Sabtu, 12 April 2014

Jejak-Jejak



Awan berarak diatas kepala. Anginnya masih sama seperti ketika ia meninggalkan jejak-jejak langkahnya disana. Tak pernah ia bayangkan akan sekali lagi ia dengan pikirannya bahwa ia dapat segera kembali. Menebar lembaran-lembaran menjalar. Seperti ketika matahari yang pernah ia pandangi sama. Matahari yang juga pernah membutakan matanya.

Re masih disana. Menelusuri, menebak-nebak jejak yang masih menjadi sisa ketika ia tak lagi menyisa. Tak lagi ada yang ia temukan. Matanya telah jadi buta. Beberapa waktu yang telah berlalu menyisakan butiran-butiran pasir yang melekat di dalam kelopak matanya. Ia tak pernah sekalipun membuka kelopak mata setelahnya. Mungkin karena rasa perih yang tak bisa dia kira. Atau, mungkin karena air mata menahan bola matanya untuk menyemai cahaya.

Ia masih disana. Menghadapkan punggungnya pada hamparan langit tanpa tepi.  Mungkin Re sengaja menemui sepi. Lalu akan ia tuliskan ribuan kata pada tinta-tinta yang ia bawa sendiri. Tak pernah selembarpun terlewatkan darinya untuk ditulisi. Karena hanya itu yang membuat ia dekat dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya Re tak pernah sendiri. Tapi hanya saja saat ingin bertemu dengan sepi ia selalu datang sendiri. Menempatkan dirinya tepat dihadapan sepi. Benar-benar dihadapan sepi.  Bercerita kepadanya tentang kata yang baru saja ia tulisi. Mengisi telinganya dengan cerita-cerita yang baru saja ia hadapi.


“Bagaimana kabarmu sepi? Kau pasti sering bertanya-tanya mengapa aku selalu datang kemari. Meski tak sekalipun aku tahu bagaimana rupa dan parasmu. Aku hanya akan tetap datang kemari. Kamu tak akan keberatan bukan? Aku hanya akan menumpangkan kata-kataku kepada angin untuk disampaikan kepadamu”


Awalan yang selalu Re gunakan untuk menyapa sepi. Selalu dalam waktu yang ia biarkan berlalu disebelahnya. Sepi, adalah yang menurut Re paling mengertikan dirinya. Yang akan selalu menyiapkan tempat untuknya. Yang juga akan menyiapkan gambaran tentang kabar cahaya yang pernah membutakan matanya.


Sepi, bagaimana kabarnya hari ini? Apa cahayanya masih sama? Ia pernah memberitahuku bahwa cahayanya tak akan pernah jadi berbeda. Itu akan selalu sama. Adakah ia memberitahumu juga? Betapa lucunya dia, bukan? Cahanyanya selalu akan membuatmu tertawa. Coba saja kamu berkata kepadanya, akan kamu dengarkan merdu suaranya dalam lantunan kalimat lantang. Itu dia, memang dia. Ia masih tetap disana, bukan? Jangan pernah kamu kira ia sombong. Ia hanya mandiri, menebar apa yang ia punyai. Ia sesungguhnya hanya ingin bertemu kamu, sepi. Ia hanya tak ada yang memahami. Bahwa ia dalah ia yang inginkan tempat menepi sesekali.”


Re sangat tahu, bahwa tak ada tempat selain tempat ini yang akan mengerti tentang ceritanya. Tak akan ada tempat lain yang bisa ia titipkan cerita-ceritanya. Re benar-benar tahu tentang hal itu. Sama seperti yang ia tahu bahwa tak ada arah angin yang akan sama. Juga tak akan ada titik dalam awan yang menempati tempat yang sama. Dan karenanya Re membiarkan angin mengantarkan kata-katanya kemana saja. Re telah lama berdamai dengan buta yang ia pilih untuk dirinya. Dengan dingin angin yang selama ini meminjamkan tumpangannya. Tapi Re, tak pernah sadar bahwa berdamai menjadikan dunianya datar.


Aku titipkan ini kepadamu. Kepada ruang yang kamu pinjamkan. Aku tumpangkan lagi pada angin kali ini. Lewat deru yang kadang akan membuatmu ragu. Mungkin telah berulang kali aku ceritakan kepadamu. Tentang warna yang tanpa sengaja ia buat. Tentang pilihan yang mesti aku tetapkan. Dan yang juga ia tetapkan. Tentang siluet yang mencoba aku simpan dalam kebutaan. Aku tak akan pernah meminta jejak yang sama yang akan dibuatkan. Hanya simpankan saja tentang warnanya yang selalu akan sama. Tentang cahaya yang kamu kata, senja.”


Angin kali ini menderu di telinganya. Tapi Re tetap bergeming di tempatnya. Entah apa yang telah ia lihat dalam kebutaannya. Senyum selalu ia bawa. Jejak kaki nya mulai meniada. Pasir-pasir tak lagi tertahan oleh tubuhnya.  Hanya kata-kata di udara yang menyisa.


Angin, aku titipkan sekali lagi. Hanya sekali lagi. Simpan saja disana, di tempat sepi berada. Seperti biasanya. Lalu sampaikan kepadanya, tentang kata yang hanya menggantung di udara. Dan akan aku ceritakan segera, tentang yang aku simpan padanya begitu lama. Iya, dan ini hanya kepadanya. Lalu biarkan aku berdiam sementara. Karena dunia nyatanya mulai jadi sangat gelap. Aku hanya akan pergi sementara. Ke tempat sepi menyisakan tempatnya untukku berdiam lama. Di ‘sana’.


Tak ada yang menyisa. Seperti kata-kata yang Re gantungkan di udara. Hanya kata-katanya. Bahkan bayangan telah ikut bersamanya.

2 komentar: