Sekalipun musim-musim mengganti. Membuat angin kadang
pergi. Dan aku masih saja merasa sama. Ku abdikan diriku pada senyawa. Pada
cahaya yang menjaga. Bersama angin, rumput yang selalu saja menyapa.
Mungkin jadi aku dianggap gila. Hanya berdiri dalam
hitam kadang terang yang mereka sebut warna. Tapi mataku hanya melihat cahaya.
Aku tak akan keberatan, kendatipun mereka meneriaki aku gila. Toh, aku bukan
mereka, karena mereka adalah mereka.
Tak akan ada yang paham mengapa angin juga hujan tak
pernah datang bersamaan, setidaknya tidak kali ini, tidak dalam waktu ini. Ia
hanya memberiku ruang. Dalam lingkaran kenikmatan. Merasakan angin menyapukan
debu di pipiku, mencoba menggoda membukakan kelopak mataku. Hei, hei, jangan
heran karena rupanya angin kadang jadi sangat nakal.
Tak berbeda dengan ranting juga daun kering. Manja
menggelayut dan tersangkut di rambutku. Mematuk-matuk rasa geli pada kulit
wajahku. Kau lihat, betapa gilanya aku?
Sekali lagi aku katakan, ini hanya sebentuk pengabdian.
Pada selang selongsong ruang yang ia pinjamkan padaku. Ruang ditepian ruam-ruam
yang ia benamkan. Tapi ini lingkaranku. Bersama angin dan daun kering meluruh.
Ketidakpastian bisa jadi adalah batas dalam
lingkaranku. Dan kau mungkin tak akan tahu tentang itu. Angin pernah berkata
padaku suatu kali dalam tepi yang selalu kujadikan hari.
”Aku akan selalu menemanimu. Bersama ruang yang kau bangun. Menyemai tiap rindumu. Jadi, berdirilah di situ, dalam ruangmu.”
Dan suatu kali pernah aku sampaikan padanya. Tentang
apa yang dia sebut sepi. Tentang apa yang ia lihat, sendiri.
“Aku mungkin hanya belum bertemu saja, dengan dia yang akan memaklumi kegilaanku. Dengan dia yang mengerti bahasa diamku. Dengan dia yang mampu mengendalikan kecemasanku. Dengan dia pula yang mampu menormalkanku. Jadi aku akan tetap dalam lingkaranku. Menikmati daun-daun kering menari untukku. Dan kamu, yang selalu menyemai rindu di telingaku.”
Ini bukan lagi tentang siapa. Tapi dia hanya perlu
menjadikan aku ada. Mencoba menaungi lingkaran yang aku buat bersama waktu.
Memerhati diam yang tak perlu diburu.
“Angin, berkatalah padaku. Tentang musim ini. Ceritakan tentang kering daun menguning. Tentang jauh tanah basah yang tak kunjung datang. Aku tuli dalam lingkaran ini. Aku jadikan buta dalam cahaya. Ini lingkaran mati. Jadikan waktu dalam ruangku. Mati. Perdengarkan tentang mimpi pada mereka. Tentang indah daun memanja. Tentang jatuh ranting beriring.”
dalem banget nih Geg...
BalasHapushaha... masa sih bli?
Hapus