Minggu, 12 Januari 2014

Kau Tak Akan Percaya

Malam kubiarkan ditempatnya.
Meski lampu-lampu kamar tak juga membuat nanar.
Tetap saja aku biarkan gelap menjadikannya ruang.
Lalu apa kau akan dijadikan percaya? Ketika aku ucapkan kata tentang gelap yang selalu setia. Bahwa dlm gelap yang sengaja menjadikannya ada. Tentang kamu, juga mereka.

Kau tak mesti percaya. Aku tak jg memaksamu untuk percaya. Tentang yang dijadikan ada, dan itu hanya padaku saja.
Aku tahu, ada yang berbeda. Ketika waktu memberi kita ruang untuk saling membaca.
Apa kau akan serta merta menjadi percaya? Aku rasa tidak.
Sekalipun hanya sekilas, dalam dunia yg bersebelahan. Ada ruang untukmu menjadi 'ada'.
Dan kau tak akan percaya. Sekalipun aku ucapkan dengan gamblang, kau tak juga akan percaya. Krn itu tak benar-benar nyata.
Jangan tanyakan padaku, karena aku pun tak memahami ttg makna. Aku hanya dibuat untuk percaya.

Kau harusnya sangat berbeda, setidaknya, alurmu jadi sangat kuat.
Karena mulai menyinggung. Seperti aliran air, yg kadang singgah di tempat yang lebih rendah. Kau tentu memiliki palung yg sangat curam. Yang membuat arus air masuk dengan cepat.
Tapi apa yang mesti dipenuhi?
Tulisan di dinding palungmu, tak nampak dalam gelap.
Aku tahu, kau harusnya berbeda. Karena mereka yang mampu menyinggung arusku, adalah mereka yang istimewa.

Aku bisa jadi kau anggap perempuan gila. Betapa tidak, memercayai dgn gamblang rangkaian kata yg diurai bahkan oleh orang yang tak benar2 jelas. Tentu saja, ada nilai yang akan aku dapatkan. Tapi, sama sepertimu, sama-sama tak ada yang kamu biarkan untuk benar-benar masuk dalam palungmu.
Aku juga demikian. Dia pun sama. Lalu apa bedanya kita?
Tak ada. Yang membuat kita berbeda hanya kesadaran saja.
Dan kau harusnya memang berbeda. Dengan nilaimu, kesadaranmu.

Tidak. Tidak. Jangan simpulkan ttg emosi yang kau kata sewajarnya dimiliki makhluk Tuhan. Laki-laki dan perempuan.
Itu sudah jadi sangat absurd dikepalaku. Kau mesti tak percaya. Tapi apalah jadinya ttg percaya. Dan yang ada hanya prasangka.
Kesadaranku membawakan aku kursi untuk menunggu. Mengamati tiap alur yg mulai menyinggung arusku.
Itu yang aku kata persinggahan.
Bukankah esensi keberadaan hanyalah untuk saling menggenapi?
Setiap alur yang singgah, tiap arus yang bersinggungan, tak pernah bisa tertebak apa yang tengah diisi.
Saling membaca, dan bukan mencela.
Saling menyadari dan bukan menggurui.
Dan aku hanya dibuat percaya, bahwa tak ada pertemuan yang jadi salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar