalam mataku. Aku sangat takut debu-debu itu akan membuat mataku perih, lalu berair dan memerah. Aku sangat takut, karena mataku adalah apa adanya aku.

Rumput-rumput berbunyi kering. Agaknya mereka pun merasai lelahnya tanah untuk tetap bertahan menjadi alasnya. Air-air tak lagi bergulir pada tiap lembar dedaunan. Sudut jalanan ini begitu sepi. Pepohonan nampaknya selalu menepi. Tiang lampu agaknya termakan karat dalam waktu yang lama. Tapi kursi kayu yang sama masih terpajang dengan rapi ditepi taman sepi. Ada satu hal yang aku rasa menjadi begitu ganjil dalam penglihatanku. Bayangan gadis, pakaiannya lusuh. Rambut panjangnya hitam beterbangan ditiup angin. Tak aku lihat ada tatapan dalam matanya. Tapi di atas kepalanya ada yang bersarang dengan tenang.

Burung hitam dengan sorot mata yang tak bisa aku pahami. Dalam gerakan konstan memanggut-manggut tak berhenti. Kakinya menempel apik di kulit kepala gadis itu. Tidakkah itu begitu ganjil. Gadis itu manis. Sangat manis. Jika saja pakaian hitam lusuhnya berganti dengan baju yang lebih bersih dan berkilau, aku yakin ia akan nampak sangat menawan. Semakin lekat aku perhatikan, burung itu berbulu hitam legam. Mematuk dengan mantap pada kepala si gadis manis. Tapi tak pernah ada luka disana. Nampaknya pagutannya terlalu dalam, hingga sakit dan lukanya tertanam jauh di dasar gelap dalam dirinya.
 Perlahan-lahan aku sadari, luka tak ada di kulit kepalanya. Yang ada hanyalah lubang yang telah menganga di dadanya. Terlalu dalam, dan nampaknya terlalu gelap untuk bisa aku mengerti rasa sakitnya.
 "Astaga, perempuan. Sebenarnya sudah berapa lama waktu memakumu dikursi kayu? Tidakkah kau sadari burung hitam itu kini menjelma hampir sebesar kepalamu?"
Rasa heran tak lagi tertahankan. Seorang gadis manis tak selayaknya memangku gelap sebegitu besar. Tak seharusnya ia terjebak sebegitu dalam. Jika aku bisa mendengarkannya saat ini, adakah ia akan mengurai gelap di kepalanya? Akankah itu mempersempit lubang di dadanya? Semoga saja.

Senin, 28 September 2015

Catatan Ruang Abu

Denting berubah gemuruh. Ada ribuan celah yang sedari awal telah aku perhitungkan. Lubang yang sewaktu-waktu bisa saja membuat aku terjatuh dan terkubur begitu dalam. Seperti jengah yang coba aku pertahankan, seperti itu pula kuatnya gundah yang menyertainya. Betapa keras kepalanya kita. Memegang, menggenggam satu sama lain. Mengukuhkan bahwa semua akan menjadi baik-baik saja. Tapi, tahukah kamu sedikit demi sedikit, semakin tinggi kekukuhan aku dan kamu perlihatkan, akan semakin banyak gerusan mengikis dasar yang diawal kita tancapkan.

Adakah pernah kamu perkirakan bahwa ini tak akan baik-baik saja? Adakah kamu perkirakan bahwa lubang yang ada dibawah kaki kita sangatlah curam? Bahkan terlalu dalam untuk bisa kita bayangkan. Aku, kamu. Hanya akan menjadi aku dan kamu. Semakin lama aku pikirkan semakin bebal yang ada di kepalaku. Semakin lama aku abaikan semakin sesak ruang tempatku beradu. Seandainya saja, tak ada awal yang akan berakhir. Kamu mungkin saja tak akan menjadi sesakit ini.

Bayanganmu masih saja tetap disana, gelap dalam ruang abu yang baru saja aku benamkan kepadamu. Dan kakiku, masih saja terikat ragu yang memburu. Sesaat aku ingin tetap memerhatikanmu. Tapi kesadaranku rupanya hanya cukup untuk tertahan disana, sisanya, tanpa bisa aku tebak langkahku tetap bisa meraihmu. Merengkuh kesakitanmu, kesakitanku.
"Jangan seperti ini." Bisikanmu singkat. Hanya sesingkat itu. Dan itu membuatku semakin bulat untuk berkata padamu.
"Mari kita berpisah." Kata-kata itu rasanya asing. Berdengung terus di kepalaku. Mengganggu telingaku. Sisanya, yang aku rasa hanya rengkuhanmu. Rengkuhan yang semakin erat. Semakin hangat. Isak perlahan aku dengar membisik di sebelah telingaku. Dan kau ulangi kata-katamu.
"Jangan seperti ini. Aku tak mau seperti ini."

Kecintaan

Jalan ini mulai terasa terlalu panjang pada akhirnya. Tak satupun langkahku terhenti dihadapanmu. Tak satupun kataku menjadi berguna. Semuanya telah terbuang percuma. Pernah aku bertanya, sesungguhnya ini tentang apa? Tapi tetap saja tak juga membuatku untuk berhenti dan berlalu.

Puluhan lembar daun bergerak mengikuti tiap arus yang ia buatkan. Pun itu yang tengah aku lakukan. Dan tanpa aku sadari arus mulai menggerusku dalam perjalanan. Menjadikan aku lupa entah sudah langkah ke berapa. Dan kamu masih saja sama. Masih tetap memesona dalam tiap gerak gerik kecilmu. Juga seperti masih sama nya kamu tak akan pernah menemukanku.

Ada puluhan dan bahkan ratusan gambar wajahmu yang menggantung di tiap lembaran daun di atas kepalaku. Dan tak selembarpun yang jatuh untuk bercerita tentangmu, kepadaku. Tak satupun kata yang diselipkannya kepadaku. Berulang kali aku catat dalam benakku. Berulang kali pula gambaran kecintaanku bertambah. Seperti embun yang datang dan bertambah lalu menguap dan menghilang.

Disana, diatas kepalaku. Ada kecintaan yang luar biasa. Jauh di luar dari biasa yang aku lakukan. Kepadamu.
Seandainya saja, pintu itu tak terlanjur tertutup. Mungkin saja akan ada setitik niatku untuk berhenti. Dan mungkin akan ada jeda dalam waktuku dan juga waktumu, untuk saling membuka pintu. Jika saja, ada selembar daun jatuh dan terselip di rambutku mungkin saja akan kau temukan dikemudian hari, wajahmu yang selalu saja tergambar diatasnya.

Guratan-guratan yang ada ditanganku tak pernah mau berhenti untuk terus mengumpulkan tiap titik dalam wajahmu. Menyatukan garis-garis menawan dalam senyum mu. Lalu yang tersisa hanyalah setumpuk di kakiku yang menggunung. Lembaran daun kering yang jadi usang. Tertiup lalu terlupakan. Dan tak akan ada yang menerbangkannya kepadamu.
Jangan kau kira ini akan menyakitkanku. Tidak sama sekali. Kau, hanyalah kecintaan. Dan aku yang menciptakannya. Aku yang menggambarnya.

Pun suatu hari nanti aku hanya akan menyimpannya apik, menitipkannya pada tiap lembaran daun-daun di atas kepala ku. Yang segera akan jatuh disaat waktu menjadikannya kering dan usang. Tanpa perlu kau memungutinya. Tanpa perlu kau menemukannya.

Sabtu, 29 Agustus 2015

Kamu, Laguku

Aku tak pernah mengira. Persimpangan jalan yang begitu asing aku lalui adalah persimpangan tempatku akan menyinggahkan lelah kepadamu. Kau mungkin tak akan lagi mengingatnya. Remang saat aku berbaur dalam hiruk pikuk dan kerlip lampu jalanan. Deru kendaraan membuatku tuli dengan tapak langkah yang aku jelang bersama mereka.

Aku melihatmu disana. Terduduk menunduk di bawah tiang lampu jalanan. Garis lembut menggambar cantik lekukan mata dan hidungmu. Remang begitu apik mewarnai kulitmu. Deru lembut angin membaur rambut hitammu. Aku gagu. Kerikil kecil seketika membuatku tersandung. Agaknya ada musik berbeda yg mengalun begitu saja dalam dadaku. Makin lama aku memerhatikanmu, musik itu terasa makin syahdu menderu ke telingaku. Ini kah laguku? Aku tak lagi tahu seberapa dekat langkahku darimu. Musik semakin melagu. Tangan kaki dan bibirku. Seperti ada ribuan lirik yang seketika aku hafal di dalam kepalaku. Ini laguku?

Segala gerak melambat di sebelahku. Seperti dalam sebuah pigura, aku melihatmu mematung begitu syahdu. Astaga, betapa gilanya aku saat ini. Ada puluhan lagu yang telah aku dengarkan. Ada ribuan helai rambut indah yang aku temukan. Dan ada puluhan wajah cantik nan indah yang selalu terpampang di depan. Tapi itu bukan kamu!

Gurat indahmu berbeda. Tak seperti mereka yang membisingkan telinga. Matamu tak sama. Tak nampak jadi begitu buta. Tak ada kata bosan dalam lirik yang aku dengarkan. Iramanya selalu saja sama. Irama ini, irama yang berbeda dari lagu biasanya. Ini iramamu, laguku.

Sabtu, 06 Juni 2015

Perempuan yang Memeluk Rindu

Kunang-kunang menjalari tiap lekuk dalam pikirannya. Untuk sesaat aku mengira ia akan segera mengumpat kepada siapapun yang ada di depannya. Kepada apa saja yang ia lihat di depannya. Betapa tidak, dunia yang begitu ia ciptakan sempurna tiba-tiba jatuh berantakan. Susunan puzzle berserakan setengah jalan. Kau lihat saja langkahnya kali ini. Bukankah itu benar-benar menyedihkan? Aku tak mampu membayangkannya lagi. Tak bisa aku perkirakan lagi apa yang akan ia benahi kali ini. Aku bersamanya selama yang aku mampu, jadi aku sangat tahu betapa ia percaya kepada waktu. Kau tahu, karenanya aku tak lagi percaya pada waktu. Tak pernah lagi bisa percaya. Bagaimana aku bisa percaya kepada waktu, yang telah membuang benih dalam hatinya? Bagaimana mungkin aku bisa lagi percaya kepadanya jika pada akhirnya, ia yang begitu menungguinya dikhianati oleh waktu itu sendiri. Aku tak akan lagi percaya.

Rasanya ada ribuan hujaman di punggungnya. Tak ada sisa. Sungguh tak lagi ada yang tersisa darinya. Jika ia tak mengumpat sekarang kepalanya mungkin saja akan pecah dengan segera. Aku benar-benar tak bisa tahan melihatnya. Aku tak tahan. Seandainya saja umpatan itu ia sampaikan, meski ia harus mengumpat di depanku, akan aku dengarkan. Aku sangat tahu betapa keras ia berusaha mendamaikan dirinya kali ini. Seandainya saja ada sejengkal tempat untukku meminjamkan pundak kepadanya, akan aku berikan sepanjang sisa hidupku. Seandainya saja, tak ada suratan baginya untuk bertemu dengan kepahitan semacam ini.

Lorong ini masih terlalu gelap untuk ia lalui, sepertinya ada yang lupa menyalakan lampu jalanannya. Atau ada yang sengaja memutus arus penerangan. Dapatkah aku tetap menatapnya seperti ini? Masihkah akan tersisa jalanan berbatu di depan sana. Ada banyak sekali keherananku padanya. Pengkhianatan yang ia terima, kekecewaan yang ia simpan, kesal yang selalu ia kendalikan. Aku tak tahan lagi memikirkannya. Ini harus aku hentikan. Tidak. Setidaknya akan aku biarkan dia mengumpat dan memakinya saja.

"Hei, perempuan. Berhenti dan menagislah. Apa kau bodoh? Masih saja kau menyeret kakimu seperti itu. Tidakkah kau tahu ada ribuan hujaman di punggungmu itu? Sudah cukup! Aku tahan lagi melihatmu seperti ini. Jadi segera berhenti dan berbaliklah."

Berulang kali aku teriaki itu dalam pikirannya tapi apa yang ada dihadapanku ternyata bukan perempuan sederhana yang hanya bisa berjalan terhuyung menyeret kakinya yang penuh luka. Bukan. Tentu saja bukan.
Rupanya ia sengaja membuat pikirannya tuli. Aku sepertinya harus mempercepat langkahku. Akan aku hentikan dia sebelum tikungan itu. Lalu menyeretnya dalam pelukanku. Membiarkan air matanya hanya membasahi pundakku.

"Tunggu. Berhentilah sebentar, perempuan. Waktu tak akan berbalik kepadamu. Dia telah mengkhianatimu. Tidak kah kau sesali itu? Tak ada waktu yang bisa kau percayai. Jadi berhentilah sebentar. Kemari, dan duduklah."
Kali ini tak lagi aku berteriak kepadanya. Aku redam sisa amarah dalam tiap kataku kepadanya.

Kata-kata ku meluluh begitu saja saat aku lihat wajah yang ia sembunyikan. Kakiku terhenti saat aku sentuh lengan ringkihnya. Tak ada getaran sedikitpun. Tak ada air sebulirpun. Lengannya ringkih tapi jemari itu membenam sesuatu. Sesuatu yang bahkan diluar bayanganku. Aku tak lagi bisa berkata melihatnya. Rengkuhan tangannya benar-benar erat. Tak tertulis apapun dimatanya. Satu-satunya titik yang menempatkan aku terdiam di tempatku adalah yang selalu membuatku terjatuh dan menunduk kepadanya. Pengabdian. Tangan ringkihnya adalah tangan pengabdian. Mata sayunya adalah mata ketulusan. Kaki kurusnya adalah kaki pengorbanan.

Ya Tuhan, ini benar-benar tidak adil. Tidak adil sedikitpun. Airmata ku kalah. Satu persatu jatuh di hadapannya. Tak lagi bisa aku tahan. Bukan dia yang membutuhkan pundakku. Dia tak membutuhkannya. Sama sekali tidak. Bagaimana mungkin aku begitu lancang menganggapnya membutuhkan pundakku. Bagaimana mungkin perempuan yang begitu erat merengkuh rindu itu di tangannya, aku minta untuk berbalik menangis dan membuang rengkuhannya. Bagaimana mungkin? Aku benar-benar jadi gila. Aku yang pada akhirnya meraung dihadapannya.
Aku yang pada akhirnya membutuhkan pundaknya. Ya, aku.

Kamis, 15 Januari 2015

Gadis dalam Kenangan

Udara dingin mengusik tidurku. Setetes rintik masih meluruh di atas kepalaku. Saat ini hujan memang sering sekali turun saat malam. Rupa-rupanya kau menyelinap saat malam. Disaat sebentar saja aku terkulai dalam bahu gelap. Aku tak pernah berani memastikan, akankah sinar matamu masih sama? Aku terlalu terburu oleh rasa takutku. Aku dihantui oleh rasa bersalahku terhadapmu. Sekalipun malam pernah berkata padaku bahwa meski kamu berbeda, kamu tak akan pernah merubahnya. Dan bahwa kamu akan selamanya sama. Berusaha aku susuri semua ruang yang aku kenali, nyatanya tak pernah ada kamu disana. Aku terlalu takut karenanya. Jalan setapak ini mengingatkanku tentang tawamu selepas senja yang kita bagi bersama.
            Pernah sekali waktu aku temui lagi ruang yang kita bangun di batas langit menawan. Aku temukan senyumku dulu.  Aku temui segala gurat yang kita simpan disana. Tapi, masih belum ada kamu. Jika saja langit tak meneriakiku, aku tak akan menjadi tahu. Kelabu yang selalu kau ceritakan kepadaku. Secuilpun tak pernah bisa aku pahami apa yang kau rasa tentang  sepi. Meski berulang kali kau mencoba untuk membantuku mengerti tentang perburuanmu.
            Kursi ini masih saja kosong karenamu. Ditepi cahaya yang sangat kau puja. Aku kembali hari ini. Berharap akan aku temui lagi sang pemuja senja di batas langit sepi. Ternyata seperti yang dikatakan malam kepadaku. Tempat ini masih sama, tak akan jadi berbeda. Ia menemani kenanganku memenuhi ruang ini lagi.
“Kau kembali? Kursi mu masih sama. Apa kali ini kau mencarinya? Gadis yang selalu menunggui langit meluruh waktu itu. Waktu membuatnya terduduk lama. Tepat di sebelah yang kamu duduki sekarang.”
Langit mulai bercerita tentang gadis itu padaku. Gadis yang selalu memuja senja. Gadis yang pernah melukiskan janjinya bersamaku.
“Entah bagaimana sinarnya sekarang. Aku kadang penasaran, akankah ia aku temui lagi disini. Lajur-lajur yang aku lalui mulai berlalu jauh. Ruang tempatku sekarang jauh darinya.”
Kalimat-kalimatku keluar tanpa aku batasi. Tempat ini, hanya di tempat ini bisa aku simpan kalimat-kalimatku tentangnya. Karena hanya di tempat ini langit selalu akan mendengarku.
“Apa kamu mulai merindukannya? Sinar yang ada di matanya? Sama seperti caranya menunggui senja meluruh jatuh. Ia masih selalu merangkai kenangannya. Percayalah padaku. Karena aku juga selalu bersamanya di tempat ini. Dalam alur waktu yang cukup lama ia menunggu di tempat ini. Mungkin sebentar saja, ia ingin beristirahat dari resah yang selalu ia bawa. Kakinya mungkin telah terasa kebas karenanya. Apa kali ini kau mulai merindukannya?”
Langit rupanya sangat tahu tentang apa yang tak pernah aku lontarkan kepadanya. Bahkan tak sekalipun aku biarkan telingaku mendengarnya.
“Apa aku telah terlambat mendatangi tempat ini? Apa dia tak akan pernah lagi kembali?”
Langit memandangku heran.
“Aku tak tahu. Waktu yang membawanya pergi untuk menyembuhkan kebas di kakinya. Apa kau berharap ia kembali? Adakah ini tentang rindumu ketika itu?”
Senyumku menyembul. Rindu, rupanya memang aku mulai merindukannya. Gadis ini membawa rinduku bersamanya. Langit mulai beranjak perlahan dari mataku. Seandainya saja angin kali ini sedikit berpihak kepadaku, ingin aku titipkan kepadanya.

“Aku merindukanmu. Selalu.”