Kakiku masih bergetar.
Saat sesekali tanah lapang juga angin memerhatikan. Langkah-langkah goyah tetap
aku pertahankan. Aku datang ke tempatmu.
Di tempatku. Di situ.
Menunggu.
Berputar dan memutar. Aku
selalu berputar, lalu berulang. Duduk kadang menghadap, tapi kadang
memunggungi.
Tersenyum padamu. Lalu hanya duduk dan memerhati.
“Kamu
datang lagi? Seperti yang kamu jadikan biasa” tanyamu.
Hanya senyum yang aku gambarkan padamu. Hanya itu.
“Apa
kamu tidak takut?”
Aku gelengkan kepalaku. Halus, perlahan, tapi tetap aku
sertakan yakin.
“Aku
tak pernah lama. Sebentar lagi aku harus menepi. Menutup langit. Lalu tertiup
dan terlelap didesak gelap.”
Lagi-lagi hanya senyumku yang aku hadirkan untukmu. Kau
mungkin menganggapku gila. Seorang perempuan yang tak punya kerjaan. Hanya memandangimu.
Setiap waktumu ada. Senja.
“Apa
yang kamu tunggu dariku? Aku bahkan hanya sementara. Hanya mengantar batas
segaris. Menunggu gelap bersiap. Aku, hanya senja. Yang hanya hadir untuk
menjadi pembaur. Apa yang kamu tunggu?”
Tetap tak aku kirimkan
kata kepadamu. Karena aku tahu, kamu sudah tahu. Aku hanya datang untuk
menikmatimu. Hadirmu. Garismu. Dan aku pun tahu tentang batas dalam waktu. Tentangmu.
Itu hadirmu. Pun hanya Ia tugaskan hadir dalam rentan
yang tak sepanjang gelap. Aku hanya ‘menikmatimu’.
Seandainya saja, kamu
duduk di tempatku. Kamu akan tahu kenapa aku suka menunggu. Menungguimu meluruh
lalu terlelap dan tak membayang.
Tapi kita tetap dalam tugas. Kamu. Lalu aku. Menjadi
ada. Lalu meniada. Seandainya kamu duduk di tempatku. Kamu akan tahu tentang
kagum yang hadir bersamamu.
“Kamu lihat? Aku
mulai meluruh. Aku heran. Kenapa kamu tak juga takut? Tak pula bergeming. Aku
sebentar lagi hanya sebatas garis.”
Memejam dan aku sampaikan
padamu.
“Meluruhlah. Tak
apa. Karena itu kamu menjadi ada. Karena tiada menjadikanmu ada. Jadi
meluruhlah.”
Aku rasa kamu
mendengarnya. Kamu membaca dari sudut bibir yang tetap aku sunggingkan senyum
kepadamu.
Aku hanya meminta, kamu tak membeciku jika aku tetap di
tempatku. Sekalipun batasmu benar-benar dibuang malam.
“Hei, perempuan. Aku
tetap jadi heran padamu. Aku hanya senja. Yang sebentar lagi meniada. Dan bukan
tentangku yang aku takuti. Tapi kamu. Kamu hanya akan bertemu sepi setelahnya.
Tidakkah kamu takuti itu? Bangunlah. Wahai perempuan! Aku hanya senja, yang
sebentar lagi meniada.”