Ada sebuah gambaran
sederhana terlintas. Ketika gelap belum juga genap. Dalam ruang yang masih saja
mengambang. Sekilas tentang yang tak juga bisa dibayangkan. Tentang keinginan.
Masih saja memilah-milah. Membuatkan
sebuah bingkai manis yang menyisa. Di musim ini, musim kering tanpa ada lagi
air beriring. Daun-daun pohon menguning.
Kuperhatikan suatu waktu. Angin
membawa suaranya padamu. Lalu kamu berdiri. Menengadah pada waktu. Gaun hitam
melambai padaku. Menyapukan debu dalam barisan kaki membatu. Mataku terpaku. Saat
kubidikkan lensa pada sudut itu, aku melihat, kamu.
Menengadah dan menyerahkan
nafas pada angin. Membiarkan raga dihujani cahaya. Lalu daun-daun.
Kuperhatikan kamu. Rambut panjangmu.
Mengayun pada lantunan lembut angin membawanya. Gaun berderai menyibak membuka
keanggunan hatimu.
Lalu matamu. Sekalipun tertutup,
aku tahu ada cerah keindahan nampak digambar oleh lembut senyum itu. Terpaku aku
di tempatku. Berdiri lalu membatin.
“Apa yang yang kamu lakukan? Tidakkah kamu lihat ranting tersangkut di rambut indahmu. Daun-daun jatuh mulai mematuk mukamu. Tidakkah itu sakit?Apa yang kamu lakukan? Angin akan mengacak rambutmu. Membuat lusuh pakaianmu. Kenapa kamu terlihat begitu damai? Memejam dan menengadah.”
Angin
mendengarkan itu padamu. Kamu gerakan kepalamu, ke arahku. Sepertinya ia
tahu seberapa halus harus ia buat gerakanmu. Masih berdiri di tempatmu. Menunggui
daun-daun gugur mematuk-matuk kepalamu. Aku melihatnya. Senyum itu.
Dan yang membuatku semakin
mematung, matamu. Ada dunia di dalamnya. Dunia yang tak mampu aku tebak. Seperti
lubang hitam yang membuat aku terseret untuk selalu memerhatikannya. Dunia yang
aku ingini untuk segera aku jelajahi. Hanya sekejap. Kamu membalikkan lagi
kenikmatanmu. Menikmati cahaya yang menyelimutimu. Merasakan tiap sentuhan
daun-daun gugur di kepalamu.
“Siapa kamu, perempuan? Ini musim gugur. Daun-daun tak lagi basah dan meneduhkan dirimu. Angin ini kering. Tak pula akan membawakan sejuk pada kulitmu. Lalu cahaya ini. Cahaya yang menyisakan keringat dalam tiap pori kulitku. Cahaya yang hanya akan membakar kedamaianmu. Siapa kamu, perempuan?”
Ku perhatikan
sekelilingmu. Rumput ilalang tak pula menyapaku. Ia hanya lalu. Seperti ikut
bersamamu. Melakukan pemujaan pada entah apa. Memerhatikanmu. Kuberanikan diriku. Bergerak perlahan ke arahmu. Dalam tiap langkah,
angin mulai menggiringku. Membisikkan kesejukan yang juga ada dalam
lingkaranmu. Semakin dekat, aku sadari ada kekaguman tak terbayang di benakku. Kamu,
seperti mati terhadap waktu. Memunculkan musim semi dibawah pohon dan daun
gugur itu.
Aku takjub sekaligus heran
pada pemandangan sore itu. Dari celah lensa, aku bingkai kamu dalam keabadian
rasa. Aku yang tanpa sengaja terseret dan terjebak dalam damaimu, wahai perempuan waktu.
sambil dengerin i'll be there for you-nya Bon Jovi tulisanmu ini makin bermakna Geg...
BalasHapusi'll be there? yang mana itu bli?
Hapusi'll be there for you-nya Bon Jovi, googling aja Geg... :)
Hapussek ta tanya om google dulu.. hehe
Hapusngomong2 sentimentilkah?