Jumat, 31 Januari 2014

Di Suatu Saat Menjelang Petang (Revisi)

Malam baru menjelang, lalu melewati beberapa putaran jam. Ketika pintu mobil tertutup ternyata hampir menjelang dipertengahan malam. Pelan, langkah pria itu menuju ruang tengah. Matanya tertuju pada apa yang nampak di atas sofa. Seseorang yang terlihat begitu ringkih. Memeluk sebuah buku dengan mata terpejam. Ada beberapa kertas berserakan diatas meja. Gelas yang telah kosong disamping kirinya. Tanda bahwa ada beberapa kali tuangan dan juga tegukan. Bekas-bekas tinta telah tergurat di beberapa lembarannya. Wanitanya. Iya, wanita yang kini bersamanya. Wanita yang juga dulu bersamanya. Wanita yang tak pernah ia duga begitu ia harap bisa bersamanya. Wanita, yang ia percaya akan selalu bersamanya.
Entah sudah berapa kalimat yang ia tuliskan dalam lembaran yang kini berserakan. Mengisi tiap celah sembari menunggangi waktu menunggui pria itu menyambangi gerbangnya. Matanya masih terpejam. Pria itu menunduk perlahan. Memerhatikan wajah yang sempat ia abaikan. Mengamati tiap senti guratan yang ada di hadapannya. Ternyata ada begitu banyak guratan yang tergambar. Sekalipun sudah sering ia perhatikan dalam tiap malam. Tapi tetap ia perhatikan lekat-lekat. Dahi, alis, lalu mata. Ia hampir lupa, mata itu mata yang begitu lama takut untuk ia dalami. Sesungguhnya adalah mata yang sama yang ia tahu begitu tulus memerhatikan dirinya. Mata yang kini membawa ia masuk dalam ingatannya. Ingatan tentang betapa setianya mata itu memancarkan sorot yang sama pada dirinya. Mata tentang pengabdian.
Ada beberapa helai rambut yang tersisa di dahinya. Entah sudah berapa kali wanita itu membenahi rambut nakalnya. Menyeka keringat sambil memerhatikan jam dinding yang terpajang apik di ruangan. Pria itu menebak, bahwa wanitanya telah berulang kali mencoba menghubunginya. Ponselnya masih tergeletak di sebelah sofa. Wajah itu nampak tak damai dalam lelapnya. Ingin sekali ia bercebur bersama dan melelapkan dirinya segera. Tapi ia membisik perlahan. Tak ingin ia bangunkan wanitanya. Lalu ia tundukkan kepalanya. Menghadiahi kecupan di dahi wanitanya. Sembari berharap akan ia kirimkan damai dalam mimpi yang sekarang sedang dialaminya.
Mata itu membuka. Mata yang sekian menit ia perhatikan mengerjap perlahan. Lalu dengan sedikit terkesiap wanita itu berkata lembut.
“Kamu sudah pulang? Sudah makan? Sebentar, aku siapkan air panas untukmu.”
Pria itu hanya tersenyum, ia tak ingin melepaskan pemandangan yang sedari tadi ia nikmati. Kali ini ia ingin menikmatinya sekali lagi. Mengamati wanitanya lekat-lekat, lalu menarik tanganya perlahan. Merengkuh dan memeluknya erat.
            “Diamlah sebentar. Disini. Sebentar saja.”
Tak ada yang bisa diperbuat. Tanpa perlawanan sedikitpun, wanita itu duduk bersamanya. Mulai membiarkan waktu memandangi mereka. Senyum membawakan mereka ruang yang berbeda. Ruang yang hanya bisa dimasuki oleh mereka. Tak terbayangkan betapa lama penantian dalam celah waktu yang akan mereka temui. Tapi kali ini, pria itu hanya inginkan kali ini.
“Maafkan aku, sayang. Aku tak bisa memberimu bahagia. Sepanjang yang telah kita lalui, rasanya belum ada bahagia yang mampu aku berikan padamu.”
Suara pria itu bergetar lembut. Lalu ia bergerak perlahan. Mulai lagi memandangi wajah wanitanya lekat-lekat, dan memberikan kecupan di keningnya. Ia tak berharap akan menampakkan resah yang ia bawa di hadapan wanita ini. Namun, ia sadar wanita yang ada dihadapannya adalah wanita dengan mata yang mampu membacanya. Membaca dirinya. Membaca tiap celah-celah kosong dalam dirinya. Ia juga sadar, tatapan wanita ini tak akan membiarkannya lari. Tidak juga akan membiarkannya bersembunyi. Pria itu tahu, wanitanya akan segera tahu betapa lelah perjalanannya petang tadi. Betapa lama diri dan pikirannya terpenjara.
            Sandaran erat seolah mulai memberitahunya. Membawakan kembali ingatannya. Bahwa sudah ada begitu banyak lingkaran yang ia dan wanita itu lalui hingga sampai pada titik ini. Rengkuhan mereka terasa semakin erat. Waktu mungkin saja akan tertawa. Tapi waktu sangat tahu tentang banyaknya persimpangan yang telah dilalui oleh kedua makhluk Tuhan ini. Jadi tak akan ada salahnya jika waktu memberikan mereka cukup ruang malam ini. Tak tertebak apa yang telah tersusun dalam benak wanita ini. Wanita yang terlihat begitu ringkih dalam dekapan pria itu.
“Kamu tahu? Ada banyak bentuk bahagia yang bisa dirasakan. Ini salah satunya. Bentuk-bentuk lain adalah apa yang telah kita lalui  dalam lingkaran-lingkaran sebelumnya.”
Kalimat itu terlotar lembut dari mulut wanitanya. Nafas pria itu tertahan. Betapa lapang hati wanita ini. Wanita yang akan dan selalu menerimanya. Wanita yang akan selalu menjadikan dia cukup. Wanita yang akan selalu menjadi bagian dalam dirinya. Wanita yang sesungguhnya menjadi yang ia butuhkan.
“Sekiranya belum juga ada bahagia yang bisa aku perlihatkan padamu. Tapi aku berharap, pengabdian bisa aku jadikan gambaran kecil tentang bahagia padamu.”
Mendengar kalimat dari wanitanya, tak ada lagi yang mampu dikatakan pria itu kali ini. Hanya rengkuhan lembut yang bisa ia berikan pada wanita yang begitu setia menungguinya. Sembari memejamkan mata dengan ribuan harap yang ia susun. Benaknya mulai memilah, betapa sesungguhnya ia begitu lemah. Betapa ia membutuhkan topangan, dan betapa ia tak ingin sendirian. Seandainya waktu mengizinkan, ingin sekali ia beristirahat sebentar. Merebahkan sedikit resah yang ia bawa. Meski ia tahu, wanitanya tak akan kuat. Meski ia tahu, wanitanya tak akan benar-benar paham. Tapi ia sangat tahu, wanita itu akan selalu disitu. Dan tetap disitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar