Rentang waktu entah telah berlalu berapa hari. Mungkin
sudah kulewati puluhan bulan. Orang-orang berkata karena waktu telah berjalan.
Tapi bagiku, waktu telah berlari. Cepat dan sangat cepat. Tak mampu lagi aku
kejar dengan perhitungan. Berapa detik, menit bahkan hari. Entah sudah ratusan
mungkin jadi.
Banyak sekali orang
berkata, bahwa waktu akan segera membuatku lupa. Nyatanya itu tak berlaku
padaku. Waktu, menyimpannya bersamaku. Tak pernah sedikitpun aku dibuat lupa
tentangmu. Suaramu. Tawamu.
Ada kalanya aku menumpuk ingatan lain untuk mengesampingkanmu.
Tapi, semua partikel tetap saja mengingatkanku. Semua tentangmu.
Aku masih ingat, dulu kamu
pernah berkata padaku. Saat gelap yang kita bagi bersama.
“Terima
kasih. Aku bahagia karena bisa memilikimu. Dan karena kamu menerimaku, apa
adanya aku. Segala tentangku. Dan bahkan duniaku yang rumit.”
Kenangan manis tentangmu.
Aku sadari sejak awal. Tentang dirimu. Duniamu. Dan aku hanya menerimamu.
Tawamu yang meledak ketika melucu. Suaramu yang kadang meledak-ledak saat
berbicara penuh semangat. Pemikiranmu yang kadang tak mampu diselami orang
lain. Dirimu yang kadang menjadi sangat ‘diam’. Semua tentangmu yang tak pernah
bisa aku mengerti.
“Aku
menerimamu. Apapun kamu. Baik burukmu. Semuanya. Aku menerimamu sepaket dengan
itu. Jadi, jangan ucapkan terima kasihmu padaku. Aku katakan ‘iya’ padamu,
berarti aku sudah siapkan diriku dengan apapun yang akan aku temukan didepan. Dan
itu kamu. Dirimu.”
Diammu sesaat lalu sewaktu itu, mungkin jadi karena
haru. Entahlah, aku tak pernah bisa tahu sampai sekarang.
Waktu nyatanya berkata lain. Dia memberimu dan aku
ruang. Tidak dalam satu ruang. Aku mungkin jadi tak akan lagi menemukanmu. Dimanapun.
Tidak pada orang-orang yang aku temui berikutnya. Karena kamu hanyalah kamu. Tak
pula akan ada lagi orang yang memberiku ruang yang sama. Sorot mata yang sama.
Tak akan ada lagi kamu,
duduk di sofa bambu membagi gelap selepas senja yang kita lewatkan. Tak akan
ada lagi cerita konyolmu tentang harimu. Dan tak akan ada lagi, kamu.
Kamu harusnya tahu. Ada selang ratusan hari bagiku
untuk melepas kecewa yang mengikutiku. Tapi dalam sadar aku dapati bahwa aku
pernah bahagia, dan masih bahagia. Bersama kamu dalam ingatanku.
Dalam ruang yang terbatas
ego. Aku berharap. Aku sangat berharap. Bahwa kamu akan bahagia. Di sana.
Dalam rengkuhan waktu. Dan mungkin jadi, akan membantuku melepaskan diri.
Aku juga berharap, dalam ruang yang lain tak akan ada
lagi tangismu. Seperti yang kamu perlihatkan saat suatu waktu kamu bersamaku juga
kursi bambu. Dunia tak akan selalu memihakmu. Ia bahkan akan lebih sering
memalingkan diri darimu. Di saat itu, aku tak pernah ingin melihatmu lari. Tidak
lagi. Itu tetap duniamu.
Aku tak ingin sekali lagi
mendengar teriakanmu. Tentang dunia, tentang ketidakadilannya. Terlebih, aku
tak ingin melihatmu menangis, lagi.
“Sejujurnya,
aku merasa kecewa padamu saat itu. Saat kamu menolak tawaranku. Aku sangat
berharap kamu akan bisa mengembangkan dirimu disana.”
Aku masih mengingat
kalimatmu itu. Seperti kalimat-kalimat lain yang bahkan berulang kali kamu
tawarkan padaku, disana, masih di sofa bambuku.
“Kita
menikah saja. Toh,
tak akan ada yang berubah. Kamu dan aku masih akan tetap seperti ini.”
Itu bahkan pernah dilontarkan orang tuamu, padaku.
Tapi, bukan waktuku juga kamu. Sehingga waktu berkata lain, dan memberi kita
ruang. Tidak dalam satu ruang. Betapa manisnya kenangan tentangmu.
Ternyata sofa bambu di
sebelah kamarku itu menjadi tempat favorit kita saat itu. Aku masih sangat
ingat kata-katamu. Tentang sofa bambu itu. Kamu pernah berkata, bahwa kamu
selalu merasa mengantuk saat duduk bersamaku disana. Mungkin karena nyaman,
akumu. Dan anehnya, waktu bisa jadi ikut maraton. Dua, tiga jam adalah waktu
yang biasa bagimu. Kamu lihat, betapa manisnya kenangan tentangmu.
Masih di sofa bambu yang
sama. Kamu pernah bercerita tentang alergimu. Dan aku ingat itu. Lalu suatu
ketika kita membangun mimpi sembari meminta kesepakatanku.
“Nanti
kita pesan cincinnya yang tak terbuat dari logam. Dan kalau bisa nanti warnanya
hitam.”
Tuh kan? Masih saja tersimpan manis kenangan tentangmu.
Lagi-lagi aku harus
diingatkan, bahwa itu tentangmu. Dan waktu tetap berkata lain. Dia membuatkan aku
dan kamu ruang. Dalam ruang yang berbeda. Tapi kamu masih adalah kamu.dan sofa
bambuku pun masih sofa yang sama. Hanya ruang dan letaknya yang mungkin jadi
berbeda.
Mungkin, kamu juga.