Entah sudah berapa kalimat yang ia
tuliskan dalam lembaran yang kini berserakan. Mengisi tiap celah sembari
menunggangi waktu menunggui pria itu menyambangi gerbangnya. Matanya masih
terpejam. Pria itu menunduk perlahan. Memerhatikan wajah yang sempat ia
abaikan. Mengamati tiap senti guratan yang ada di hadapannya. Ternyata ada
begitu banyak guratan yang tergambar. Sekalipun sudah sering ia perhatikan
dalam tiap malam. Tapi tetap ia perhatikan lekat-lekat. Dahi, alis, lalu mata. Ia
hampir lupa, mata itu mata yang begitu lama takut untuk ia dalami. Sesungguhnya
adalah mata yang sama yang ia tahu begitu tulus memerhatikan dirinya. Mata yang
kini membawa ia masuk dalam ingatannya. Ingatan tentang betapa setianya mata
itu memancarkan sorot yang sama pada dirinya. Mata tentang pengabdian.
Ada beberapa helai rambut yang
tersisa di dahinya. Entah sudah berapa kali wanita itu membenahi rambut
nakalnya. Menyeka keringat sambil memerhatikan jam dinding yang terpajang apik
di ruangan. Pria itu menebak, bahwa wanitanya telah berulang kali mencoba
menghubunginya. Ponselnya masih tergeletak di sebelah sofa. Wajah itu nampak
tak damai dalam lelapnya. Ingin sekali ia bercebur bersama dan melelapkan
dirinya segera. Tapi ia membisik perlahan. Tak ingin ia bangunkan wanitanya. Lalu
ia tundukkan kepalanya. Menghadiahi kecupan di dahi wanitanya. Sembari berharap
akan ia kirimkan damai dalam mimpi yang sekarang sedang dialaminya.
Mata itu membuka. Mata yang sekian
menit ia perhatikan mengerjap perlahan. Lalu dengan sedikit terkesiap wanita
itu berkata lembut.
“Kamu sudah pulang? Sudah makan? Sebentar,
aku siapkan air panas untukmu.”
Pria itu hanya tersenyum, ia tak ingin melepaskan
pemandangan yang sedari tadi ia nikmati. Kali ini ia ingin menikmatinya sekali
lagi. Mengamati wanitanya lekat-lekat, lalu menarik tanganya perlahan. Merengkuh
dan memeluknya erat.
“Diamlah
sebentar. Disini. Sebentar saja.”
Tak ada yang bisa diperbuat. Tanpa perlawanan
sedikitpun, wanita itu duduk bersamanya. Mulai membiarkan waktu memandangi
mereka. Senyum membawakan mereka ruang yang berbeda. Ruang yang hanya bisa dimasuki
oleh mereka. Tak terbayangkan betapa lama penantian dalam celah waktu yang akan
mereka temui. Tapi kali ini, pria itu hanya inginkan kali ini.
“Maafkan aku, sayang. Aku tak bisa memberimu bahagia.
Sepanjang yang telah kita lalui, rasanya belum ada bahagia yang mampu aku
berikan padamu.”
Suara pria itu bergetar lembut. Lalu ia bergerak
perlahan. Mulai lagi memandangi wajah wanitanya lekat-lekat, dan memberikan
kecupan di keningnya. Ia tak berharap akan menampakkan resah yang ia bawa di
hadapan wanita ini. Namun, ia sadar wanita yang ada dihadapannya adalah wanita
dengan mata yang mampu membacanya. Membaca dirinya. Membaca tiap celah-celah
kosong dalam dirinya. Ia juga sadar, tatapan wanita ini tak akan membiarkannya
lari. Tidak juga akan membiarkannya bersembunyi. Pria itu tahu, wanitanya akan
segera tahu betapa lelah perjalanannya petang tadi. Betapa lama diri dan
pikirannya terpenjara.
Sandaran
erat seolah mulai memberitahunya. Membawakan kembali ingatannya. Bahwa sudah
ada begitu banyak lingkaran yang ia dan wanita itu lalui hingga sampai pada
titik ini. Rengkuhan mereka terasa semakin erat. Waktu mungkin saja akan tertawa.
Tapi waktu sangat tahu tentang banyaknya persimpangan yang telah dilalui oleh
kedua makhluk Tuhan ini. Jadi tak akan ada salahnya jika waktu memberikan
mereka cukup ruang malam ini. Tak tertebak apa yang telah tersusun dalam benak
wanita ini. Wanita yang terlihat begitu ringkih dalam dekapan pria itu.
“Kamu tahu? Ada banyak bentuk bahagia yang bisa
dirasakan. Ini salah satunya. Bentuk-bentuk lain adalah apa yang telah kita
lalui dalam lingkaran-lingkaran
sebelumnya.”
Kalimat itu terlotar lembut dari mulut wanitanya. Nafas
pria itu tertahan. Betapa lapang hati wanita ini. Wanita yang akan dan selalu
menerimanya. Wanita yang akan selalu menjadikan dia cukup. Wanita yang akan
selalu menjadi bagian dalam dirinya. Wanita yang sesungguhnya menjadi yang ia
butuhkan.
“Sekiranya
belum juga ada bahagia yang bisa aku perlihatkan padamu. Tapi aku berharap,
pengabdian bisa aku jadikan gambaran kecil tentang bahagia padamu.”
Mendengar kalimat dari wanitanya, tak ada lagi yang
mampu dikatakan pria itu kali ini. Hanya rengkuhan lembut yang bisa ia berikan
pada wanita yang begitu setia menungguinya. Sembari memejamkan mata dengan
ribuan harap yang ia susun. Benaknya mulai memilah, betapa sesungguhnya ia
begitu lemah. Betapa ia membutuhkan topangan, dan betapa ia tak ingin
sendirian. Seandainya waktu mengizinkan, ingin sekali ia beristirahat sebentar.
Merebahkan sedikit resah yang ia bawa. Meski ia tahu, wanitanya tak akan kuat. Meski ia tahu, wanitanya
tak akan benar-benar paham. Tapi ia sangat tahu, wanita itu akan selalu disitu.
Dan tetap disitu.