Hei, tentang malam ini.
Tentang dan ketika senja
telah berpulang. Meringkuk dan menyelinap di balik ketiak gelap. Tak pernah
terbersit bahwa ia akan segera menghilang. Dan seketika selimut harus
membungkusnya.
Ada marah. Kecewa.
Karena gelap merebutnya. Membungkus ia yang aku tunggu.
Tak pula bisa aku bayangkan ada sewarna yang lain. Lalu samar aku perdengarkan.
“Kamu boleh marah
padaku. Pada gelap yang dulu begitu kamu suka. Yang selalu dengan waktu
mendengarmu. Kututupi senja darimu. Untukmu dan waktumu.”
Nyatanya aku masih saja
menangisi gelap. Masih juga selalu bersembunyi dalam dekapannya. Mencoba
bercengkrama dengan ruang darinya.
Lalu secinta apapun aku pada senja. Ia tetap hanya
sementara. Seperti yang kamu dan dia kata.
“Besok, aku bawakan
kamu senja. Kamu sangat suka senja, bukan? Kali ini kamu mau senja yang bagaimana?”
Aku tak pernah meminta
padamu. Tidak. Jika itu bukan hakku. Tidak. Jika itu bukan waktuku. Aku sangat
tahu kamu, gelap yang selalu menyayangiku. Selalu akan ada untukku. Dan yang
paling aku tahu, senja selalu kamu bawa sebagai tanda untukmu yang segera datang.
Aku hanya kadang lupa. Bahwa itu akan tetap seperti
itu. Senja menjadi tandamu. Dan lalu menyembunyikannya.
“Apa kamu ingat?
Ketika pertama kubawa senja itu. Ketika kamu tak juga mengenali apa-apa. Dan
ketika itu bahkan kamu tak selalu bisa bersamaku. Jadi, aku bawakan dia. Lalu
kali ini, aku tutupi ia darimu. Karena itu memang tugasku.”
Benar. Itu memang menjadi
tugasmu. Membawa lalu meniadakannya. Tapi untuk apa? Pamer? Hanya itu kah?
Ini salahmu. Karena membuatku begitu jauh jatuh dalam
senja.
“Kemarilah. Cukup
untuk sekarang. Senja itu memang harus selalu begitu. Ada lalu meniada. Dan
kamu, cukup menikmatinya saja.”
Menikmati? Aku menyukainya. Dan aku telah terlalu jauh
jatuh cinta padanya. Pada senja yang kamu bawa. Lalu bagaimana? Dan kamu
memintaku menikmatinya saja? Tentang apa?
“ Kamu selalu saja
bertanya. Tapi itulah kamu. Lalu aku masih tetap gelapmu. Gelap yang selalu ada
untukmu. Gelap yang masih menutup senja darimu.”
Kamu pasti sangat ingin tahu. Kenapa aku begitu suka
pada senja yang hanya sementara. Dan jawaban yang sama akan selalu kamu
dengarkan dariku. Dalam segala tidak tahu yang aku bawa. Seperti tidak tahu ku
tentang cara menikmatinya. Juga tidak tahu ku tentang cara membencinya. Atau
untuk tidak menyukainya. Bukankah kamu harusnya sudah sangat hafal tentang itu?
“ Kemarilah.
Senjamu akan datang. Meski waktu tak lagi dijadikan sama. Meski kadang dunia
menjadi kamu rasa maya. Akan aku bawakan senja untukmu. Disitu. Dalam sorot
matamu.”
Kamu janjikan itu padaku.
Di depan sepi yang kamu jadikan saksi. Dalam teka-teki yang kamu kata untukku
mengisi waktu. Dan itu berarti, aku harus menunggu. Lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar