suatu kali, saya pernah dikenalkan pada lukisan. itu adalah kali pertama saya tahu lukisan. saat pertama saya melihat, itu hanyalah sebuah gambar yang cerah ceria. seperti ruangan untuk anak TK yang penuh dengan titik-titik yang meriah dan berwarna. saya diberitahu bahwa namanya adalah Yayoi Kusama. seorang maestro lukisan dari Jepang. dijelaskanlah kepada saya bahwa, dia sangat kagum dengan Yayoi. mengagumi proses yang dialaminya hingga menjadi seorang maestro lukisan. ada sebuah prinsip yang dijelaskan kepada saya, bahwa menurut Yayoi, titik (dot) itu memiliki nyawa.
sesungguhnya saat itu saya tidaklah begitu paham, tapi hanya menyimak apa yang dijelaskan. memang rasanya gambar yang disuguhkan di layar itu menarik, entah dari mananya. sampai sekarangpun saya masih terpikir "titik (dot) memiliki nyawa". adakah itu mirip dengan pemahaman yang ada di kepala saya bahwa sesunggunya, semua hal berhubungan dengan 'lingkaran'. titik(dot) sangat dekat dengan lingkaran sepertinya.
jika saya pilah sekarang, mulai dari titik awal itulah, mata saya mulai terbuka. tentang ada dunia yang jauh lebih luas dari dunia tentang menamatkan pendidikan, lalu bekerja untuk mendapatkan uang dan melangsungkan hidup dengan makan. dimulai dari sebuah kesempatan sederhana yang dia berikan kepada saya, yang dia kenalkan kepada saya bahwa hidup ada makna yang lebih luas. bahwa ada jalan yang bermacam-macam, ada tikungan yang beragam.
sudahkah kamu menemukan dirimu sekarang, wahai kamu?
lembaran pesawat-pesawat kertas.. di rentang waktu yang tak terukur dalam ruang.. tanpa nama.. tanpa irama.. |pss
Kamis, 24 April 2014
Rabu, 16 April 2014
Kami Berbeda
Perlahan-lahan saya mulai mengatur emosi, mengumpulkan dan memilah emosi saat itu. Karena saya tersadar, emosi bisa disebabkan oleh hal dan tujuan yang berbeda. Semisal saat saya menuliskan ini, adalah saat saya baru saja meringkuk dalam kamar gelap. Sepanjang perjalanan yang saya lalui tadi menjadi sederetan kisah yang dipilah-pilah oleh kenangan saya tentang hal-hal yang membekas. Yang paling teringat saat itu adalah tentang bagaimana sebuah kalimat terlontar dari mulut orang dekat saya.
Saya tidak pernah menyesalkan telah dilahirkan menjadi seorang Hindu, pun begitu dengan dia, yang tak pernah menyesal dilahirkan sebagai Kristen. Hanya saja, ego terkadang membuat saya merasa marah terhadap keadaan, terhadap sekat-sekat. Tapi apapun itu, nyatanya sudah kami lewati hampir setahun lamanya. Saya akhirnya bisa bertahan dengan benteng yang saya bangun. Dan dia pun sudah beberapa kali menemukan tempat-tempat baru. Satu hal yang masih tetap bertahan dalam diri "kami" adalah saya dan dia masih menyediakan tempat untuk masing-masing. Meski harus saya akui bahwa akan ada pengikisan proporsi di dalamnya. Harus saya terima sebagai sebuah kompensasi.
Tapi selalu saya kirimkan doa untuk kebahagiaannya. Sekalipun akhirnya harus saya terima jika seandainya sudah tak lagi tersisa tempat disana.
"suatu hari nanti kalau kamu menikah, aku tak akan menghadirinya. dan begitu pula saat aku menikah, aku tak akan memintamu hadir." "kenapa?" "aku hanya tak ingin ada penyesalan diantara kita dan berpikir 'seharusnya aku yang berada disana bersamamu'."Kala ia mengucapkannya adalah saat dimana kami telah disadarkan oleh keadaan bahwa kami memang 'berbeda' kelahiran. Kami sama-sama sepakat untuk menyudahi berlari bersama ikatan yang jelas-jelas tak akan bisa dipertahankan. Saya selalu percaya akan ada ruang tersendiri yang tak akan bisa digantikan apapun dalam diri saya, untuk dia. Kadang kala saya menjadi terheran-heran dengan diri sendiri, bukan kah hal semacam itu, bodoh namanya. Bagaimana tidak, itu justru akan menyiksa diri saya sendiri.
Saya tidak pernah menyesalkan telah dilahirkan menjadi seorang Hindu, pun begitu dengan dia, yang tak pernah menyesal dilahirkan sebagai Kristen. Hanya saja, ego terkadang membuat saya merasa marah terhadap keadaan, terhadap sekat-sekat. Tapi apapun itu, nyatanya sudah kami lewati hampir setahun lamanya. Saya akhirnya bisa bertahan dengan benteng yang saya bangun. Dan dia pun sudah beberapa kali menemukan tempat-tempat baru. Satu hal yang masih tetap bertahan dalam diri "kami" adalah saya dan dia masih menyediakan tempat untuk masing-masing. Meski harus saya akui bahwa akan ada pengikisan proporsi di dalamnya. Harus saya terima sebagai sebuah kompensasi.
Tapi selalu saya kirimkan doa untuk kebahagiaannya. Sekalipun akhirnya harus saya terima jika seandainya sudah tak lagi tersisa tempat disana.
Minggu, 13 April 2014
Fase Jenuh
Ini mungkin jadi sebuah kepingan dari cerita lain. Karena ruang ini adalah ruang yang saya jadikan tempat untuk menyimpan batas-batas yang sekiranya belum tertembus ruang lain, maka akan ada bagian yang jadi keluar batas dan masuk ke ranah yang agak dalam. sebagian akan terasa membosankan. Tapi jika saya pikirkan lagi, bukankah hidup pun sama demikian. Kadang akan ada bagian yang menjadi sangat menjemukan. Bahkan udara yang bisa jadi terasa sangat, sangat, dan sangat jenuh. Salahkah udara? tentu tidak.
Saya mungkin jadi telah, dan sedang berada dalam bagian itu.Jenuh. Jemu. Bosan. Terhadap apapun. Jika dilihat dari latar belakang saya sendiri, seharusnya tak ada hal yang akan membuat bosan. Rutinitas kerja sebagai seorang pendidik saya lakoni bersama orang-orang menyenangkan. Lalu berkecimpung dalam kegiatan di luar rutinitas kerja, bergaul dengan banyak remaja dalam kegiatan olahraga. Yang sekali waktu akan memberikan lingkungan berbeda dengan tempat kerja. Bukankah itu tak akan menjadi membosankan? Tapi, sebanyak apapun saya menghirup udara yang berbeda, sebanyak apapun lingkungan yang saya selami, tetap saja akan ada fase 'bosan'.
Semuanya terasa teramat datar. Fluktuasi menghilang. Kaki yang menjejak tanah terasa mengambang. Tanpa sebab yang bisa saya jelaskan. Hanya terjadi begitu saja. Jika boleh diibaratkan, seperti kamar yang kehilangan sakelar lampu. Setiap kali berdiam di satu tempat, tak sampai 5 menit segera ingin beranjak ke tempat lain. Kamar, rumah, bukan lagi jadi tempat yg membuat diri saya bisa berdiam lama. Dan karenanya saya menjadi sangat suka saat berkendara. Berpikir dan mengkhayal tentang berbagai hal di atas motor yang sedang melaju sedang menjadi hal yang menyenangkan bagi saya.
Sepertinya Tuhan sedang membuat saya tersadar, tentang fase yang pernah dialami oleh orang dekat saya terdahulu. Dulu saya tak pernah habis pikir tentang 'apa yang salah'. Pikiran saya tak pernah bisa terima apalagi menjadi paham. Bahwa jenuh kadang bisa membuat orang 'mati'. Dan itu mungkin yang dialami olehnya kala itu. Setelah sekarang terlewat beberapa tahun, akhirnya saya terpikir, ternyata saya hanya akan mengulang lalu dibuat sadar dengan ditempatkan pada posisi yang sama dengannya. Betapa egoisnya saya kala itu. Jika saya bayangkan sekarang, betapa tersiksanya. membuat pilihan berat. Lalu menanggungnya sendirian. Dia orang yang hebat, saya selalu percaya itu.
Lebih jauh berpikir, saya juga mungkin akan ditempatkan pada posisi-posisi dia lainnya. Lalu mungkinkah ini sesungguhnya tautan karma?
Tiap titik yang ditempatkan pada saya, seperti sebentuk pengulangan untuk membuat saya paham tentangnya. Bahwa, apa yang saya pikirkan, hanyalah yang saya pikirkan.
Saya jadi ingin bertanya, beginikah yang dia rasa pada saat itu. Tak merasai apa-apa. Jenuh terhadap keseharian, merasa tak ada kejutan apa-apa. Segala yang dijalani seolah-olah hanya sebentuk maya. Saya merasa seperti tak ada yang harus dikejar. Tak ada yang mesti dituju. Pemenuhan hobi bahkan masih saya jalankan. Berkumpul dan tertawa-tawa dengan berbagai macam orang. Tapi tetap saja, semua terasa mengambang.
Saya tak ingin mengulang hasil yang sama. Saya juga tak ingin menjadi orang yang sama. meski saya harus berada pada posisi yang pernah dialaminya, saya hanya harus paham dan tersadar, bukan untuk menghasilkan hal yang sama. Dia masih menjadi orang dekat saya (setidaknya dalam tempat yang saya simpan). Saya selalu berdoa, jika pun ada tautan karma yang mesti kami selesaikan, semoga dia tidak membuang waktunya untuk sadar terlalu lama. Semoga saja. Selalu saya doakan untuk bahagia yang ia dambakan, nyaman yang selalu dia kejar.
Saya mungkin jadi telah, dan sedang berada dalam bagian itu.Jenuh. Jemu. Bosan. Terhadap apapun. Jika dilihat dari latar belakang saya sendiri, seharusnya tak ada hal yang akan membuat bosan. Rutinitas kerja sebagai seorang pendidik saya lakoni bersama orang-orang menyenangkan. Lalu berkecimpung dalam kegiatan di luar rutinitas kerja, bergaul dengan banyak remaja dalam kegiatan olahraga. Yang sekali waktu akan memberikan lingkungan berbeda dengan tempat kerja. Bukankah itu tak akan menjadi membosankan? Tapi, sebanyak apapun saya menghirup udara yang berbeda, sebanyak apapun lingkungan yang saya selami, tetap saja akan ada fase 'bosan'.
Semuanya terasa teramat datar. Fluktuasi menghilang. Kaki yang menjejak tanah terasa mengambang. Tanpa sebab yang bisa saya jelaskan. Hanya terjadi begitu saja. Jika boleh diibaratkan, seperti kamar yang kehilangan sakelar lampu. Setiap kali berdiam di satu tempat, tak sampai 5 menit segera ingin beranjak ke tempat lain. Kamar, rumah, bukan lagi jadi tempat yg membuat diri saya bisa berdiam lama. Dan karenanya saya menjadi sangat suka saat berkendara. Berpikir dan mengkhayal tentang berbagai hal di atas motor yang sedang melaju sedang menjadi hal yang menyenangkan bagi saya.
Sepertinya Tuhan sedang membuat saya tersadar, tentang fase yang pernah dialami oleh orang dekat saya terdahulu. Dulu saya tak pernah habis pikir tentang 'apa yang salah'. Pikiran saya tak pernah bisa terima apalagi menjadi paham. Bahwa jenuh kadang bisa membuat orang 'mati'. Dan itu mungkin yang dialami olehnya kala itu. Setelah sekarang terlewat beberapa tahun, akhirnya saya terpikir, ternyata saya hanya akan mengulang lalu dibuat sadar dengan ditempatkan pada posisi yang sama dengannya. Betapa egoisnya saya kala itu. Jika saya bayangkan sekarang, betapa tersiksanya. membuat pilihan berat. Lalu menanggungnya sendirian. Dia orang yang hebat, saya selalu percaya itu.
Lebih jauh berpikir, saya juga mungkin akan ditempatkan pada posisi-posisi dia lainnya. Lalu mungkinkah ini sesungguhnya tautan karma?
Tiap titik yang ditempatkan pada saya, seperti sebentuk pengulangan untuk membuat saya paham tentangnya. Bahwa, apa yang saya pikirkan, hanyalah yang saya pikirkan.
Saya jadi ingin bertanya, beginikah yang dia rasa pada saat itu. Tak merasai apa-apa. Jenuh terhadap keseharian, merasa tak ada kejutan apa-apa. Segala yang dijalani seolah-olah hanya sebentuk maya. Saya merasa seperti tak ada yang harus dikejar. Tak ada yang mesti dituju. Pemenuhan hobi bahkan masih saya jalankan. Berkumpul dan tertawa-tawa dengan berbagai macam orang. Tapi tetap saja, semua terasa mengambang.
Saya tak ingin mengulang hasil yang sama. Saya juga tak ingin menjadi orang yang sama. meski saya harus berada pada posisi yang pernah dialaminya, saya hanya harus paham dan tersadar, bukan untuk menghasilkan hal yang sama. Dia masih menjadi orang dekat saya (setidaknya dalam tempat yang saya simpan). Saya selalu berdoa, jika pun ada tautan karma yang mesti kami selesaikan, semoga dia tidak membuang waktunya untuk sadar terlalu lama. Semoga saja. Selalu saya doakan untuk bahagia yang ia dambakan, nyaman yang selalu dia kejar.
Sabtu, 12 April 2014
Jejak-Jejak
Awan berarak diatas kepala. Anginnya masih
sama seperti ketika ia meninggalkan jejak-jejak langkahnya disana. Tak pernah
ia bayangkan akan sekali lagi ia dengan pikirannya bahwa ia dapat segera
kembali. Menebar lembaran-lembaran menjalar. Seperti ketika matahari yang
pernah ia pandangi sama. Matahari yang juga pernah membutakan matanya.
Re masih disana. Menelusuri, menebak-nebak
jejak yang masih menjadi sisa ketika ia tak lagi menyisa. Tak lagi ada yang ia
temukan. Matanya telah jadi buta. Beberapa waktu yang telah berlalu menyisakan
butiran-butiran pasir yang melekat di dalam kelopak matanya. Ia tak pernah
sekalipun membuka kelopak mata setelahnya. Mungkin karena rasa perih yang tak
bisa dia kira. Atau, mungkin karena air mata menahan bola matanya untuk
menyemai cahaya.
Ia masih disana. Menghadapkan punggungnya
pada hamparan langit tanpa tepi. Mungkin
Re sengaja menemui sepi. Lalu akan ia tuliskan ribuan kata pada tinta-tinta
yang ia bawa sendiri. Tak pernah selembarpun terlewatkan darinya untuk ditulisi.
Karena hanya itu yang membuat ia dekat dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya Re
tak pernah sendiri. Tapi hanya saja saat ingin bertemu dengan sepi ia selalu
datang sendiri. Menempatkan dirinya tepat dihadapan sepi. Benar-benar dihadapan
sepi. Bercerita kepadanya tentang kata
yang baru saja ia tulisi. Mengisi telinganya dengan cerita-cerita yang baru
saja ia hadapi.
“Bagaimana kabarmu sepi? Kau pasti sering bertanya-tanya mengapa aku selalu datang kemari. Meski tak sekalipun aku tahu bagaimana rupa dan parasmu. Aku hanya akan tetap datang kemari. Kamu tak akan keberatan bukan? Aku hanya akan menumpangkan kata-kataku kepada angin untuk disampaikan kepadamu”
Awalan yang selalu Re gunakan untuk menyapa
sepi. Selalu dalam waktu yang ia biarkan berlalu disebelahnya. Sepi, adalah
yang menurut Re paling mengertikan dirinya. Yang akan selalu menyiapkan tempat
untuknya. Yang juga akan menyiapkan gambaran tentang kabar cahaya yang pernah
membutakan matanya.
“Sepi, bagaimana kabarnya hari ini? Apa cahayanya masih sama? Ia pernah memberitahuku bahwa cahayanya tak akan pernah jadi berbeda. Itu akan selalu sama. Adakah ia memberitahumu juga? Betapa lucunya dia, bukan? Cahanyanya selalu akan membuatmu tertawa. Coba saja kamu berkata kepadanya, akan kamu dengarkan merdu suaranya dalam lantunan kalimat lantang. Itu dia, memang dia. Ia masih tetap disana, bukan? Jangan pernah kamu kira ia sombong. Ia hanya mandiri, menebar apa yang ia punyai. Ia sesungguhnya hanya ingin bertemu kamu, sepi. Ia hanya tak ada yang memahami. Bahwa ia dalah ia yang inginkan tempat menepi sesekali.”
Re sangat tahu, bahwa tak ada tempat selain
tempat ini yang akan mengerti tentang ceritanya. Tak akan ada tempat lain yang
bisa ia titipkan cerita-ceritanya. Re benar-benar tahu tentang hal itu. Sama
seperti yang ia tahu bahwa tak ada arah angin yang akan sama. Juga tak akan ada
titik dalam awan yang menempati tempat yang sama. Dan karenanya Re membiarkan
angin mengantarkan kata-katanya kemana saja. Re telah lama berdamai dengan buta
yang ia pilih untuk dirinya. Dengan dingin angin yang selama ini meminjamkan
tumpangannya. Tapi Re, tak pernah sadar bahwa berdamai menjadikan dunianya
datar.
“Aku titipkan ini kepadamu. Kepada ruang yang kamu pinjamkan. Aku tumpangkan lagi pada angin kali ini. Lewat deru yang kadang akan membuatmu ragu. Mungkin telah berulang kali aku ceritakan kepadamu. Tentang warna yang tanpa sengaja ia buat. Tentang pilihan yang mesti aku tetapkan. Dan yang juga ia tetapkan. Tentang siluet yang mencoba aku simpan dalam kebutaan. Aku tak akan pernah meminta jejak yang sama yang akan dibuatkan. Hanya simpankan saja tentang warnanya yang selalu akan sama. Tentang cahaya yang kamu kata, senja.”
Angin kali ini menderu di telinganya. Tapi Re
tetap bergeming di tempatnya. Entah apa yang telah ia lihat dalam kebutaannya. Senyum
selalu ia bawa. Jejak kaki nya mulai meniada. Pasir-pasir tak lagi tertahan
oleh tubuhnya. Hanya kata-kata di udara
yang menyisa.
“Angin, aku titipkan sekali lagi. Hanya sekali lagi. Simpan saja disana, di tempat sepi berada. Seperti biasanya. Lalu sampaikan kepadanya, tentang kata yang hanya menggantung di udara. Dan akan aku ceritakan segera, tentang yang aku simpan padanya begitu lama. Iya, dan ini hanya kepadanya. Lalu biarkan aku berdiam sementara. Karena dunia nyatanya mulai jadi sangat gelap. Aku hanya akan pergi sementara. Ke tempat sepi menyisakan tempatnya untukku berdiam lama. Di ‘sana’.
Selasa, 08 April 2014
Kedatanganmu
Angin menderu ditelingaku. Belum juga habis pikirku. Membaca lalu membayangkan apa yang kau tuliskan malam itu. Kau pastikan dirimu telah menapak sekali lagi, kepada tanah yang jadi sama dan bukan lagi udara.
Kalimatmu sederhana, sesederhana yang pernah
aku katakan kepadanya, tentang kamu. Tak bisa habis aku bayangkan. Apa yang
sekiranya kamu tunggangi hingga beraninya bumi membiarkan kakimu menjejak lagi
dan bukannya udara.
Saat itu masih gelap, saat nyaris terlelap
kamu sampaikan kalimatmu ke tempatku. Kalimat girang berlomba untuk pulang. Dan
saking banyaknya yang ingin keluar, hanya sederhana yang mampu aku sampaikan.
Aku jadi semakin penasaran. Apa kiranya yang akan kalian bicarakan. Saat malam
membuat kalian membagi tempat tidur bersama. Apa kiranya yang akan kalian
lakukan, saat siang memaksa kalian membagi ruang untuk berganti. Adakah aku
bersyukur kalian telah menjadi kalian?
Lalu dengan tiba-tiba giliran datang padaku.
Siang yang bersamaku kala itu membawakan penasaran tanpa tahu malu. Deru
kendaraan yang tak tentu, dan tak terduga akan ada kamu. Klakson memanggilku.
Rasa Penasaran mendorongku. Itu kamu? Kalian? Lalu aku.
Seandainya, waktu akan membagikan sedikit
ruang untuk aku bersama dengan keinginanku. Harap yang sekiranya pernah aku
simpankan begitu lama. Mengamatimu berjalan, lalu beriringan. Angin, matahari,
pohon-pohon. Dan nyatanya, hanya dengan demikian. Hanya dengan sekilah menderu
yang membiarkan aku menumpahkan penasaranku.
Telingaku mendengar. Lalu mataku mencari-cari
untuk bisa melihat. Aku, melihat kamu berlalu. Angin masih saja menderu. Ada
tawa yang hanya sekilas aku tahu. Tawa renyah tentang kalian, bercampur aduk
membaur bersama suaramu. Terkejutkah kamu? Benar, itu memang kamu.
Dunia memang telah membelah-belah serupa
beberapa bagian. Bagianku lalu bagian kamu. Kalian. Sudah terbelah dalam riuh
yang membeda. Waktu yang berlari beberapa saat itu telah membelah aku juga
duniaku. Ada banyak kata yang tak akan lagisampai padamu. Akan ada banyak kata
pula yang tak akan lagi aku dengar darimu. Ini duniaku. Aku telah dalam
duniaku. Lalu bersama mereka dalam duniaku.
Langganan:
Postingan (Atom)