Senin, 30 September 2013

Aku dan Senja



Kakiku masih bergetar. Saat sesekali tanah lapang juga angin memerhatikan. Langkah-langkah goyah tetap aku pertahankan. Aku datang ke tempatmu.

Di tempatku. Di situ. Menunggu.

Berputar dan memutar. Aku selalu berputar, lalu berulang. Duduk kadang menghadap, tapi kadang memunggungi.

Tersenyum padamu. Lalu hanya duduk dan memerhati.

“Kamu datang lagi? Seperti yang kamu jadikan biasa” tanyamu.

Hanya senyum yang aku gambarkan padamu. Hanya itu.

“Apa kamu tidak takut?”

Aku gelengkan kepalaku. Halus, perlahan, tapi tetap aku sertakan yakin.

“Aku tak pernah lama. Sebentar lagi aku harus menepi. Menutup langit. Lalu tertiup dan terlelap didesak gelap.”

Lagi-lagi hanya senyumku yang aku hadirkan untukmu. Kau mungkin menganggapku gila. Seorang perempuan yang tak punya kerjaan. Hanya memandangimu. Setiap waktumu ada. Senja.

“Apa yang kamu tunggu dariku? Aku bahkan hanya sementara. Hanya mengantar batas segaris. Menunggu gelap bersiap. Aku, hanya senja. Yang hanya hadir untuk menjadi pembaur. Apa yang kamu tunggu?”

Tetap tak aku kirimkan kata kepadamu. Karena aku tahu, kamu sudah tahu. Aku hanya datang untuk menikmatimu. Hadirmu. Garismu. Dan aku pun tahu tentang batas dalam waktu. Tentangmu.

Itu hadirmu. Pun hanya Ia tugaskan hadir dalam rentan yang tak sepanjang gelap. Aku hanya ‘menikmatimu’.

Seandainya saja, kamu duduk di tempatku. Kamu akan tahu kenapa aku suka menunggu. Menungguimu meluruh lalu terlelap dan tak membayang.

Tapi kita tetap dalam tugas. Kamu. Lalu aku. Menjadi ada. Lalu meniada. Seandainya kamu duduk di tempatku. Kamu akan tahu tentang kagum yang hadir bersamamu.

“Kamu lihat? Aku mulai meluruh. Aku heran. Kenapa kamu tak juga takut? Tak pula bergeming. Aku sebentar lagi hanya sebatas garis.”

Memejam dan aku sampaikan padamu.

“Meluruhlah. Tak apa. Karena itu kamu menjadi ada. Karena tiada menjadikanmu ada. Jadi meluruhlah.”

Aku rasa kamu mendengarnya. Kamu membaca dari sudut bibir yang tetap aku sunggingkan senyum kepadamu.

Aku hanya meminta, kamu tak membeciku jika aku tetap di tempatku. Sekalipun batasmu benar-benar dibuang malam.

“Hei, perempuan. Aku tetap jadi heran padamu. Aku hanya senja. Yang sebentar lagi meniada. Dan bukan tentangku yang aku takuti. Tapi kamu. Kamu hanya akan bertemu sepi setelahnya. Tidakkah kamu takuti itu? Bangunlah. Wahai perempuan! Aku hanya senja, yang sebentar lagi meniada.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar