Jumat, 31 Januari 2014

Di Suatu Saat Menjelang Petang (Revisi)

Malam baru menjelang, lalu melewati beberapa putaran jam. Ketika pintu mobil tertutup ternyata hampir menjelang dipertengahan malam. Pelan, langkah pria itu menuju ruang tengah. Matanya tertuju pada apa yang nampak di atas sofa. Seseorang yang terlihat begitu ringkih. Memeluk sebuah buku dengan mata terpejam. Ada beberapa kertas berserakan diatas meja. Gelas yang telah kosong disamping kirinya. Tanda bahwa ada beberapa kali tuangan dan juga tegukan. Bekas-bekas tinta telah tergurat di beberapa lembarannya. Wanitanya. Iya, wanita yang kini bersamanya. Wanita yang juga dulu bersamanya. Wanita yang tak pernah ia duga begitu ia harap bisa bersamanya. Wanita, yang ia percaya akan selalu bersamanya.
Entah sudah berapa kalimat yang ia tuliskan dalam lembaran yang kini berserakan. Mengisi tiap celah sembari menunggangi waktu menunggui pria itu menyambangi gerbangnya. Matanya masih terpejam. Pria itu menunduk perlahan. Memerhatikan wajah yang sempat ia abaikan. Mengamati tiap senti guratan yang ada di hadapannya. Ternyata ada begitu banyak guratan yang tergambar. Sekalipun sudah sering ia perhatikan dalam tiap malam. Tapi tetap ia perhatikan lekat-lekat. Dahi, alis, lalu mata. Ia hampir lupa, mata itu mata yang begitu lama takut untuk ia dalami. Sesungguhnya adalah mata yang sama yang ia tahu begitu tulus memerhatikan dirinya. Mata yang kini membawa ia masuk dalam ingatannya. Ingatan tentang betapa setianya mata itu memancarkan sorot yang sama pada dirinya. Mata tentang pengabdian.
Ada beberapa helai rambut yang tersisa di dahinya. Entah sudah berapa kali wanita itu membenahi rambut nakalnya. Menyeka keringat sambil memerhatikan jam dinding yang terpajang apik di ruangan. Pria itu menebak, bahwa wanitanya telah berulang kali mencoba menghubunginya. Ponselnya masih tergeletak di sebelah sofa. Wajah itu nampak tak damai dalam lelapnya. Ingin sekali ia bercebur bersama dan melelapkan dirinya segera. Tapi ia membisik perlahan. Tak ingin ia bangunkan wanitanya. Lalu ia tundukkan kepalanya. Menghadiahi kecupan di dahi wanitanya. Sembari berharap akan ia kirimkan damai dalam mimpi yang sekarang sedang dialaminya.
Mata itu membuka. Mata yang sekian menit ia perhatikan mengerjap perlahan. Lalu dengan sedikit terkesiap wanita itu berkata lembut.
“Kamu sudah pulang? Sudah makan? Sebentar, aku siapkan air panas untukmu.”
Pria itu hanya tersenyum, ia tak ingin melepaskan pemandangan yang sedari tadi ia nikmati. Kali ini ia ingin menikmatinya sekali lagi. Mengamati wanitanya lekat-lekat, lalu menarik tanganya perlahan. Merengkuh dan memeluknya erat.
            “Diamlah sebentar. Disini. Sebentar saja.”
Tak ada yang bisa diperbuat. Tanpa perlawanan sedikitpun, wanita itu duduk bersamanya. Mulai membiarkan waktu memandangi mereka. Senyum membawakan mereka ruang yang berbeda. Ruang yang hanya bisa dimasuki oleh mereka. Tak terbayangkan betapa lama penantian dalam celah waktu yang akan mereka temui. Tapi kali ini, pria itu hanya inginkan kali ini.
“Maafkan aku, sayang. Aku tak bisa memberimu bahagia. Sepanjang yang telah kita lalui, rasanya belum ada bahagia yang mampu aku berikan padamu.”
Suara pria itu bergetar lembut. Lalu ia bergerak perlahan. Mulai lagi memandangi wajah wanitanya lekat-lekat, dan memberikan kecupan di keningnya. Ia tak berharap akan menampakkan resah yang ia bawa di hadapan wanita ini. Namun, ia sadar wanita yang ada dihadapannya adalah wanita dengan mata yang mampu membacanya. Membaca dirinya. Membaca tiap celah-celah kosong dalam dirinya. Ia juga sadar, tatapan wanita ini tak akan membiarkannya lari. Tidak juga akan membiarkannya bersembunyi. Pria itu tahu, wanitanya akan segera tahu betapa lelah perjalanannya petang tadi. Betapa lama diri dan pikirannya terpenjara.
            Sandaran erat seolah mulai memberitahunya. Membawakan kembali ingatannya. Bahwa sudah ada begitu banyak lingkaran yang ia dan wanita itu lalui hingga sampai pada titik ini. Rengkuhan mereka terasa semakin erat. Waktu mungkin saja akan tertawa. Tapi waktu sangat tahu tentang banyaknya persimpangan yang telah dilalui oleh kedua makhluk Tuhan ini. Jadi tak akan ada salahnya jika waktu memberikan mereka cukup ruang malam ini. Tak tertebak apa yang telah tersusun dalam benak wanita ini. Wanita yang terlihat begitu ringkih dalam dekapan pria itu.
“Kamu tahu? Ada banyak bentuk bahagia yang bisa dirasakan. Ini salah satunya. Bentuk-bentuk lain adalah apa yang telah kita lalui  dalam lingkaran-lingkaran sebelumnya.”
Kalimat itu terlotar lembut dari mulut wanitanya. Nafas pria itu tertahan. Betapa lapang hati wanita ini. Wanita yang akan dan selalu menerimanya. Wanita yang akan selalu menjadikan dia cukup. Wanita yang akan selalu menjadi bagian dalam dirinya. Wanita yang sesungguhnya menjadi yang ia butuhkan.
“Sekiranya belum juga ada bahagia yang bisa aku perlihatkan padamu. Tapi aku berharap, pengabdian bisa aku jadikan gambaran kecil tentang bahagia padamu.”
Mendengar kalimat dari wanitanya, tak ada lagi yang mampu dikatakan pria itu kali ini. Hanya rengkuhan lembut yang bisa ia berikan pada wanita yang begitu setia menungguinya. Sembari memejamkan mata dengan ribuan harap yang ia susun. Benaknya mulai memilah, betapa sesungguhnya ia begitu lemah. Betapa ia membutuhkan topangan, dan betapa ia tak ingin sendirian. Seandainya waktu mengizinkan, ingin sekali ia beristirahat sebentar. Merebahkan sedikit resah yang ia bawa. Meski ia tahu, wanitanya tak akan kuat. Meski ia tahu, wanitanya tak akan benar-benar paham. Tapi ia sangat tahu, wanita itu akan selalu disitu. Dan tetap disitu.

Selasa, 14 Januari 2014

Disaat Menjelang Petang


Malam baru menjelang, lalu melewati beberapa putaran jam. Ketika pintu mobil tertutup.
Ternyata hampir menjelang dipertengahan malam.
Pelan, langkah kakimu menuju ruang tengah.
Aku yang sedari petang hanya memandangi huruf-huruf, menyusun beberapa kalimat untuk sekedar membiarkan waktu berlalu, dan menunggumu.
Meski terpejam memanjakan punggung merebah pada sofa lusuh. Kudengarkan perlahan, lalu jemari memulai lembut memebelai helai rambut dimukaku.

 "Kamu sudah pulang? Sudah makan? Aku siapkan makanan dan air panas untukmu ya? Sebentar."

Entah apa yg kamu pikirkan, tangan mu sesegera menarik bahuku mendekat.
Lalu memelukku erat. Ada lelah dalam mukamu. Ada letih dalam matamu.
Tapi apa yg sekiranya bisa aku perbuat.
"Diam sebentar."
 Kecupan lembut memberitahuku betapa lelah perjalananmu petang tadi. Betapa lamanya diri dan pikiranmu terpenjara.
"Maafkan aku, sayang. Aku tak bisa memberimu bahagia. Sepanjang yang kita lalui, belum rasanya ada bahagia yang bisa aku berikan padamu."
Adakah pernah kamu hitung berapa yang telah kita lalui. Mungkin ada banyak lingkaran yg mesti kita lalui hingga sampai pada titik yang sekarang. Tapi, sambil memberikan nyaman pada masing-masing pelukan, dengan yakin aku katakan.
"Ada banyak bentuk bahagia yang bisa dirasakan. Ini salah satunya. Dan bentuk-bentuk yang lain adalah apa yang telah kita lalui dalam lingkaran-lingkaran sebelumnya."
Kamu. Dan itu aku jadikan cukup.
Jemarimu yang sekarang melingkar erat juga aku jadikan cukup.
Karena dengan itu aku tahu, aku telah menjadi bagian darimu.
Karena dengan itu aku tahu, aku, kamu butuhkan.
Sekiranya juga belum ada bahagia yang mampu aku perlihatkan padamu.
Pengabdian, kujadikan bentuk gambaran bahagia padamu.
Matamu memejam. Aku tahu, dalam desah nafasmu, betapa kamu membutuhkan topangan.
Betapa kamu tak ingin sendirian.
Betapa kamu beserta juga lelahmu yang segera ingin kamu bagi.
Istirahatlah. Rebahkan sedikit resahmu dibahuku. Sekalipun aku tak kuat. Sekalipun aku tak akan paham. Tapi aku akan ada disini. Tetap disini.

Minggu, 12 Januari 2014

Inikah Tentang Hidup dan Manusia?

Hanya dalam beberapa hitungan jam yang lalu. Aku baru saja sekedar berbagi kisah, kata-kata, selayaknya yang biasa aku lakukan. Dan dalam beberapa jam itu aku menikmati tiap kisah yang diutarakan.
Pada akhirnya, menyisakan pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku. Adakah ini hidup? Seperti ini rangkaian perjalanan yang telah dilalui tiap individu?

Sesungguhnya kisah ini sudah lama aku dengarkan. Mungkin lebih dari 2,5 tahun yang lalu. Jika boleh aku utarakan ini sesungguhnya kisah ttg 'gengsi'.
Betapa tidak? Seorang laki-laki dari keluarga yang 'cukup' berada. Mendapat halangan dari keluarga ttg jalinan asamaranya dengan seorang wanita. Klise, sungguh-sungguh klise memang. Bak cerita-cerita di sinetron.
Tapi terlepas dari inikah kisah imitasi dari sinetron atau bukan. Aku tergelitik untuk berpikir, sesungguhnya apa yang salah?
Sehingga ini jd begitu bermasalah.
Aku sadar sesadar-sadarnya, tiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Dan kelak aku pun pasti demikian.

Tetap saja, aku jd berpikir adakah 'level' yang dipermasalahkan?
Rumah mewah, jabatan, penghasilan?
Itukah ukurannya?
Betapa miris jadinya, jika hal-hal demikian yang akhirnya membuat kehilangan kesadaran ttg 'kepunyaan'.
Aku jd terpikir, bukankah ini semua hanya sebatas pinjaman.
Jabatan, martabat, harta bukankah itu semua ukuran yang dibuat oleh kita sendiri?
Lalu dimana ukuran yang 'sejatinya'?
Aku rasa kita semua tahu dimana tempatnya.

Kisah ini mau tidak mau mengingatkanku ttg pengalaman. Saat aku di letakkan pada 'level' tertentu.
Ada berbagai macam penilaian terhadapku kala itu. Dan sampailah aku pada tingkatan untuk menitipkan sebagian hati pada ruang lain. Pada orang yang (katanya) memiliki lingkup dunia yang berbeda. Tapi apa yang berbeda ya? Sampai sekarang aku masih belum tahu.
Dan saat itu, begitu banyak orang menaruh perhatian pada kami. Mulai berkomentar ttg 'baik'. Sampai pada akhirnya aku dengarkan komentar bahwa aku tak ubahnya ATM berjalan. Tak jauh berbeda dengan berbagai komentar-komentar ttg keluarganya.

Ada rasa geli pada diriku. Adakah begini kehidupan menjadi manusia? Harkat dan martabat dinilai dari jabatan, pekerjaan, penghasilan.
Sungguh miris rasanya saat aku berpikir ulang, kisah kawanku ini dan kisahku sendiri sesungguhnya tak jauh-jauh dari kisah ttg 'gengsi'.
Aku bahkan pernah mendapat kalimat dari orang yang sangat aku segani dan hormati. "Apa kamu tak punya harga diri?!"
Harga diri itu apa sesungguhnya? Aku ingin sekali bertanya. Atau jangan-jangan ini hanya sebatas menjaga gengsi dimata lingkungan.

Seperti kisah kawanku ini. Dimana letak 'penerimaan' ttg rasa dari masing-masing individu yang punya hati? Bukankah mereka tidak pernah meminta untuk suka dan tidak suka pada siapa yang mereka suka. Ini timbul begitu saja, bukan? Dan jika memang rasa itu bisa dipilih untuk siapa, aku rasa semua orang akan benar-benar memilih orang dengan kualitas dan 'level' yang mereka ingini.
Tapi lagi-lagi aku jd terpikir, bukankah rasa dan masalah hati hanya timbul begitu saja dan bisa pada siapa saja?
Aahh.. Lagi-lagi jadi terjebak dengan pikiran sendiri.
Dan nyatanya terkadang orang yang sangat dewasa bisa menjadi sangat kekanakan saat mereka bersama ego dan gengsi.

Adakah Kamu Mengenalku?

Baik, dan kita sebut saja namaku Angelina Jolie. Kamu pasti tahu, tapi apa kamu kenal? Aku rasa tidak. Atau aku sebut saja namaku Raisa. Apa kamu juga akan mengenalku? Aku rasa juga tidak, jadi kusebutkan saja namaku Putu Sri Sulisthia. Toh, seperti apapun yang aku sebutkan tak akan kamu mengenalku. Menjadi siapa aku. Seperti apa wajahku. Seberapa tinggiku. Hanyalah sebentuk penggambaran dengan pengukuran yang dimiliki akal. Tapi pengukuran yang sesungguhnya, aku rasa kamu pasti tahu tempatnya. Jadi, apa kamu benar-benar mengenalku?

Pertanyaan yang sangat gampang untuk kamu sebut jawabannya semestinya. Jawab saja aku, namaku. Lalu, sudahkah itu berarti kamu mengenalku?
Apa sebatas tahu ttg apa rutinitasku. Tahu ttg lakuku bersama waktu, itu menjadikanmu telah mengenalku?
Aku bahkan tak bisa mengenali diriku. Siapa aku yang kadang hanya bisa menjadi pendengar. Atau siapa diriku yang kadang hanya butuh didengar.
Aku bahkan tak pernah bisa mengenali 'aku'.
Ttg siapa aku yang kadang hanya butuh ruang untuk mengamati. Atau ttg siapa aku yang kadang hanya inginkan menapak lalu melompat dalam titik lingkaran.
Lalu adakah kamu mengenali aku?

Lalu, bagaimana saat waktu membuatku menjadi bukan wajah ini, juga bukan nama ini, atau bukan pula tubuh, mata, rambut ini. Adakah yang masih bisa membuatmu menyebutku?
Siapa aku?
Menjadi rahasia terbesar saat setiap individu ditempatkan dalam titik-titik pada lingkaran.
Lingkaran.
Yang kadang bahkan menjadikanku bukan lagi diriku. Menyajikan aku dalam wajah yang berbeda, tinggi yang berbeda. Hidung, mata rambut yang berbeda.
Ahhh.. Lagi-lagi aku terjebak.
Pemahaman di tiap kepala akan berbeda tentunya.

Kau Tak Akan Percaya

Malam kubiarkan ditempatnya.
Meski lampu-lampu kamar tak juga membuat nanar.
Tetap saja aku biarkan gelap menjadikannya ruang.
Lalu apa kau akan dijadikan percaya? Ketika aku ucapkan kata tentang gelap yang selalu setia. Bahwa dlm gelap yang sengaja menjadikannya ada. Tentang kamu, juga mereka.

Kau tak mesti percaya. Aku tak jg memaksamu untuk percaya. Tentang yang dijadikan ada, dan itu hanya padaku saja.
Aku tahu, ada yang berbeda. Ketika waktu memberi kita ruang untuk saling membaca.
Apa kau akan serta merta menjadi percaya? Aku rasa tidak.
Sekalipun hanya sekilas, dalam dunia yg bersebelahan. Ada ruang untukmu menjadi 'ada'.
Dan kau tak akan percaya. Sekalipun aku ucapkan dengan gamblang, kau tak juga akan percaya. Krn itu tak benar-benar nyata.
Jangan tanyakan padaku, karena aku pun tak memahami ttg makna. Aku hanya dibuat untuk percaya.

Kau harusnya sangat berbeda, setidaknya, alurmu jadi sangat kuat.
Karena mulai menyinggung. Seperti aliran air, yg kadang singgah di tempat yang lebih rendah. Kau tentu memiliki palung yg sangat curam. Yang membuat arus air masuk dengan cepat.
Tapi apa yang mesti dipenuhi?
Tulisan di dinding palungmu, tak nampak dalam gelap.
Aku tahu, kau harusnya berbeda. Karena mereka yang mampu menyinggung arusku, adalah mereka yang istimewa.

Aku bisa jadi kau anggap perempuan gila. Betapa tidak, memercayai dgn gamblang rangkaian kata yg diurai bahkan oleh orang yang tak benar2 jelas. Tentu saja, ada nilai yang akan aku dapatkan. Tapi, sama sepertimu, sama-sama tak ada yang kamu biarkan untuk benar-benar masuk dalam palungmu.
Aku juga demikian. Dia pun sama. Lalu apa bedanya kita?
Tak ada. Yang membuat kita berbeda hanya kesadaran saja.
Dan kau harusnya memang berbeda. Dengan nilaimu, kesadaranmu.

Tidak. Tidak. Jangan simpulkan ttg emosi yang kau kata sewajarnya dimiliki makhluk Tuhan. Laki-laki dan perempuan.
Itu sudah jadi sangat absurd dikepalaku. Kau mesti tak percaya. Tapi apalah jadinya ttg percaya. Dan yang ada hanya prasangka.
Kesadaranku membawakan aku kursi untuk menunggu. Mengamati tiap alur yg mulai menyinggung arusku.
Itu yang aku kata persinggahan.
Bukankah esensi keberadaan hanyalah untuk saling menggenapi?
Setiap alur yang singgah, tiap arus yang bersinggungan, tak pernah bisa tertebak apa yang tengah diisi.
Saling membaca, dan bukan mencela.
Saling menyadari dan bukan menggurui.
Dan aku hanya dibuat percaya, bahwa tak ada pertemuan yang jadi salah.

Anak Manusia dengan Cawan di Masing-Masing Tangan

Ada sebuah kisah, saat matahari mulai meninggi di batas cakrawala.
Kisah sederhana tentang anak manusia.
Ia yang terlahir bahkan tanpa apa-apa. Dibentuk dan diasah oleh lingkaran ttg dunia.
Suatu waktu. Alur mempertemukannya dengan seorang makhluk lain.
Yang sama sekali berbeda. Monoton. Teratur. Dan segalanya lurus.
Kau mungkin bisa membayangkan betapa terkejut dunianya. Semenjak pertemuan itu. Satu per satu perkenalan dimulai. Perkenalan ttg ketidakteraturan. Perkenalan ttg ketidakpastian. Perkenalan ttg persinggahan.

Ada ribuan kata yang telah diciptakan dari pertemuan. Tapi mereka belum juga sadar. Ttg adanya mereka, karena mereka ada.
Alur pun tetap mengalir. Sederas hasrat mereka untuk menebak2 isi tulisan dalam cawan yg mereka pegang. Tapi apa mau dikata. Cawan mereka masih terisi penuh ttg dunia. Dan tak boleh pula mereka menebak tulisan didalamnya.

Beribu resah mulai menyinggahi mereka.
Satu diantara yang lain, yang kadang menempati tempat yang lain.
Ada kalanya aku dibuat sadar bahwa, titik dalam lingkaran adalah sama. Ini hanya sebentuk pengulangan. Seperti yang tengah menaungi alur kedua anak manusia ini.

Dari celah yang mereka tebak, mulai nampak ujung2 ruang. Mulai ada potongan-potongan kesadaran.
Mereka, satu kesatuan.
Kau mungkin tak akan bisa percaya. Tapi mereka percaya, bahwa alam akan berbicara ttg jawaban pada mereka.
Melalui bahasanya.
Bukan lagi ttg memegang tangan. Bukan ttg keberadaan. Tapi mereka sadar, bahwa cukup dibuat 'ada' menjadikan mereka ada.
Cukup menyebut nama maka mereka akan bersama.

Ingin, Tentang Kalimat

Aku ingin menulis, Tuhan.
Ingin aku susun beberapa kalimat tentang kemenangan.
Beberapa kalimat tentang kegelisahan. Tapi bukan berarti aku sampaikan tentang kesombongan.
Hanya sebatas tentang kebisingan dari satu kaitan dalam lingkaran yang Kau buatkan.

Aku masih manusia, nyatanya memang demikian.
Bukan hal yang lumrah yang menjadikanku manusia.
Ada lingkaran dalam jalinan 'karena' yang membuat aku melunasi hutang yang mengikatku pada tanah-tanah ini. Pada udara yang segera berdesir pergi. Pada cahaya yang sengaja memuja.
Aku kembalikan semua padaMu, milikMu. Pun saat dia mulai menentukan langkah diam yang dia kata perlahan.
Dia yang hanya di udara tapi ada. Dia yang tanpa sengaja tapi menjadi 'ada'.
Aku telah menjauhkan keadilan darinya. Kuikatkan kuat benang-benang halus pada jarinya. Senyata yang bisa aku ucapkan padanya.

Karena dia air, ada alur yang ia yakini. Aku membacanya, resah yang masih saja mendiami matanya.
Kosong, yang senyatanya akan dia jadikan hambar.
Dan betapapun rindu meneriakiku, ada ribuan yang diantarkan padanya.
Lalu disaat kini, ia mulai benar2 mengaliri alurnya. Ia, yang selama ini dalam genggaman bayang-bayang mulai perlahan melompat ke pinggir.

Kuperhatikan tiap kata yang mulai ia susun. Betapa sesungguhnya membuatkan ruang yang dulu aku tinggalkan diam. Inikah tepian?
Lalu biarkan ia bersama alurnya.
Biarkan ia memulai alirannya.
Hanya saja. Ingatkan dia tentang persimpangan, tentang adanya persinggahan.
Aku mengenalnya, dalam batas-batas yang Kau izinkan. Tak sekalipun ia akan lupa. Bahwa telah tersimpan apik ruang yang pernah ia dan aku tempati disana.
Tapi, senyata yang ia utarakan dalam kalimat-kalimat gamblang. Ada lubang yang tanpa sengaja mulai mengesampingkan ruang baru yang datang.

Lalu ingatkan dia, Tuhan.
Tentang Kau yang tak pernah bisa diduakan.
Karena matanya mulai berbeda.
Meski hanya sekelebat. Tapi tirai mulai membuka.
Ia sedang jatuh cinta.
Aku membacanya, dari sudut yang aku siapkan untuk memerhatikannya.
Ia baru saja mulai meluruh.
Dan semoga, ia tak akan lagi pernah terjatuh.

Tentang Ruang, Saudaraku

Hei Saudaraku,

Langit memudar dengan pendar yang sengaja kadang bubar.
Sekali waktu ini, bukan hanya kamu yang membatu dalam lagu sendu.
Sekali ini lagi, waktu tak memberiku untuk tahu. Tidak pula membawakan lagu-lagu yang hanya akan jadi ragu.

Masih dan selalu aku ingat susunan-susunan kata dalam ruang yang kita bagi.
Sekalipun pada akhir cerita harus ada yang beranjak pergi.
Suatu kali, aku mulai dengan gumaman-gumaman sendu. Tentang aku juga kamu.
Ada rute yang sesugguhnya mengikat dalam untaian yang tak mampu dibaca siapapun.
Aku yang jadi kamu dalam ruang yang menjadikan aku.

Selayaknya jalanan, tentang sisi-sisi menepi. Tentang benang-benang membentang. Bersebrangan.
Dalam satu, membentang dua ruang bersebrangan.
Dan kamu adalah aku.
Dunia menyebutkan kita ada. Mereka menjadikan dirinya bukti tentang kita.
Tapi nyata tetap dalam diri kita.
Ribuan yang tergantung di udara, tapi hanya beberapa untaian yang akan kamu temui untuk kamu jaga.

Aku mungkin jadi tak berpikir sama. Tentang hari yang sakral dalam tafsir pikiran mereka.
Sekalipun hanya ada segelintir dalam waktu yang menyediakan ruang untuk kita. Tapi ruang itu tetap ada.
Aku hanya tak ingin mengingatkan diri bahwa ada perhitungan tentang sisa waktu yg disediakan ruang.
Aku, hanya ingin kamu tahu tentang keberadaan. Karena kamu ada. Dan karenanya aku ada.
Selalu membayang dalam lingkaran-lingkaran, tentang kamu yang dihadapkan pada pilihan.
Namun tetap saja. Kamu memang ada. Untuk ku untuk waktu. Dan itu menjadi sebentuk dari bahagia yang mesti aku jaga.

Telah sepatutnya, aku ucapkan selamat untuk diriku. Disediakan ruang dalam waktu untuk bersamamu. Bukan selamat untuk bertambahnya usia pembayaran yg kamu jalankan. Atau atas telah berkurangnya masa untuk kamu 'ada'.
Kamu, adalah aku saudaraku.
Lagu sendu yang diperdengarkan kepadamu adalah lagu yang dilantunkan angin juga untukku.
Rindumu, adalah rinduku saudaraku.
Riak membuncah dalam dadamu adalah gelombang tentang keberadaan yang juga diisyaratkan kepadaku.
Dan, ruangmu adalah ruangku, saudaraku.

*terima kasih karena telah ada. Dan karenanya aku ada :*

Anonim, Catatan Gusar

Bersyukur hari ini tidak hujan. Sepertinya ia mulai enggan datang. Benar-benar syukur karena saya lebih suka cuaca berangin. Dan saya ada disini. Di hiruk pikuk orang berlalu lalang.

Derak meja tempat saya menyandarkan siku dan menulis ini tak juga mau berhenti. Jadi dengan inisiatif kecil, saya ambil selembar kertas dari note yang selalu ada di tas, saya lipat dan saya ganjal salah satu kaki meja.

Berbicara tentang mengganjal meja, mengingatkan saya tentang suatu hari. Ketika saya dengan kesenangan yang biasa saya lakukan, membaca. Ada salah seorang kawan saya yang adalah salah seorang kawan terdekat saya. Kawan saya ini orang berpendidikan tinggi, dan dengan gelar sarjana. Dia bertanya hari itu tentang apa yang saya dapatkan dari tumpukan buku-buku yang saya baca.

Tergelitik dan merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaannya, yang entah dengan maksud mengejek atau memang sekedar ingin tahu. Kebetulan disaat itu yang di atas meja saya adalah buku-buku karya seorang penulis hebat, Dee, dan beberapa kumcer Kompas.
Seandainya kata-kata kawan saya itu diibaratkan kaki meja, ingin sekali saya berikan tumpuan (tambahan). Setidaknya agar ada titik dia memahami apa yang dia tanyakan.
Tapi Tuhan ternyata memberi begitu luas akal pada saya. Akal untuk memilah, bahwa kawan saya ini bukan seorang 'pembaca'. Dia tak pernah salah untuk bertanya, karena dia tidak tahu. Tepatnya belum tahu, bahwa ada dunia yang hanya bisa dijelaskan dengan membacanya.

Seandainya disaat itu saya sampaikan padanya demikian, mungkin akan ada perdebatan yang lebih panjang. Dan saya harus memahami bahwa dia hanya belum mengetahui saja. Tentang dunia yang bisa ditemukan saat membaca.
Jadi saya merasa untuk mencukupkan saja.
Sekalipun ada kelanjutan yang mulai menyentuh tentang perihal keyakinan. Saya memilih untuk tak ikut arus kali ini.
Ada sesuatu yang tiba-tiba terbangun dalam hati saya, saat dia menyinggung tentang keyakinan.
Saya bukan seorang atheis. Saya percaya dan yakin dengan keyakinan saya.
Hanya saja bukan tentang merah, putih, hitam, ato biru keyakinan yang dianut. Tapi pengamalan dari yang diyakini saya rasa jadi lebih penting.
Dan bila saya pikir-pikir kembali. Adanya berbagai kelas dan kotak-kotak keyakinan dari hambaNya ini adalah hasil dari pengkotak-kotakan diri sendiri. Membedakan wadah yang ada. Tapi toh semua sama, menuju SATU, TUNGGAL.

Lalu masihkah menjadi sangat penting saya menghafalkan bait-bait kata, ketika sejatinya apa yg dilagukan telah dilaksanakan hampir tiap waktu meski seringnya tanpa disadari?
Dan apa bedanya, hitam, putih, merah, biru atau sebagainya ketika semua bait yang dilagukan, semua yang dikumpulkan untuk diabadikan dalam sebuah kitab suci pada masing-masing wadah itu adalah sama. Sama-sama tentang DIA.
Lalu apa yang menjadi salah saat saya 'mengenal' tentang wadah lain. Wadah yang sesungguhnya satu. Toh kita semua sama. Sama-sama hambaNya yang ada pada perannya masing-masing.
Jika ini tentang keyakinan. Saya sangat yakin dengan keyakinan saya. Dan saya rasa itu cukup.

Dan mungkin saja itu menjadi salah dalam pandangan orang lain. Tapi setidaknya saya akan berpikir ulang, bahwa semua hal bahkan tak benar-benar dibuat sama, terlebih pemikiran hambaNya.