Rabu, 16 April 2014

Kami Berbeda

Perlahan-lahan saya mulai mengatur emosi, mengumpulkan dan memilah emosi saat itu. Karena saya tersadar, emosi bisa disebabkan oleh hal dan tujuan yang berbeda. Semisal saat saya menuliskan ini, adalah saat saya baru saja meringkuk dalam kamar gelap. Sepanjang perjalanan yang saya lalui tadi menjadi sederetan kisah yang dipilah-pilah oleh kenangan saya tentang hal-hal yang membekas. Yang paling teringat saat itu adalah tentang bagaimana sebuah kalimat terlontar dari mulut orang dekat saya.
"suatu hari nanti kalau kamu menikah, aku tak akan menghadirinya. dan begitu pula saat aku menikah, aku tak akan memintamu hadir." "kenapa?" "aku hanya tak ingin ada penyesalan diantara kita dan berpikir  'seharusnya aku yang berada disana bersamamu'."
Kala ia mengucapkannya adalah saat dimana kami telah disadarkan oleh keadaan bahwa kami memang 'berbeda' kelahiran. Kami sama-sama sepakat untuk menyudahi berlari bersama ikatan yang jelas-jelas tak akan bisa dipertahankan. Saya selalu percaya akan ada ruang tersendiri yang tak akan bisa digantikan apapun dalam diri saya, untuk dia. Kadang kala saya menjadi terheran-heran dengan diri sendiri, bukan kah hal semacam itu, bodoh namanya. Bagaimana tidak, itu justru akan menyiksa diri saya sendiri.

Saya tidak pernah menyesalkan telah dilahirkan menjadi seorang Hindu, pun begitu dengan dia, yang tak pernah menyesal dilahirkan sebagai Kristen. Hanya saja, ego terkadang membuat saya merasa marah terhadap keadaan, terhadap sekat-sekat. Tapi apapun itu, nyatanya sudah kami lewati hampir setahun lamanya. Saya akhirnya bisa bertahan dengan benteng yang saya bangun. Dan dia pun sudah beberapa kali menemukan tempat-tempat baru. Satu hal yang masih tetap bertahan dalam diri "kami" adalah saya dan dia masih menyediakan tempat untuk masing-masing. Meski harus saya akui bahwa akan ada pengikisan proporsi di dalamnya. Harus saya terima sebagai sebuah kompensasi.
Tapi selalu saya kirimkan doa untuk kebahagiaannya. Sekalipun akhirnya harus saya terima jika seandainya sudah tak lagi tersisa tempat disana. 

5 komentar:

  1. jika sudah tiba saatnya, sekat2 itu pada akhirnya bukan menjadi penghalang penyatuan rasa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. :)
      mmg bukan penghalang bli untuk rasa 'kami'
      tapi dijadikan alasan untuk membuat kami berbeda..
      sejujurnya itu yang masih belum bisa aku luruskan dalam kepala ku juga mereka..

      Hapus
    2. nah, apakah kalian ada keberanian utk mendobrak itu...??
      kalo ga ada ya lepaskan Geg

      Hapus
    3. kami (terutama aku) masih lebih sayang pada airmata ayah dan ibu..
      bukan masalah mendobrak sekat..

      Hapus